Pane: Identitas Beta

Faradika Darman

(Pengkaji Kebahasaan dan Kesastraan, Kantor Bahasa Maluku)

 

Sebagian besar masyarakat Maluku mungkin tidak asing lagi dengan kata ‘pane’. Kata ini populer dan digunakan oleh masyarakat yang mendiami satu pulau kecil di bagian tenggara Pulau Ambon, Banda Neira. Jika umumnya orang Maluku menggunakan kata ‘ale’ atau ‘ose’ atau ‘ko’ sebagai penanda kata ‘kamu’, maka orang Banda (lebih dikenal Banda Neira) menggunakan kata ‘pane’ sebagai pengganti kata kamu atau Anda. Kata ini menjadi khas dan unik karena memang hanya orang Banda saja yang menggunakan kata tersebut. Kata ini pun sering dijadikan stereotip masyarakat Banda. Selain penggunaan kata ‘pane’, dialek atau dalam bahasa Melayu Ambon lebih akrab disebut rim, orang Banda juga dikenal sebagai masyarakat yang memiliki dialek yang mendayu-dayu sehingga terdengar berbeda atau unik dengan masyarakat Maluku lainnya.

Banda Neira dalam sejarah disebut sebagai salah satu penghasil rempah-rempah terbesar pada ratusan tahun silam. Rempah-rempah yang sejatinya menjadi lumbung harta untuk masyarakat, namun faktanya membawa malapetaka besar untuk orang Banda sendiri. Belanda dan Portugis adalah dua dari beberapa negara yang terhitung pernah menginjakkan kaki di Pulau Banda karena pengaruh rempah-rempah yang begitu kuat sehingga membawa para penjajah ke tanah Banda. Tidak heran, jika sekarang ini kita menemukan sejumlah kosakata sehari-hari yang digunakan masyarakat Banda merupakan serapan dari bahasa asing seperti lepe (dalam bahasa Belanda adalah ‘lepel’), gargontong (dalam bahasa Portugis ‘garganta’), dan masih banyak lagi kosakata hasil serapan dari bahasa-bahasa asing. Selain itu beberapa kosakata budaya yang khas di Pulau Banda adalah sanek yang artinya merajuk, wayu artinya sombong,  maltos  artinya jatuh, dan sebagainya. Kosakata-kosakata budaya yang khas yang tetap dilestarikan dan digunakan sampai sekarang ini menambah keunikan pada cara bertutur orang Banda yang memang agak berbeda jika dibandingkan dengan etnik lainnya di Maluku.

Dalam buku “Banda dalam Sejarah Perbudakan Nusantara”, Thalib dan La Raman memaparkan bahwa penduduk Banda saat ini adalah kelompok masyarakat yang tercipta melalui integrasi ragam etnis, ras, dan bangsa. Kelompok masyarakat ini tercipta melalui proses sejarah yang panjang selama periode perbudakan di era VOC hingga pemerintah kolonial. Proses-proses asimilasi yang terjadi mengakibatkan etnik Banda dewasa ini memiliki adat istiadat ciri tersendiri yang unik dan khas bila dibandingkan dengan etnik Maluku lainnya. Namun sangat disayangkan, dewasa ini masyarakat Banda yang mendiami Pulau Banda tidak lagi menggunakan bahasa daerah. Hal ini juga disebabkan karena adanya eksodus penduduk Banda dari Pulau Banda ketika masa penjajahan Belanda. Sebagian besar penduduk keluar meninggalkan tempat kelahiran karena ancaman pembunuhan dan hanya sebagian kecil yang bertahan dan menetap di Pulau Banda. Tempat-tempat yang dituju antara lain Pulau Haruku, Iha di Saparua, serta beberapa pulau di Seram Timur.  Mereka yang menuju ke Seram Timur inilah yang sebagian besar ke Pulau Kei Besar bagian utara yakni Banda Eli dan Banda Elat. Bahasa daerah yang hidup dan berkembang di kedua pulau tersebut dinamakan dengan bahasa Wandan. Sementara itu masyarakat yang memilih untuk menetap di Pulau Banda hidup dan berinteraksi dengan berbagai suku yang pada masa itu, sehingga keterancaman bahasa daerah di Pulau Banda tidak dapat dihindari.

Uraian di atas dapat dijadikan dasar atau ukuran bahwa memang tidak berlebihan jika bahasa dikatakan sebagai identitas. Identitas yang tidak terbatas pada pribadi atau diri seseorang, tetapi juga merupakan identitas kelompok, masyarakat, dan bahkan negara. Contoh kecil yang dapat dilihat adalah eksistensi kata ‘pane’. Orang dapat dengan mudah menebak atau mengenal jati diri orang Banda hanya dengan bahasa yang digunakan. Sama halnya dengan bahasa lainnya di Maluku pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya yang memiliki keunikan dan kekhasan masing-masing. Keunikan-keunikan seperti ini sudah sepatutnyalah dijaga, dilestarikan, dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Janganlah malu dengan budaya lokal atau budaya daerah dalam hal ini adalah bahasa, yang memang terdengar unik untuk orang-orang di luar Pulau Banda.

Bahasa sejatinya adalah identitas. Bahasa adalah budaya. Bahasa adalah jati diri. Tanpa kita sadari bahwa di dalam bahasa daerah terdapat kebanggaan suku bangsa untuk merefleksikan dan menunjukkan eksistensi bahwa mereka ada melalui bahasa daerah yang telah menjadi identitasnya. Dalam menjalani kehidupan pada era modernisasi saat ini, jati diri lokal ataupun jati diri nasional tetap merupakan suatu hal yang amat penting untuk dipertahankan agar kita tetap dapat menunjukkan keberadaan kita sebagai suatu bangsa. Jati diri itu sama pentingnya dengan harga diri. Jika tanpa jati diri, berarti kita tidak memiliki harga diri. Atas dasar itu, agar menjadi suatu bangsa yang bermartabat, jati diri bangsa itu harus diperkuat, baik yang berupa bahasa dan sastra, seni budaya, adat istiadat, tata nilai, maupun perilaku budaya dan kearifan lokalnya. Bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai identitas atau jati diri.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

9 − six =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top