Evi Olivia Kumbangsila
(Pengkaji Kebahasaan dan Kesastraan, Kantor Bahasa Maluku)
“Ambon City of Music” atau Ambon Kota Musik adalah sebuah frasa yang terpajang di tepian pantai desa Hative Besar. Sebuah frasa yang bukan hanya sekadar terukir kukuh tanpa alasan dan tujuan. Bukan hanya sekadar penamaan diri atau tempat seperti yang ada di beberapa kota dan negara misalnya ukiran kata Hollywood di dinding gunung sebuah kota di Amerika Serikat atau ukiran nama pantai Losari di Kota Makassar, dan sebagainya. Frasa ini adalah sebuah bentuk penonjolan diri dalam konotasi positif, sebuah identitas diri yang sengaja ditampilkan untuk diketahui masyarakat luas bahkan orang asing yang datang berkunjung ke Ambon dan sebagai penegasan eksistensi orang Maluku dalam dunia musik dan tarik suara serta jawaban atas labelitas masyarakat luar bahwa Maluku gudang penyanyi. Walaupun secara komersial orang Maluku tidak pernah menembus dunia Indonesian Idol, The Factor, atau ajang-ajang lomba nyanyi baik secara nasional maupun internasional, setidaknya beberapa tahun terakhir, dan secara genetis tidak semua orang Maluku tahu menyanyi atau terlahir sebagai musisi dan penyanyi. Namun, orang Maluku sudah dan menikmati label masyarakat luas itu sejak dahulu kala.
Pada kenyataannya, labelisasi itu muncul karena memang ada beberapa penyanyi terkenal dan melegenda di Indonesia lahir dan mengharumkan nama Maluku antara lain Broery Pesulima, Bob Tutupoly, Enteng Tanamal, Glend Friedly, Ruth Sahanaya, Andre Hehanusa, dan sebagainya. Muncul juga beberapa grup-grup penyanyi lokal dan penyanyi solo asli orang Maluku dengan karya-karya mereka lewat lagu-lagu pop Maluku yang laris terjual bukan hanya di Maluku, tetapi juga di beberapa provinsi di Indonesia seperti Hellas Grup, Mainoro Grup, Nanaku Grup, Naruwe Grup, dan banyak lagi grup-grup penyanyi dan musisi asal Maluku. Terkenalnya grup-grup ini bukan hanya dari keharmonisan suara mereka atau teknik olah vokal mereka ataupun gaya bernyanyi dan penampilan mereka tetapi juga karena pemilihan kata dalam membentuk syair lagu mereka terdengar indah selain itu identitas diri sebagai orang Maluku tergambar dalam setiap lirik lagu yang mereka nyanyikan. Karena lirik lagu itu menggunakan bahasa Melayu Ambon.
Bahasa Melayu Ambon merupakan bahasa pemersatu suku-suku di Maluku. Mengapa demikian? Karena semua orang Maluku akan saling memahami saat berkomunikasi walau mereka datang dari suku yang berbeda di Maluku dan memiliki bahasa daerah mereka masing-masing. Namun yang terjadi adalah bahasa Melayu Ambon itu sendiri perlahan-lahan terkikis dari Maluku. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Saat ini saya hanya akan membahas salah satu faktor terkikisnya bahasa Melayu Ambon dari tampa potong pusa, Ambon. Salah satu faktor yang berpengaruh dalam perkembangan bahasa melayu Ambon adalah lagu-lagu pop Ambon yang beredar di seantero Maluku.
Kenikmatan orang Maluku dan kepekaan mereka terhadap lagu karena labelisasi masyarakat luas sangat menentukan daya hidup bahasa Melayu Ambon di tengah-tengah aktivitas kehidupan sehari-hari orang Maluku lewat lirik-lirik lagu yang mereka dengar dan nyanyikan kembali. Terutama bagi generasi muda. Sebagai contoh, generasi muda khususnya di Ambon lebih memilih berkomunikasi dalam bahasa sinetron yang jelas saja telah menyita banyak waktu mereka dibandingkan bersama keluarga. Perkembangan bahasa sinetron yang telah mengambil sebagian besar aktivitas masyarakat peminatnya memiliki kesamaan dengan pengaruh bahasa dalam lirik lagu bagi masyarakat Maluku yang nota benenya pecinta musik. Ketika masyarakat Maluku mendengarkan lirik-lirik lagu pop Maluku yang dinyanyikan dalam bahasa Melayu Ambon, secara tidak langsung mereka beradaptasi dengan bahasa tersebut. Terlebih, sadar atau tidak lewat bahasa, kebudayaan pemilik bahasa itu dapat diketahui karena bahasa bukan hanya alat komunikasi seperti penjelasan F.X. Rahyono dalam bukunya Kearifan Budaya dalam Kata. Dia menjelaskan pandangan Kramsch tentang jalinan bahasa dan kebudayaan. Melalui bahasa, kebudayaan pemilik bahasa dapat diketahui karena realitas cultural diungkapkan, diwujudkan serta dilambangkan dengan bahasa. Lebih lanjut dia menjelaskan bahasa merupakan instrument untuk mengungkapkan apa yang dipelajari dan dipikirkan oleh manusia secara verbal. Secara tegas dia pun menjelaskan bahwa tanpa bahasa kita tidak dapat meneruskan atau menerima keterangan-keterangan secara simbolis dan dengan demikian tidak dapat menjadi pewaris dari suatu kebudayaan yang demikian kaya dan demikian aneka ragamnya (2009:77).
Contohnya, ketika grup Hellas menyanyikan lagu-lagunya dalam bahasa Melayu Ambon, secara tidak langsung grup itu pun menjelaskan beberapa tradisi dan budaya orang Ambon seperti tradisi makang patita, tradisi menangkap ikan, budaya persaudaraan, dan sebagainya Ketika grup Mainoro melantunkan lagu Nona Pela, grup ini mengajarkan generasi muda dengan tradisi Pela Gandong. Mengingat betapa sakralnya hubungan Pela Gandong sehingga mereka kembali mengingatkan generasi muda tentang siapa Pela dan Gandong orang Ambon dan orang-orang Lease. Setiap lirik dalam lagu-lagu pop Ambon yang dinyanyikan oleh beberapa Vocal Group lokal dan penyanyi tunggal dalam bahasa Melayu Ambon benar-benar menampilkan identitas orang Maluku serta budayanya.
Sangat disayangkan, semakin berkembangnya dunia musik dan semakin populernya lagu-lagu Ambon di luar Pulau Ambon, para musisi tidak lagi mempertimbangkan beberapa hal-hal berikut. Pertama, muatan lagu dalam setiap lirik. Muatan lagu pop sekarang ini lebih menampilkan cinta yang menggebu-gebu hingga kegalauan yang menyiksa pasangan muda-mudi, sang wanita terdengar putus asa dan terlebih lagi sang pria terdengar padede atau cengeng. Ini sangat berbeda dengan pandangan masyarakat luar tentang pria Ambon yang macoh, cool, dan menjadi incaran para gadis. Demikian juga dengan para wanita Ambon yang terkenal itam manis dan balagu. Demi menembus pasar, lagu-lagu pop Ambon hampir tidak lagi memuat kasih mama dan papa, persaudaraan di tanah orang yang merupakan budaya orang Maluku.
Kedua, pemilihan kata. Banyak musisi lagu pop Ambon tidak lagi selektif dalam memilih kata. Contohnya ada kata-kata yang terlalu fulgar diungkapkan dalam lirik lagu serta pemilihan kata yang tidak sesuai sehingga tidak membentuk rima yang indah yang juga akhirnya mengurangi kualitas perpaduan kata antara melodi dan syair. Ketiga, pemakaian bahasa Melayu Ambon. Sadar atau tidak, para musisi lagu-lagu pop Ambon tidak lagi memakai bahasa Ambon sebagai lirik lagu mereka. Yang terjadi adalah mereka memakai bahasa Indonesia yang di-Ambon-kan padahal bagian depan album mereka selalu menulis lagu pop Ambon, dan lagu-lagu ini beredar di Maluku dan pendengarnya juga adalah orang Maluku yang dipersatukan dengan bahasa Melayu Ambon. Seperti yang saya katakana sebelumnya, terkikisnya bahasa Melayu Ambon dari lirik-lirik lagu pop Ambon secara tidak langsung telah mengikis budaya orang Ambon. Parahnya lagi, hal ini memengaruhi karakter generasi sekarang. Karena ketidaktahuan bahasa menimbulkan ketidaktahuan budaya dan kehilangan karakter orang Maluku.
Eksistensi bahasa Melayu Ambon dalam setiap lirik lagu Ambon bukan hanya menunjukkan jati diri orang Maluku namun juga dapat membantu generasi selanjutnya dalam pembelajaran bahasa Melayu Ambon, menghindari Maluku khususnya pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease dari kepunahan bahasa Melayu Ambon dan yang terpenting adalah kehilangan budaya dan karakter Orang Maluku. Semoga pembahasan ini dapat menyadarkan kita betapa pentingnya bahasa khususnya bahasa Melayu Ambon dalam sebagai dasar kebudayaan kita yang harus kita jaga dan lestarikan dan ini bisa dimulai dari lirik-lirik lagu pop Melayu Ambon yang beredar di negeri kita negeri raja-raja.