Dimuat pada Kabar Timur, Senin/21 Maret 2016
Oleh:
Wahidah, MA.
(Peneliti Kantor Bahasa Maluku)
Dalam salah satu tulisannya yang berjudul Laha, Language of the Central Mollucas, Collins (1980) menyampaikan bahwa orang Eropa pertama yang datang ke Maluku pada sekitar abad ke-16 menyatakan bahwa di Maluku terdapat banyak bahasa. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Frances Xavier dalam salah satu dokumen tertulis berupa surat tertanggal 10 Maret 1546 yang menyatakan bahwa setiap pulau di Maluku mempunyai bahasa tersendiri dan dalam satu pulau, setiap desa mempunyai bahasa sendiri. Hal tersebut sejalan dengan penelitian SIL (2006) dalam Bahasa-Bahasa di Indonesia yang menyatakan bahwa terdapat 101 bahasa daerah di Maluku. Sementara itu, Badan Bahasa dalam “Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia” (2014) baru mengidentifikasi sekitar 51 bahasa daerah di wilayah ini (diduga jumlah tersebut masih akan bertambah karena hingga saat ini masih terus dilakukan pengumpulan data di daerah-daerah yang bahasanya belum teridentifikasi). Kenyataan itu menunjukkan betapa beragamnya bahasa daerah yang ada di wilayah Maluku jika dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia.
Sayangnya, keberagaman bahasa tersebut tidak terpelihara dengan baik. Dominasi pemakaian bahasa Melayu Ambon dalam komunikasi sehari-hari menekan pemakaian bahasa-bahasa daerah hampir di seluruh wilayah Provinsi Maluku. Di beberapa daerah, orang tua tidak lagi menurunkan bahasa ibunya kepada anak-anak mereka. Akibatnya, seiring dengan waktu, bahasa Melayu Ambon yang dahulu merupakan bahasa kedua bagi beberapa etnis di Maluku menggeser kedudukan bahasa lokal dan berkembang menjadi bahasa ibu bagi etnis-etnis tersebut. Fenomena demikian semakin melemahkan kedudukan bahasa-bahasa daerah yang merupakan salah satu kekayaan budaya masyarakat Maluku.
Tidak sedikit bahasa daerah di Maluku yang terancam punah, seperti bahasa Amahai, bahasa Hoti, bahasa Piru, Hukumina, bahasa Kamarian, dan bahasa Kayeli. Dua di antaranya bahkan telah punah, seperti bahasa Moksela dan bahasa Palamata. Tidak tertutup kemungkinan, beberapa tahun yang akan datang bahasa-bahasa daerah yang saat ini masih produktif pun akan segera mengalami proses kepunahan. Bila hal itu terjadi, dikhawatirkan masyarakat Maluku akan kehilangan identitas atau jati dirinya yang pada akhirnya berdampak pada munculnya berbagai kemelut dalam masyarakat.
Faktor sikap bahasa memang cukup berpengaruh terhadap punahnya beberapa bahasa/dialek di Maluku, khususnya di Pulau Ambon. Namun, pergeseran penggunaan bahasa lokal sebagai bahasa ibu yang digantikan oleh bahasa Melayu Ambon mempunyai sejarah yang cukup kompleks, meskipun proses menuju kepunahan bisa dikatakan cukup singkat. Kutipan berikut yang diambil dari tulisan James T. Collins (2006) yang berjudul Sejarah Bahasa Melayu di Ambon memberikan gambaran mengenai situasi awal munculnya bahasa Melayu Ambon menjadi lingua franca yang pada akhirnya berkembang menjadi bahasa Ibu bagi sebagian besar penduduk di Pulau Ambon pada masa kini.
Pada abad ke-17, Pulau Ambon dan kotanya terombang-ambing dalam arus sosial yang bergelora dengan intensitas yang luar biasa. Selain pergantian kuasa kolonial dari tangan Portugis ke Kompeni Belanda (VOC) pada awal abad itu, sepanjang abad ke-17, penduduk Ambon harus mengalami perang berulang kali, pemberontakan, eksekusi massal, pengusiran dan pemindahan penduduk secara paksa, gempa bumi, tsunami, serta perombakan struktur ekonomi dan sosial.
Pada waktu itu, Ambon berubah menjadi “a city of migrants” (kota migran), sebagaimana ungkapan Gerrit Knap (1991), bukan saja dengan pegawai dan tentara kuasa kolonial yang sendirinya berasal dari berbagai negara di Eropa, melainkan juga dengan warga berketurunan India, Portugis, Tionghoa, dan, terutama, Makassar. Selain itu, terdapat juga beberapa orang asli Pulau Ambon yang berdomisili di Ambon, tetapi jumlahnya sangat terbatas (Knaap:1991). Tawanan yang berasal dari Huamoal, Manipa, dan Kelang mungkin lebih banyak. Jadi, Kota Ambon merupakan kota yang multilingual pada abad ke-17. Namun, walaupun bahasa Belanda berfungsi sebagai bahasa administratif dan bahasa utama di kalangan penjajah, di kalangan rakyat biasa di Kota Ambon bahasa Melayu berfungsi sebagai bahasa utama….. Namun demikian, di kampung-kampung Ambon keadaannya berbeda. Sepanjang abad ke-17 bahasa daerah Maluku tetap digunakan di semua kampung di Pulau Ambon…. Jadi, pada akhir abad ke-17 “bahasa tanah” (bahasa daerah Maluku) masih digunakan di kampung-kampung Islam dan Kristen.
Kalimat terakhir pada kutipan di atas memberikan gambaran bahwa pada akhir abad ke-17, bahasa daerah masih digunakan oleh penduduk Pulau Ambon, baik oleh komunitas Islam maupun oleh komunitas Kristen. Jika dibandingkan dengan situasi kebahasaan saat ini, kenyataan menunjukkan bahwa di Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease (bahkan, di beberapa pulau lain di Maluku) bahasa daerah tidak lagi dituturkan oleh penduduk yang beragama Nasrani. Sebaliknya, di kampung-kampung Islam, bahasa daerah masih digunakan dalam aktivitas sehari-hari, meskipun tidak lagi seintens dulu.
Berbagai pendapat muncul terkait fenomena tersebut. Sebagian masyarakat menyatakan bahwa bahasa-bahasa daerah di wilayah penduduk beragama Nasrani, khususnya yang ada di Pulau Ambon, Haruku, Saparua, dan Nusalaut, telah punah karena tidak lagi dituturkan oleh penduduknya. Hal tersebut tidak sepenuhnya benar adanya. Tidak tertutup kemungkinan, bahasa yang sudah dianggap punah itu masih terpelihara dalam komunitas Muslim. Dengan kata lain, bahasa daerah yang dahulu dituturkan oleh moyang komunitas Kristen yang dianggap sudah punah tersebut merupakan dialek dari bahasa yang sama yang dituturkan oleh komunitas Muslim. Hal ini merujuk pendapat salah seorang peneliti Jerman yang cukup terkenal pada abad ke-17, yaitu Rumphius, yang bersikeras menyatakan bahwa walaupun terdapat sejumlah besar dialek di Pulau Ambon, semua penduduk dapat saling paham. Meskipun demikian, masih diperlukan penelitian yang cukup komprehensif untuk membuktikan bahwa bahasa-bahasa/dialek-dialek yang dahulu digunakan oleh komunitas Kristen adalah bahasa yang sama dengan yang digunakan oleh komunitas Muslim di Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease (Haruku, Saparua, dan Nusa Laut) saat ini.