Ejekan (Stereotip) Mendongkrak Popularitas (Bagian II)

Evi Olivia Kumbangsila

(Pengkaji Kebahasaan dan Kesastraan, Kantor Bahasa Maluku)

 

Pada tulisan sebelumnya (bagian I), telah dipaparkan arti atau maksud istilah stereotip (ejekan). Telah dipaparkan pula keberadaan stereotip bernada positif yang ada di Kota Ambon dan Pulau-Pulau Lease. Pada bagian kedua ini, saya kembali memaparkan stereotip yang belum dipaparkan pada bagian pertama.

 

Stereotip terkait dengan hasil laut atau hasil darat

  • Kodok

Jika di tempat lain, rusa merupakan hasil buruan yang siap diolah, maka pada masyarakat Tuhaha memburu kodok. Kodok memang banyak terdapat di Tuhaha. Banyaknya kodok itu akhirnya menjadi stereotip masyarakat Tuhaha.

  • Kuli pala

Banyaknya hasil pala di Haria Gunung mengakibatkan banyaknya kulit pala yang berhamburan di Haria Gunung. Kuli pala pada akhirnya menjadi label identitas mereka.

  • Sontong

Masakan kesukaan masyarakat Noloth yakni olahan sontong. Daerah Noloth memang terkenal sebagai penghasil sontong yang cukup banyak. Ketersediaan sontong yang banyak itu menjadikan sontong sebagai menu wajib saat makan siang atau malam. Inilah yang menjadikan sotong sebagai label masyarakat Noloth.

  • Jagung

Jagung merupakan komoditas utama perkebunan di Negeri Hulaliu. Jagung tumbuh subur. Ketersediaan jagung dalam jumlah banyak itu menjadikan jagung sebagai label orang Hulaliu.

 

Stereotip terkait dengan dialek dan bahasa

Stereotip yang berkenaan dengan dialek atau bahasa dijumpai pada beberapa wilayah. Sebagai contoh, stereotip anyer ditujukan kepada masyarakat Negeri Haria. Pada masyarakat lain, misalnya masyarakat Negeri Tulehu, mereka digelari handeke, sedangkan masyarakat Negeri Waai memiliki stereotip makang blong e. Di Pulau Haruku, tepatnya di Negeri Haruku, dikenal stereotip panta babuku.

Keberadaan negeri-negeri atau pulau-pulau Ini bukan tidak diketahui atau tidak dikenali, tetapi lewat ejekan-ejekan ini, negeri-negeri atau pulau-pulau tersebut lebih dikenal secara tidak langsung. Hal ini terjadi karena ejekan ini bukan hanya berkembang di negeri itu sendiri tetapi berkembang di luar negeri itu. Hal ini juga disebabkan oleh perpindahan penduduk dari satu negeri ke negeri yang lain atau dari desa ke kota atau bahkan lintas provinsi. Masyarakat yang mungkin tidak pernah mengunjungi negeri tersebut atau bahkan tidak sedikit pun melirik negeri ini menjadi tahu dan mengenal negeri ini lewat ejekan yang didengar.

Selain ejekan yang diberikan masyarakat kepada negeri-negeri di Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease, stereotip juga ternyata melekat pada individu-individu dan sekali lagi, stereotip bagi individu tidak banyak ditemui di negeri-negeri lain di Maluku kecuali di Pulau Ambon dan Lease—pulau-pulau yang memang terkenal dengan budaya bakusangaja. Menariknya lagi, biasanya stereotip ini diberikan bagi setiap individu yang sulit untuk diketahui keberadaannya karena beberapa hal seperti di negeri itu, terdapat dua atau lebih nama orang. Sehingga untuk membedakannya, mereka diberikan ejekan yang menghasilkan julukan yang melekat nantinya sebagai identitas diri mereka yang baru. Selain itu, stereotip diberikan untuk membedakan nama marga sesorang di negeri tersebut. Karena sebagaimana kita tahu bersama, Maluku terkenal dengan budaya gandong, yaitu kakak-adik sekandung yang memungkinkan munculnya banyak marga yang sama karena lahir dari budaya gandong itu sendiri.

Nah, untuk membedakan marga yang sama yang melekat pada orang yang berbeda itulah, maka masyarakat memberikan ejekan yang kemudian melahirkan julukan yang di kemudian hari menjadi identitas baru bagi mereka. Jadi, ketika seseorang dari luar negeri itu ingin bertemu dengan orang tersebut, ketika mereka hanya menyebutkan nama atau marga saja, maka keberadaan orang tersebut akan sulit diketahui oleh masyarakat setempat. Akan menjadi berbeda kala si penanya menyebutkan julukan orang tersebut, maka dengan cepat masyarakat negeri itu akan menjelaskan secara detail tentang keberadaan orang yang dimaksud.

Namun, yang lebih menarik lagi bahwa stereotip yang ada di negeri-negeri di Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease, melekat pada orang yang memiliki nama yang berbeda dan marga yang berbeda. Salah satu negeri yang masyarakatnya diberi ejekan bukan karena nama dan marga yang sama adalah negeri Haruku di Pulau Haruku. Ternyata, ejekan itu diberikan karena beberapa alasan seperti pengalaman hidup yang dialami orang tersebut, fisik orang tersebut, nama depan orang tua, dan nama depan suami.

Jadi, ketika seseorang hendak bertemu dengan orang tersebut, ketika menyebutkan nama bahkan lengkap dengan marga orang tersebut, masyarakat di Negeri Haruku yang ditanyai akan bingung dan sulit menjelaskan keberadaan orang yang dimaksud. Akan tetapi ketika menanyakan seseorang dengan menyebutkan nama serta julukan “gelaran”, dengan cepat orang yang ditanyai itu akan menjelaskan dengan rinci keberadaan orang yang dimaksud.

Munculnya ejekan atau julukan (stereotip) secara tidak langsung telah mendongkrak popularitas orang tersebut. Orang akan menanyakan perihal sebab-musabab seseorang memiliki “gelaran”: ejekan, julukan, atau stereotip.

Stereotip baik untuk stereotip negeri maupun stereotip individu di Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease merupakan stereotip yang tidak berdampak negatif seperti menimbulkan pertentangan, perkelahian antara kelompok atau individu yang mengejek dan kelompok atau individu yang diejek. Sebaliknya, ejekan ini mengandung nilai persahabatan, kekeluargaan, dan kekerabatan. Nilai-nilai inilah juga yang lebih mengeratkan tali persaudaraan antar orang di Pulau Ambon dan Pulau-pulau lease.

Semoga pembahasan ini dapat mengingatkan masyarakat Maluku tentang labelitas diri mereka dan semakin merekatkan dan meningkatkan nilai kekeluargaan dan kekerabatan yang merupakan labelitas diri mereka.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 × three =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top