Faradika Darman
(Pengkaji Kebahasaan dan Kesastraan, Kantor Bahasa Maluku)
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi negara yang berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, pengantar pendidikan, komunikasi tingkat nasional, pengembangan kebudayaan nasional, transaksi dan dokumentasi niaga, serta sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan bahasa media massa. Itulah kutipan ayat ketiga dalam pasal 25 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Dalam salah satu artikel di harian Kompas pada 18 Februari 2017, dimuat salah satu artikel dengan judul Internasionalisasi Terkendala: Bahasa Indonesia Diminati di Luar Negeri tetapi Pengajar Masih Kurang. Pada judul tersebut jelas dikatakan bahwa salah satu permasalahan internasionalisasi bahasa Indonesia di luar negeri atau peningkatan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional adalah kurangnya tenaga pengajar bahasa Indonesia atau tenaga pengajar BIPA (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing).
Peminat bahasa Indonesia di luar negeri tercatat bertambah, dari tahun ke tahun. Kepala Pusat Pengembangan, Strategi, dan Diplomasi Kebahasaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdikbud, Prof. Emi Emilia dalam artikel tersebut juga turut menguraikan bahwa pemberlakukan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) menjadi salah satu penyebab meningkatnya peminat bahasa Indonesia di luar negeri. Banyak negara tetangga yang ingin mempelajari bahasa Indonesia. Sebagai bentuk dukungan, tiap tahunnya pemerintah selalu mengirimkan tenaga pengajar BIPA ke luar negeri. Bagaimanakah dengan di Indonesia?
Dalam salah satu kegiatan Kantor Bahasa Maluku beberapa waktu lalu, diperoleh informasi dari sejumlah guru Bahasa Indonesia bahwa jurusan Bahasa Indonesia yang ada di sekolah-sekolah di Maluku satu demi satu telah ditutup. Kurangnya guru mata pelajaran dan peminat pada jurusan bahasa Indonesia adalah beberapa alasan ditutupnya jurusan bahasa. Umumnya, pengajaran bahasa Indonesia di dalam negeri memang terkesan membosankan. Selain itu anggapan pelajar bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa mereka sehari-hari sehingga ada kecenderungan bahasa Indonesia terasa diremehkan.
Sama halnya dengan di dunia perguruan tinggi. Seringkali mahasiswa-mahasiswa jurusan Bahasa/Sastra Indonesia mendapatkan pandangan dan anggapan yang sinis jika diketahui sebagai mahasiswa jurusan Sastra/Bahasa Indonesia. Inilah realita yang sering kita temui dan dapat menjadi penilaian tersendiri bagaimana eksistensi bahasa Indonesia di dalam negeri yang sejatinya adalah rumahnya sendiri.
Persoalan lainnya terkait dengan penggunaan bahasa Indonesia di media luar ruang. Fakta yang terjadi di Maluku jika dikaitkan dengan perkembangan bahasa Indonesia yang semakin hari semakin baik di luar negeri adalah dua hal yang sungguh sangat bertolak belakang. Bahasa Indonesia memang belum menempati singgasana di tanahnya sendiri. Tidak hanya di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung, pada beberapa kota yang ada di Maluku seringkali kita menemukan papan-papan media luar ruang seperti nama hotel, pertokoan, mal, bahkan dari instansi pemerintah menggunakan bahasa asing. Di kabupaten-kabupaten pun tidak sedikit kita temukan papan-papan informasi di ruang publik yang menggunakan bahasa asing.
Di satu sisi pemerintah sedang gencar-gencarnya menginternasionalkan bahasa Indonesia atau meningkatkan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa Internasional, tetapi di tanahnya sendiri bahasa Indonesia tidak berfungsi sesuai dengan kedudukannya. Tidak hanya bendera, lagu kebangsaan, dan lambang negara yang merupakan identitas bangsa yang harus dijaga, bahasa pun harus menjadi hal yang penting untuk dipertimbangkan keberadaannya. Pemberlakukan UU tentang bahasa sebagai salah satu lambang negara tanpa menyertakan sanksi adalah satu kelemahan sehingga masih sering terlihat penggunaan-penggunaan bahasa asing di ruang-ruang publik.
Fenomena perkembangan bahasa Indonesia di beberapa negara di dunia seperti Australia, Jepang, Korea, Vietnam, dan sebagainya memanglah merupakan secercah peluang bagi bahasa Indonesia untuk menjadi salah satu bahasa internasional. Namun, usaha untuk menginternasionalkan bahasa Indonesia patutnya disertai dengan nasionalisasi bahasa Indonesia. Dalam artian bahwa semua proses tersebut harus diawali oleh bangsa Indonesia sendiri, dengan cara mencintai, menjaga, melestarikan, menggunakan, dan bangga terhadap bahasa Indonesia.
Sederhananya, sebelum bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional, bahasa Indonesia perlu menjadi bahasa resmi, bahasa nasional, yang tidak hanya sebatas kalimat dalam ayat-ayat UU RI saja, namun dapat diaplikasikan dan direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari, agar bahasa Indonesia tidak hanya hidup dan berkembang di luar negeri, tetapi di dalam negeri pun memang bahasa Indonesia selalu menjadi tuan rumah. Bahasa tak sekadar sebagai alat komunikasi, bahasa tidak sekadar menjadi alat penyampai informasi, tetapi bahasa adalah identitas bangsa kita.
Dengan mengutamakan dan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam kehidupan sehari-hari, berarti kita telah mengutamakan dan bangga terhadap bahasa Indonesia. Utamakan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, lestarikan bahasa daerah, dan pelajari bahasa asing.
Pingback: Sandyakalaning Bahasa Ibu - Sumogambar
Pingback: Sandyakalaning Bahasa Ibu - Sumogambar
Kondisi yang seperti ini harus kita yang memulai dan menjadi contoh untuk orang lain mau siapa lagi. Seperti di sekolah kita bisa memulai dengan menggunakan bahasa Indonesia saat proses belajar mengajar. Mari sama-sama mengutamakan bahasa Indonesia, melestarikan bahasa daerah, dan menguasai bahasa asing.