Erniati
Peneliti Pertama, Kantor Bahasa Maluku
Saat ini, fenomena wacana disintegrasi bangsa di Indonesia ditengarai semakin merebak. Salah satu penyebab utamanya adalah tidak meratanya pembagian hasil-hasil pembangunan yang dapat dinikmati oleh seluruh bangsa Indonesia. Daerah-daerah yang notabene hasil kekayaan alamnya melimpah justru tingkat kesejahteraan masyarakatnya masih sangat rendah. Sebagai akibatnya banyak di antara daerah-daerah itu ingin melepaskan diri dari wilayah negara kesatuan republik Indonesia (NKRI).
Selain itu, sejak dihembuskannya wacana otonomi daerah, beberapa daerah tertentu yang merasa lebih kaya dari daerah yang lain juga ingin mengatur pemerintahannya sendiri dengan membentuk provinsi dan kabupaten yang baru.
Fenomena bahasa dengan berbagai variasinya yang sebenarnya masih merupakan satu kesatuan digunakan sebagai alat untuk mempercepat pemekaran wilayah. Variasi-variasi bahasa yang ada oleh pihak tertentu yang mendukung disintegrasi dan otonomi dipandang sebagai kekhasan yang kemudian digunakan sebagai alat untuk melegitimasi atau mengesahkan pemisahan daerahnya dengan daerah yang lain tanpa mempertimbangkan faktor-faktor yang lain seperti luas wilayah, sumber daya alam, dan sumber daya manusianya.
Begitu cepatnya proses pemisahan wilayah secara administratif tampaknya juga didukung oleh rendahnya toleransi kebahasaan penutur-penutur bahasa di sebagian besar wilayah Indonesia. Di samping itu, adanya pandangan bahwa suatu variasi bahasa lebih baik atau lebih buruk dari bahasa yang lain mengakibatkan keinginan beberapa daerah untuk memisahkan diri atau berotonomi ibarat gayung bersambut. Untuk menghindari semua ini diperlukan peningkatan toleransi antara para pemakai bahasa di samping peningkatan pengetahuan tentang berbagai aspek-aspek bahasa secara sosial. Misalnya, bahwa tidak ada bahasa yang lebih baik daripada bahasa yang lain. Dengan kata lain setiap bahasa sama baiknya dan sama tingkat kesukarannya. Sejauh ini kajian mengenai sikap dan akomodasi bahasa belum banyak dilakukan lebih-lebih yang berkaitan dengan usaha pencegahan perpecahan wilayah dan disintegrasi bahasa.
Negeri Tulehu berada di tepi pantai Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah. Di sebelah utara berbatasan dengan laut, di sebelah timur berbatasan dengan Negeri Tengah-Tengah, di sebelah selatan berbatasan dengan Negeri Suli dan Negeri Passo, dan di sebelah barat berbatasan dengan Negeri Waai.
Jumlah penduduk Negeri Tulehu sekitar 22.000 jiwa dengan rincian laki-laki 10.000 jiwa dan perempuan 12.000 jiwa. Mata Pencaharian masyarakat hampir 40% bermata pencaharian sebagai petani, 7% sebagai nelayan, 20% sebagai pedagang, 15% sebagai buruh, 10% pegawai, dan 8% lain-lain. Masyarakat Negeri Tulehu seluruhnya beragama Islam, yang beragama Kristen hanya datang untuk berdagang, bukan masyarakat asli.
Negeri Tulehu memiliki bahasa daerah sendiri yang disebut bahasa Tulehu dan sampai sekarang masih terpelihara. Selanjutnya, Negeri Liang berada di kaki gunung Salahutu, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah. Negeri Liang terpisah dengan hutan sagu dari Negeri Waai. Di sebelah utara berbatasan dengan laut, di sebelah timur berbatasan dengan Negeri Waai, di sebelah selatan hutan lebat, dan di sebelah barat berbatasan dengan Negeri Morella.
Kajian tentang akomodasi Bahasa Masyarakat terhadap Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah, dan Bahasa Asing di Provinsi Maluku di Negeri Tulehu sangat menarik. Karena lokasi karena masyarakatnya lebih heterogen dan terbuka terutama dengan pendatang. Selain itu, kedua tempat tersebut merupakan negeri/desa yang telah berusia lama dan menjadi tempat lalu lintas penyeberangan dari Kota Ambon menuju Pulau Seram dan sekitarnya dan sebaliknya. Kajian ini akan melihat bagaimana akomodasi bahasa masyarakat Negeri Tulehu terhadap bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing dengan cara mengidentifikasi akomodasi masyarakat terhadap bahasa tersebut.
Kajian ini diharapkan memiliki manfaat secara teoretis dan praktis. Secara teoretis, diharapkan mampu menjelaskan bagaimana keterkaitan faktor-faktor non-kebahasaan terhadap tingkat akomodasi bahasa seseorang. Secara praktis dapat digunakan untuk memberikan masukan terhadap pemerintah bahwa fakta-fakta kebahasaan tidak dapat digunakan sebagai alat untuk melegitimasi pemekaran sebuah wilayah, lebih-lebih sebagai landasan suatu masyarakat untuk berdisintegrasi.