Asrif
(Kepala Kantor Bahasa Maluku)
Sejumlah peneliti bahasa melaporkan bahwa bahasa-bahasa daerah di Indonesia rawan punah, bahkan sejumlah bahasa daerah dinyatakan telah punah. Laporan penelitian itu bukanlah hal yang mengejutkan bagi masyarakat Indonesia karena fakta sosial memperlihatkan terjadinya ancaman kepunahan bahasa yang sangat serius di berbagai wilayah Indonesia. Penutur bahasa daerah makin berkurang yang berarti daya tahan suatu bahasa daerah makin melemah. Jika generasi muda (generasi pelapis) bahasa daerah makin berkurang, maka hal itu menjadi gejala sosial menuju kepunahan suatu bahasa.
Maluku merupakan salah satu provinsi yang memiliki jumlah terbanyak ketiga bahasa daerah di Indonesia. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Kemdikbud telah berhasil mengidentifikasi dan memverifikasi 51 bahasa daerah di Maluku. Berbeda dengan temuan Badan Bahasa, Summer Institute of Linguistics (SIL) tahun 2006 menyatakan terdapat 101 bahasa daerah di Maluku. Banyaknya bahasa daerah di Maluku sejak masa terdahulu telah dilaporkan oleh beberapa penulis asing. Frances Xavier pada tahun 1546 menyatakan bahwa setiap pulau di Maluku memiliki bahasa tersendiri dan di dalam satu pulau, setiap desa memiliki bahasa tersendiri (dalam Wahidah, 2016). Dari temuan Badan Bahasa, SIL, dan dokumen tertulis Frances Xavier, disimpulkan bahwa Maluku merupakan kawasan kaya bahasa (multilingual).
Bagaimana keberadaan bahasa-bahasa daerah itu saat ini? Hingga saat ini, Maluku masih kaya bahasa daerah. Akan tetapi, empat bahasa daerah di Maluku dinyatakan telah punah. Empat bahasa daerah itu, yakni bahasa Hukumina, Palumata, Kayeli, dan Moksela. Selain empat bahasa daerah itu, sebagian besar bahasa daerah di Maluku berada dalam kondisi terancam punah. Penyebab kepunahan bahasa-bahasa daerah itu sangat beragam, antara lain bahasa daerah dianggap bahasa “orang kampung”, bahasa daerah merupakan bahasa para penganut kepercayaan lama, penetrasi bahasa Indonesia (Melayu), dan sebagainya. Sejumlah faktor yang melemahkan bahasa daerah itu terakumulasi dan melahirkan sikap negatif masyarakat terhadap bahasa daerah.
Fakta sosial yang memperlihatkan salah satu bentuk sikap negatif terhadap bahasa daerah yakni sikap penutur bahasa daerah yang tidak menggunakan bahasa daerah di dalam lingkungan rumah tangga. Sebagai contoh, pasangan suami-istri yang berasal dari daerah A menguasai bahasa A dengan baik. Dalam kehidupan rumah tangga, pasangan suami-istri tersebut menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa asing kepada anak-anaknya. Kondisi tersebut terjadi setiap hari hingga bertahun-tahun. Akibatnya, anak pasangan suami-istri tersebut tidak akan mengetahui bahasa A, dan sebaliknya anak-anak mereka akan mampu memahami bahasa Indonesia dengan baik. Hal tersebut terjadi karena proses pewarisan bahasa di lingkungan keluarga ialah proses pewarisan bahasa kedua (bahasa Indonesia), bukan bahasa pertama (bahasa ibu), yakni bahasa daerah.
Pada kasus di atas, bahasa daerah seharusnya menjadi bahasa utama yang wajib diwariskan kepada anak-anak. Lingkungan keluarga (rumah tangga) merupakan ranah pemakaian bahasa daerah. Orang tua sejatinya menggunakan bahasa daerah kepada anak-anaknya. Lingkungan rumah tangga seharusnya menjadi zona nyaman bagi bahasa daerah dan menjadi tumbuh kembangnya bahasa daerah. Faktanya, orang tua mengenalkan bahasa kedua kepada anak, bukan bahasa pertama (bahasa daerah). Pada kondisi seperti inilah, terjadi erosi bahasa daerah yang dibidani oleh pemiliknya sendiri, bukan oleh pihak lain. Kepunahan bahasa daerah tidak semata disebabkan oleh keengganan generasi muda mempelajari bahasa daerah, melainkan justru sebaliknya keengganan orang tua mengajari anak-anaknya menggunakan bahasa daerah dengan baik.
Dalam suatu diskusi dengan Rudi Fofid (jurnalis dan budayawan Maluku), ia berpandangan bahwa lingkungan rumah tangga kurang berpihak pada pelestarian dan pengembangan bahasa daerah. Orang tua sebagai pihak yang paling dekat dengan anak, kurang memberikan pembelajaran bahasa daerah kepada anak-anaknya. Ia menyatakan bahwa jika seorang anak yang terampil berbahasa Indonesia, maka hal itu disebabkan oleh orang tuanya yang aktif menggunakan bahasa Indonesia di lingkungan rumah tangga. Orang tua secara tidak langsung mengajari anaknya berbahasa Indonesia. Sebaliknya, seorang anak yang tidak mampu menggunakan bahasa daerah diduga kuat disebabkan oleh ketiadaan ranah bahasa daerah di dalam rumahnya. Anak tidak memperoleh hak-haknya untuk mendengar, mencermati, dan mempelajari bahasa daerah dari orang tuanya. Kondisi inilah yang menyebabkan anak menjadi berjarak dengan bahasa daerahnya.
Tulisan ini bukan untuk menghakimi orang tua sebagai pihak yang bersalah atas kepunahan bahasa daerah. Tulisan ini berupaya mengabarkan kembali peran-peran orang tua di lingkungan rumah tangga yang dapat menjadi guru, model, atau mitra berbahasa daerah oleh anak-anak di rumah. Lingkungan rumah tangga merupakan ranah utama pewarisan dan pembelajaran bahasa daerah. Demikian pula orang tua yang menjadi guru atau mitra pertama dan utama bagi seorang anak dalam mempelajari bahasa daerah. Oleh karena itu, mari kita kembalikan fungsi lingkungan rumah tangga sebagai tempat pewarisan dan pembelajaran bahasa daerah. Orang tua adalah guru (pewaris) bagi anak-anaknya.
Ayo lestarikan bahasa daerah!