Oleh: Nita Handayani Hasan, S.S.
(Pengkaji Bahasa dan Sastra Kantor Bahasa Maluku)
Sastra lisan dapat dianggap sebagai bentuk sastra tertua bila dibandingkan dengan sastra tulis. Dalam kehidupan sehari-hari, jenis sastra ini biasanya dituturkan oleh seorang ibu kepada anaknya, seorang tukang cerita pada para pendengarnya, guru pada para muridnya, ataupun antarsesama anggota masyarakat. Oleh karena itu, sangat dimungkinkan jika terjadi perubahan pada tata bahasa, alur, bahkan isi cerita yang diceritakan.
Sastra lisan tidak hanya digunakan sebagai karya seni saja, tetapi juga berfungsi sebagai alat pendidikan yang berupaya menerangkan ke masyarakat berkaitan dengan nilai-nilai moral dan kemasyarakatan. Sastra lisan juga seringkali digunakan sebagai alat untuk menyebarkan agama atau menerangkan aturan-aturan agama tertentu sehingga masyarakat mampu memahami aturan dasar dari agama. Dalam sastra lisan, terdapat hal-hal yang berkaitan dengan budaya suatu bangsa, sehingga sastra lisan sering dijadikan sebagai satu pedoman penting dalam proses pemahaman nilai-nilai budaya tertentu.
Sastra lisan adalah bagian dari tradisi lisan atau yang biasanya dikembangkan dalam kebudayaan lisan berupa pesan-pesan, cerita-cerita, kesaksian-kesaksian ataupun yang diwariskan secara lisan dari satu generasi ke generasi lainnya. Pesan, cerita, atau kesaksian-kesaksian tersebut disampaikan melalui tuturan atau nyanyian, dalam bentuk-bentuk seperti dongeng, peribahasa, balada, atau puisi. Melalui cara ini, masyarakat dapat mewariskan sejarah lisan, sastra lisan, hukum lisan, dan pengetahuan-pengetahuan lisan lainnya tanpa sistem tulisan.
Sastra lisan sering dianggap sebagai bentuk awal kesusastraan dunia yang berkembang dari waktu ke waktu. Jenis karya sastra ini seringkali digunakan sebagai sarana pendidikan masyarakat dengan mengangkat kisah-kisah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang kemudian dibumbui dengan ide-ide imajinatif.
Terdapat beberapa fungsi adanya sastra lisan, yaitu (1) Didaktik; kebanyakan karya sastra lisan mengandung nilai-nilai luhur yang berkaitan dengan adat istiadat ataupun agama tertentu. Nilai-nilai yang terkandung dalam kesusastraan lisan tersebutlah yang berfungsi sebagai pendidik masyarakat terhadap aturan-aturan yang terdapat dalam kehidupan bermasyarakat. (2) Sastra sebagai pelipur lara; sastra lisan selain sebagai alat pendidik masyarakat juga digunakan sebagai penghibur masyarakat. (3) Sastra lisan juga sering kali berfungsi sebagai bentuk protes sosial yang berisikan penolakan-penolakan masyarakat atas aturan-aturan yang mengikat. (4) Sastra lisan sebagai sindiran; biasanya dijumpai dalam bentuk pantun, lagu rakyat, dan sebagainya.
Pada saat ini, sastra lisan yang masih terpelihara hanya dapat dijumpai pada daerah-daerah pedesaan. Masyarakat yang hidup di daerah pedesaan masih menganggap keberadaan sastra lisan merupakan hal yang penting dan harus dilestarikan. Hal tersebut berbanding terbalik dengan yang terjadi di daerah perkotaan. Para pemuda yang telah bersekolah di daerah perkotaan terkadang merasa malu untuk mendengarkan sastra lisan yang berasal dari daerahnya. Mereka menganggap sastra lisan merupakan hal yang kuno.
Situasi tersebut juga terjadi khususnya di Maluku. Para generasi muda saat ini lebih suka mendengarkan musik-musik yang berasal dari luar negeri dibandingkan dengan petuah-petuah yang tertuang dalam kapata, atau pantun-pantun yang diucapkan oleh para orang tua.
Sastra lisan yang dapat ditemukan di Maluku yaitu berupa nyanyian-nyanyian rakyat (kapata, foforuk, tambaroro), pantun, mitos, dan cerita-cerita rakyat yang dituturkan secara turun-temurun. Dalam sastra-sastra lisan tersebut tertuang sejarah terbentuknya sebuah desa, tata cara pergaulan sehari-hari, nasehat-nasehat tetang kebaikan, dan lain sebagainya.
Pelestarian sastra lisan yang ada di Maluku merupakan hal yang sangat penting, karena di dalam sastra lisan terkandung pesan, cerita, atau kesaksian-kesaksian yang menunjukan jati diri kemalukuan. Namun hal tersebut bukanlah hal yang mudah dilakukan. Hal tersebut dikarenakan terdapat dua faktor, yaitu faktor yang muncul dari dalam dan luar.
Faktor yang muncul dari dalam yaitu timbul dari pemilik sastra lisan, khususnya para tetua adat. Pengungkapan sastra-sastra lisan yang ada di Maluku hingga saat ini terkadang masih dianggap tabu. Hal tersebut dikarenakan para orang tua menganggap cerita-cerita yang terdapat di dalam nyanyian-nyanyian rakyat seperti kapata hanya boleh diceritakan pada saat upacara adat saja. Selain itu, adanya anggapan adanya unsur magis yang terkandung dalam sebuah cerita menyebabkan proses pewarisan cerita mengalami gangguan.
Sedangkan faktor yang muncul dari luar, yaitu dapat dilihat pada adanya perkembangan zaman. Pada saat ini, para generasi muda kurang tertarik dengan keberadaan sastra lisan di daerah asalnya. Mereka lebih cenderung berusaha menutupi ataupun menghilangkan kekayaan sastra lisan yang mereka miliki dan menyenangi hal-hal yang berbau modernitas. Sastra lisan dianggap hal yang kuno dan ketinggalan zaman.
Melihat realitas yang terjadi diperlukan langkah-langkah untuk tetap mempertahankan keberadaan sastra lisan. Cara yang dapat dipakai yaitu inventarisasi sastra lisan dan visualisasi tradisi lisan. Sastra-sastra lisan yang selama ini hanya dituturkan hendaknya dialihaksarakan, sehingga tetap lestari keberadaannya dan dapat dipelajari oleh generasi penerus. Namun terkadang cara penulisan kembali sebuah sastra lisan dirasa kurang maksimal, sehingga dapat digunakan metode perekaman. Dengan menggunakan teknik perekaman maka akan diperoleh secara utuh bentuk dan isi dalam sebuah sastra lisan.
Pelestarian sastra lisan di Maluku memerlukan perhatian semua pihak. Mulai dari masyarakat, pemerintah daerah, hingga pemerintah pusat hendaknya saling bersinergi dalam melestarikan sastra lisan. Sastra lisan yang ada hendaknya diberdayakan, dilestarikan, dan dimanfaatkan oleh pemiliknya.