Nita Handayani Hasan
Pengkaji Kebahasaan dan Kesastraan, Kantor Bahasa Maluku
Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional telah mengalami berbagai perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan yang terjadi tidaklah membuat bahasa Indonesia kehilangan penggunanya. Bahasa Indonesia harus terus menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang ada.
Secara resmi adanya bahasa Indonesia dimulai sejak Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Sebelumnya, bahasa Indonesia telah ada namun masih merupakan sambungan dari bahasa Melayu. Dikatakan demikian, sebab pada waktu itu bahasa Melayu masih juga digunakan dalam lapangan atau ranah pemakaian yang berbeda. Bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa resmi kedua oleh pemerintah jajahan Hindia Belanda, sedangkan bahasa Indonesia digunakan di luar situasi pemerintahan tersebut oleh pemerintah yang mendambakan persatuan Indonesia dan yang menginginkan kemerdekaan Indonesia. Demikianlah, pada saat itu terjadi dualisme pemakaian bahasa yang sama tubuhnya, tetapi berbeda jiwanya: jiwa kolonial dan jiwa nasional.
Bersamaan dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, diangkat pulalah bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara. Hal itu dinyatakan dalam UUD 1945, Bab XV, Pasal 36. Pada masa setelah kemerdekaan Indonesia, penggunaan bahasa Indonesia merupakan hal yang dianggap sakral. Rasa nasionalis tinggi yang masih tertanam dalam diri masyarakat Indonesia setelah memproklamasikan NKRI, membuat bahasa Indonesia memiliki kedudukan yang tinggi di mata setiap masyarakat Indonesia.
Sebagai alat komunikasi, bahasa mempunyai fungsi sosial dan fungsi kultural. Bahasa sebagai fungsi sosial adalah sebagai alat perhubungan antaranggota masyarakat. Sedangkan sebagai aspek kultural, bahasa sebagai sarana pelestarian budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini meliputi segala aspek kehidupan manusia yang tidak terlepas dari peran kehidupan manusia. Peranan kehidupan manusia tidak terlepas pula dari peranan bahasa sebagai alat untuk memperlancar proses sosial manusia.
Perkembangan teknologi saat ini seperti pemakaian ponsel memungkinkan masyarakat untuk melakukan komunikasi yang murah, efisien, dan mudah. Pemakaian singkatan di dalam menggunakan SMS kerap kali membuat masyarakat menjadi terbawa arus ketika menuliskan kata-kata baku, seperti menulis surat, catatan dan sebagainya. Begitu pula yang terjadi pada bahasa anak zaman sekarang atau yang disebut dengan bahasa gaul. Interferensi bahasa gaul kadang muncul dalam penggunaan bahasa Indonesia dalam situasi resmi yang mengakibatkan penggunaan bahasa tidak baik dan tidak benar. Sehubungan dengan semakin maraknya penggunaan bahasa gaul yang digunakan oleh sebagian masyarakat modern, perlu adanya tindakan dari semua pihak yang peduli terhadap eksistensi bahasa Indonesia yang merupakan bahasa nasional, bahasa persatuan, dan bahasa pengantar dalam dunia pendidikan.
Bahasa yang digunakan dalam mengetik SMS sangatlah beragam. Bahasa-bahasa tersebut dapat berupa bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa daerah dan bahasa lainnya. Bahasa yang dipakai sangatlah tergantung pada penerima SMS tersebut. Penggunaan bahasa yang baik dan benar adalah salah satu syarat yang sebaiknya dipenuhi dalam mengetik SMS. Pemenuhan syarat tersebut diperlukan agar kita mempunyai aturan tentang bahasa apa yang sebaiknya digunakan kepada penerima SMS.
Bahasa yang baik yaitu jika maksud yang diungkapkan dapat dipahami dengan tepat oleh orang yang menerima bahasa tersebut. Dengan kata lain, bahasa yang baik adalah bahasa yang efektif dalam menyampaikan suatu maksud. Keefektifan komunikasi lebih banyak ditentukan oleh keserasian bahasa itu dengan situasinya (waktu, tempat, dan orang yang diajak berkomunikasi). Situasi tersebutlah yang perlu diperhatikan. Bahasa yang benar kaidahnya belum tentu bahasa yang baik. Misalnya jika mengirim SMS kepada orang tua tetapi menggunakan bahasa sehari-hari yang biasa digunakan dengan teman. Jadi, jelas mengapa terlebih dahulu perlu menguasai situasi dalam menggunakan bahasa SMS. Jika ingin mengirim SMS dengan menggunakan bahasa formal, perlu diperhatikan situasinya.
Bila ditinjau dari situasinya, keefektifan komunikasi melalui SMS harus memperhatikan unsur (1) Penerima SMS dan (2) Waktu dan tempat. (1) Penerima SMS. Mengetahui siapa yang akan dikirim pesan adalah hal yang penting. Bila pengirim tidak memperhatikan siapa penerima SMS, dapat terjadi kesalahpahaman. Selain itu, maksud dari isi pesan yang ingin disampaikan tidak akan tersampaikan. (2) Waktu dan tempat. Hal yang perlu diperhatikan selain penerima SMS adalah waktu dan tempat atau kondisi saat kita akan mengirim SMS. Waktu yang tepat yaitu waktu yang sesuai dengan hari, jam, dan suasana atau situasinya. Pentingnya waktu bagi komunikasi adalah bahwa seringkali waktu dengan konteks tertentu memberikan makna tertentu kepada pesan yang ingin disampaikan dan efek dari isi pesan tersebut. Contohnya ketika hari raya Idul Fitri, SMS yang dikirimkan hendaknya menggunakan bahasa yang formal. Karena jika tidak, maka permintaan maaf yang dikirimkan akan terkesan main-main.
Keterbatasan karakter yang dapat diketik dalam SMS menyebabkan pengguna SMS cenderung melakukan penyingkatan kata. Namun demikian, penyingkatan kata pada SMS terkadang menyebabkan kesulitan bagi penerima pesan untuk menerjemahkan informasi. Penyingkatan yang tujuannya untuk menghemat kata justru menyulitkan pembaca. Pembaca memerlukan waktu dan tenaga yang lebih besar dalam memahami isi pesan dibandingkan dengan pesan yang tanpa mengalami penyingkatan.
Penyingkatan sering digunakan dalam kata-kata formal maupun nonformal. Dalam kata-kata formal, penyingkatan dilakukan dengan cara menghilangkan huruf vokal pada kata, seperti “belajar” disingkat menjadi “bljr”. Selain penghilangan huruf vokal, pada huruf vokal atau huruf diftong yang terletak di awal kalimat tidak dihilangkan. Contohnya “ilmiah” disingkat “ilmh”. Pada kata yang hanya memiliki sebuah huruf diftong di awal atau di akhir kalimat maka huruf diftong akan ditulis utuh atau diganti dengan sebuah huruf lain. Sebagai contoh, kata “air” tidak mengalami penyingkatan. Pada kata “mau” disingkat “mo”. Penyingkatan pada kata yang diawali imbuhan dilakukan dengan menghilangkan semua imbuhan di awal kata kecuali huruf awalnya dan menambahkan sebuah tanda petik (‘) setelahnya. Contohnya, “mengerjakan” menjadi “m’krjkn”. Pada kata yang mengandung gabungan dua huruf konsonan seperti ng, ny, dan sy dapat disingkat dengan menghilangkan salah satu dari kedua konsonan tersebut atau kedua hurufnya ditulis utuh. Contohnya “banyak” disingkat “bnyk”, “senang” disingkat “sng”, “syaitan” disingkat “stn”. Pada kata gabungan konsonan ny yang berarti kepunyaan (biasanya berada di akhir kalimat) mengalami banyak variasi penyingkatan. Contohnya “miliknya” ada yang menyingkatnya menjadi “mlkny”, “mlkna”, dan masih banyak lagi.
Pada proses penyingkatan kalimat nonformal pada umumnya hampir sama dengan penyingkatan kalimat formal, tetapi penyingkatan nonformal memiliki aturan yang lebih beragam dan bergantung pada kreativitas dan karakter tiap-tiap individu. Salah satu contoh yaitu kalimat “bilang dong kalo gak bisa”, bisa disingkat menjadi “blg dng kl gk bs” atau “blg dnk klo gak bs”. Penyingkatan kalimat nonformal memiliki risiko kesalahpahaman lebih tinggi bagi pembaca SMS dalam menerjemahkan informasi dibandingkan penyingkatan kata formal. Penyingkatan nonformal sering mengakibatkan sebuah singkatan bermakna ganda sehingga menyebabkan komunikasi menjadi tidak efektif.
Berdasarkan contoh-contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa bahasa SMS memiliki kekhasan tersendiri. Pemilihan diksi yang tepat dan pola penyingkatan kata-kata yang sesuai akan mempermudah pembaca SMS mengerti isi pesan. Dalam menyingkat kata-kata harus juga diperhatikan siapa penerima, waktu dan tempat, dan pemilihan bahasa formal atau nonformal dalam ber-SMS.