Ejekan (Stereotip) Mendongkrak Popularitas (Bagian 1)

Evi Olivia Kumbangsila

(Pengkaji Kebahasaan dan Kesastraan, Kantor Bahasa Maluku)

 

Pernahkah Anda mendengar ungkapan “ejekan itu seni”? Mungkinkah sebuah ejekan merupakan seni? Benarkah ejekan itu indah seperti halnya seni? Etienne Rey, seorang penulis berkebangsaan Prancis, yang juga pemain drama dan pengkritik sastra terkenal pada abad ke-18 dan ke-19 mengatakan “ejekan seringkali hanya merupakan ungkapan rasa malu dari kelemahlembutan”.

Menurut KBBI, “ejekan” berasal dari bentuk nomina “ejek” bermakna perbuatan mengejek, olok-olokan, dan sindiran. Fakta sosial juga membuktikan bahwa ejekan merupakan ungkapan yang sangat menyakitkan dalam hubungan sosial. Ejekan selalu bernada negatif yang dapat menyakiti kelompok tertentu bahkan secara individu. Selain itu ejekan dapat merendahkan diri seseorang atau kelompok. Sebuah kutipan juga menegaskan bahwa mengejek merupakan tindakan menganggap rendah derajat orang lain, meremehkan atau mengingatkan aib serta kekurangan-kekurangan yang dimiliki sehingga dapat menyebabkan tertawa atau marah. Cara ini terjadi dengan meniru-niru percakapan atau perbuatan orang lain.

Secara akademis, ejekan seperti ini disebut stereotip. Menurut KBBI, Stereotip berasal dari bentuk kata nomina yang bermakna konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tepat. Baron Branscombe dan Byrne juga menjelaskan bahwa stereotip adalah kepercayaan tentang sifat atau ciri-ciri kelompok sosial yang dipercaya untuk berbagi. Ahli yang lain, Franzoi mengatakan bahwa stereotip adalah kepercayaan tentang orang yang menempatkan mereka ke dalam satu kategori dan tidak mengizinkan bagi berbagai varian individual. Kepercayaan sosial dipelajari dari orang lain dan dipelihara melalui aturan-aturan dalam interaksi sosial. Secara sederhana, stereotip merupakan label diri sebuah kelompok atau individu yang diberikan oleh kelompok atau individu lainnya. Stereotip adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan.

Tetapi tahukah Anda bahwa ejekan juga bisa bernada positif. Ejekan bisa berdampak positif. Dampak itu dapat mendatangkan keuntungan bagi kelompok atau individu. Salah satu dampak positif adalah ejekan tersebut dapat mendongkrak popularitas. Tidak sedikit para pelaku infotainment seperti para artis, benar-benar memanfaatkan ejekan dari haters mereka untuk lebih mendongkrak popularitas mereka. Sebut saja Vicky Prasetyo. Dia adalah orang biasa yang beruntung mempersunting seorang artis dangdut, sang penyanyi dangdut itu kemudian merasa ditipu oleh Vicky Prasetyo. Namun, ketenaran Vicky bukan karena kasus penipuan yang dialaminya, tetapi karena kalimat-kalimat ‘ngelantur’nya yang menjadi bahan ejekan masyarakat tetapi kemudian ejekan itu menjadi ‘fenomena pasar Infotainment’ yang akhirnya mendongkrak popularitas Vicky Prasetyo.

Fenomena yang sama juga terjadi di beberapa negeri di Pulau-pulau Lease. Lebih tepatnya fenomena ejekan yang melahirkan julukan bagi negeri-negeri di Maluku. Ejekan ini tanpa disadari mendongkrak popularitas negeri-negeri tersebut. Bukan hanya itu, ejekan yang lahir dan melekat pada negeri-negeri tersebut tanpa sengaja telah menjadi identitas diri negeri tersebut yang tidak bisa terpisahkan. Namun, yang lebih menarik lagi karena tidak semua negeri di Maluku yang mendapat ejekan. Ejekan ini lebih banyak muncul dari negeri-negeri di Pulau-pulau Lease seperti, Pulau Haruku, Pulau Nusalaut, dan Pulau Saparua. Pulau-pulau ini terkenal dengan cara mereka bercanda atau dengan kata lain mereka suka sekali bergurau. Oleh karena itu tidak heran kata-kata ejekan muncul dari mereka. Ada juga ejekan yang muncul dari Pulau Ambon tetapi untuk sementara hanya disinyalir datang dari tiga desa, yaitu Desa Latuhalat, Tulehu, dan Waai. Ejekan ini bisa muncul dari nama olahan makanan, hasil perkebunan, hasil laut, dialek atau yang kita kenal dengan rim atau logat, dan sebagainya.

Ejekan atau stereotip atau label diri yang terdapat di Kota Ambon dan Pulau-pulau Lease dapat dikategorikan berasal dari beberapa hal sebagai berikut.

  • Makanan
  1. Taiminya.

Taiminye adalah makanan khas orang Latuhalat yang bukan hanya sekadar memenuhi selera kuliner Maluku tetapi juga harga sebuah pengorbanan Mama Latuhalat untuk masa depan anak Latuhalat. Taiminya menjadi label masyarakat Negeri Latuhalat karena mama-mama (ibu-ibu) Latuhalat yang rajin menjual taiminya dengan tradisi keku, berkeliling sambil meneriaki taiminya dengan rim Latuhalat.

  1. Kaladi batu.

Kaladi batu menjadi label masyarakat Negeri Porto karena proses memasak dengan batu menjadi satu-satunya proses memasak yang berbeda di Pulau Saparua. Proses memasak dengan batu juga yang membuat rasa kaladi itu lebih enak dibandingkan jika tidak menggunakan batu.

  1. Anjing santang.

Masyarakat Paperu dijuluki anjing santang karena beberapa orang di Paperu sering menjadikan masakan ini menjadi menu tetap dalam acara-acara resepsi seperti perkawinan, sarani, dan sidi.

  1. Nasi kalapa

Nasi kalapa merupakan julukan bagi masyarakat Haria Pante karena makanan favorit mereka adalah nasi kelapa

Stereotip atau ejekan di Kota Ambon dan Pulau-pulau Lease bukan hanya dapat dikategorikan dalam bentuk makanan tetapi juga dalam beberapa kategori, dan kategori lainnya akan dibahas dalam tulisan lain yang berjudul “Ejekan (stereotip) Mendongkrak Popularitas Bagian 2”.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

12 − eleven =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top