Di Balik Untaian Kain Tenun Tanimbar

Oleh: Evi Olivia Kumbangsila
(Staf Teknis Kantor Bahasa Maluku)

Kepulauan Tanimbar adalah bagian dari gugus pulau di Maluku yang terletak di bagian selatan. Secara geografis, Pulau Tanimbar berbatasan langsung dengan laut Banda, di bagian utara, bagian selatan berbatasan dengan laut Timor dan Arafura, bagian barat berbatasan dengan gugus Pulau Babar, Kabupaten Maluku Barat Daya, dan bagian timur berbatasan dengan laut Arafura. Kepulauan Tanimbar secara administratif termasuk dalam wilayah Kabupaten Maluku Tenggara Barat dengan Saumlaki sebagai ibu kota kabupaten.

Sumber mata pencarian sebagian besar masyarakat Tanimbar adalah di bidang perikanan dan pertanian. Rumput laut dan kopra adalah salah satu komoditas andalan masyarakat Tanimbar. Namun, komoditi unggulan itu bukanlah ikon Pulau Tanimbar. Sebaliknya, ikon Pulau Tanimbar datang dari tangan-tangan pengrajin tenun yang dengan terampil menata benang-benang halus berwarna-warni, kemudian ditenun menjadi beragam bentuk kerajinan ekonomi kreatif. Kain tenun atau yang dikenal dengan tais bahkan tak bernilai harganya ketika dijadikan salah satu barang untuk keperluan adat.

Namun, tahukah anda selain tais, ada juga harta yang tak ternilai harganya yang terdapat di Pulau Tanimbar. Harta yang merupakan warisan nenek moyang masyarakat Tanimbar yang masih tetap terjaga hingga detik ini. Harta tak ternilai itu adalah bahasa daerah dan tradisi lisan yang masih tetap terjaga hingga sekarang.

Kain Tenun Tanimbar
Evi Olivia memakai Kain Tenun Tanimbar

Bahasa daerah

Pulau Tanimbar yang terdiri atas sebuah pulau besar yaitu, Pulau Yamdena dan beberapa gugus pulau-pulau kecil yang sangat menjaga bahasa daerah mereka. Pulau Tanimbar memiliki empat bahasa dan beberapa dialek menurut data dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Keempat bahasa tersebut yaitu bahasa Seluarsa, bahasa Selaru, bahasa Yamdena, dan bahasa Fordata. Keempat bahasa ini juga masih terpelihara sampai sekarang. Selain itu, masih terdapat banyak penuturnya, bahkan rata-rata pada usia 25 tahun ke atas masih bisa menggunakan bahasa daerah mereka dengan baik. Walaupun usia 25 tahun ke bawah hanya bisa pasif berbahasa daerah atau hanya pada tahap mengerti.  Kemampuan mereka menjaga bahasa daerah mereka disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut. 1) Mereka menggunakan bahasa daerah bukan hanya disaat acara-acara adat semata tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari di dalam keluarga maupun masyarakat. Saat bercanda di rumah bersama keluarga, saat menyuruh anak-anak mereka untuk mengerjakan sesuatu, bahkan saat mereka memarahi anak-anak, mereka menggunakan bahasa daerah. 2) Pemerintah daerah khususnya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Maluku Tenggara Barat bekerja sama dengan salah satu yayasan yang peduli bahasa daerah menyediakan bahan bagi pelajaran muatan lokal bagi semua tingkatan sekolah di Pulau Tanimbar. Yang menarik adalah ketika ujian akhir sekolah pada tahun 2016 ini di Desa Latdalam, untuk mata pelajaran muatan lokal, para siswa SD diuji dalam dua bahasa sekaligus. Oleh karena Desa Latdalam adalah salah satu desa yang masyarakatnya sehari-hari berkomunikasi dalam dua bahasa yaitu bahasa Selaru dan bahasa Yamdena.

Tradisi Lisan

Tradisi lisan atau dalam dunia penelitian di kenal dengan folklor. Dalam Butir-Butir Tradisi Lisan,  Dr. Sukatman, M.Pd. menjelaskan bahwa tradisi lisan adalah kegiatan, pertunjukan dan permainan yang diikuti tuturan lisan, baik masih aktif maupun pasif. Unsur kelisanan merupakan bagian utama dari tradisi lisan.  Contoh tradisi lisan menurut James Danandjaja yaitu, 1) bahasa rakyat, 2) ungkapan tradisional, 3) pertanyaan tradisional, 4) sajak dan puisi rakyat, 5) cerita prosa rakyat, dan 6) nyanyian rakyat. Semua ini diwariskan turun-temurun secara lisan. Dari keenam bentuk tradisi lisan, Pulau Tanimbar memiliki hampir semua bentuk tradisi lisan yang disebutkan di atas, namun yang paling menonjol adalah ungkapan tradisional dan nyanyian rakyat.

Ungkapan tradisional yang tetap terjaga dan bahkan tak ternilai harganya ialah beu dalam bahasa Selaru, foruk dalam bahasa Fordata, dan foforuk dalam bahasa Yamdena. beu atau foruk atau foforuk  merupakan ungkapan tradisional yang diwariskan turun-temurun secara lisan dan berisi pantun-pantun dan peribahasa yang dilisankan dalam rangkaian nada-nada minor yang disinyalir mendapat pengaruh dari bangsa Portugis yang cukup lama menjajah tanah Tanimbar.

Ungkapan tradisional tersebut terdengar bukan hanya ketika acara adat, tetapi dalam semua acara seperti pernikahan, kematian, kelahiran, bahkan bisa muncul saat bersantai. Ungkapan tersebut berisi nasehat, ajakan, bahkan curahan hati seseorang. Lazimnya, syair dalam ungkapan itu tidak muncul secara tiba-tiba, syair-syairnya sudah ada sebelumnya dan diwariskan. Namun ada juga yang diciptakan secara tiba-tiba. Hal yang lebih menarik pada bagian ini, menurut keterangan beberapa informan di Pulau Larat tepatnya di Desa Ridool, foruk  bukan hanya dalam momen-momen kemasyarakatan tetapi juga dilombakan, bahkan membutuhkan lebih dari sehari untuk melombakannya. Selain itu, beberapa informan di desa Lumasebu, tepatnya di Pulau Yamdena menegaskan bahwa makna dari foforuk akan terasa lebih mendalam ketika syair-syairnya menggunakan bahasa Fordata bila dibandingkan dengan bahasa Yamdena.

Bentuk tradisi lisan lainnya adalah nyanyian rakyat. Yang menarik adalah nyanyian rakyat mereka dapat kita jumpai dalam rangkaian tarian yang mereka tampilkan. Nyanyian itu bisa berisi cerita-cerita, sejarah, dan ungkapan isi hati masyarakat Tanimbar.

Semoga tulisan ini dapat memotivasi kita untuk tetap menjaga warisan nenek moyang kita, bukan hanya berupa materi semata tetapi juga bahasa, sastra dan tradisi lisan yang merupakan bukti jati diri kita sebagai anak negeri.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

4 × 5 =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top