Faradika Darman
(Pengkaji Kebahasaan dan Kesastraan, Kantor Bahasa Maluku)
Kapata merupakan salah satu bentuk sastra lisan yang dikenal oleh sebagian besar masyarakat Maluku. Sastra lisan sejenis kapata juga dijumpai di beberapa tempat dengan istilah yang berbeda seperti tambaroro di Kepulauan Aru, foforuk di Fordata, kabata di Kepulauan Banda, dan sebagainya. Kapata tersebut berupa nyanyian adat yang dilantunkan dan diperdengarkan dalam ritual atau upacara di negeri-negeri adat di Maluku.
Sastra lisan kapata dilantunkan dengan menggunakan bahasa tana atau bahasa adat. Bahasa adat hanya diketahui oleh tetua adat atau mereka yang ditugaskan untuk melantunkan kapata. Inilah yang menyebabkan banyak orang tidak mengetahui dan memahami makna yang terkandung di dalamnya. Padahal, di dalam lantunan kapata terkandung banyak makna dan nilai-nilai kehidupan para leluhur.
Pada zaman dulu, semua peristiwa yang dialami dibekukan dalam kapata. Jika sekarang ini generasi era digital menggunakan kartu memori yang sangat canggih untuk menyimpan data-data penting, maka pada masa lampau para leluhur menjadikan kapata sebagai alat penyimpanan data-data penting terkait dengan kehidupan sehari-hari, nilai-nilai sosial, norma kehidupan, dan sebagainya. Oleh karena itu, semua peristiwa yang dialami oleh leluhur dulu tersimpan dan abadi dalam kapata. Hal ini tentunya menjadi sarana pembelajaran yang sangat penting bagi kita generasi yang hidup pada masa sekarang.
Kapata-kapata dalam acara adat atau perayaan tradisi masyarakat Maluku tidak terhitung jumlahnya. Setiap negeri adat di Maluku memiliki beragam kapata yang selalu menarik untuk dikaji karena menyimpan banyak nilai, cerita budaya, dan sejarah para leluhur. Desa atau negeri adat yang masih konsisten menjaga keberlangsungan budaya dan adat adalah Negeri (desa) Morella, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah.
Negeri Morella memiliki beberapa bentuk tradisi dan sastra lisan seperti kapata, mitos, ritual adat, drama teatrikal, nyanyian tradisional, dan permainan rakyat. Ritual adat yang sangat identik dengan masyarakat Morella adalah ritual adat Pukul Sapu Lidi. Di dalam ritual ini terdapat satu kapata yang menjadi pengiring dalam salah satu tarian khas yang selalu ditampilkan dalam perayaan ritual tersebut yaitu Kapata Perang Kapahaha. Kapata ini juga dikenal dengan nama Kapata Tarian Lani Lisa karena menjadi pengiring dalam tarian tersebut.
Kapata yang dijadikan sebagai pengiring dalam tarian Lani Lisa ini sudah cukup dikenal oleh masyarakat Negeri Morella pada khususnya dan Maluku pada umumnya karena kapata ini sering dilantunkan bersamaan dengan pergelaran tarian Lani Lisa. Tarian Lani Lisa adalah tarian yang menggambarkan tentang perang kapahaha (penyerangan terhadap Belanda) terjadi sekitar tahun 1637—1646. Tarian ini dimainkan oleh para wanita muda yang mencerminkan semangat srikandi kapahaha yang saat itu dipimpin oleh Putijah. Pada perang kapahaha, Putijah yang merupakan istri Kapitan Telukabessy gigih melawan kompeni Belanda.
Para penari berjumlah tigabelas orang. Dikisahkan bahwa tigabelas melambangkan jumlah kapitan yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia yang turut membantu dalam perang di benteng kapahaha. Pakaian dan ikat kepala merah (berang) melambangkan keberanian. Syair atau lagu yang menjadi pengiring tarian ini adalah kapata perang kapahaha.
Pada beberapa bagian dalam Kapata Perang Kapahaha tercermin sikap patriotisme para pejuang yang berkorban mempertaruhkan nyawa untuk melawan penjajah. Seperti pada bagian/bait pembuka berikut Kakula seli eka rula lala (kemerdekaan hanya dapat ditebus dengan darah), Lisa Makana-lisa makana (kita harus berjuang dan mempertahankan daerah ini), Kapahaha hausihui holi siwa lima (kobarkan api perjuangkan Kapahaha di seluruh patasiwa patalima), Lisa haulala-lisa haulala (maju terus dengan semangat berapi-api).
Selain bagian tersebut, pada bagian penutup pun secara jelas menggambarkan bagaimana semangat patriotisme para pejuang di bawah pimpinan Telukabessy, antara lain Telukabessy rulu haita Selambi (Telukabessy turun ke pantai Selambi untuk membela rakyatnya), Toma rala lisa sowa kabaresi (Suasana perundingan ternyata bertentangan, akhirnya diantar ke Ambon), Lisa soua hale kota Latania (Tekanan arus di benteng Victoria), Nisasaai late sole hatu rala (Telukabessy divonis dengan hukuman gantung 3 September 1646), Nusai kakula kapalima kapayai (Telukabessy tetap pertahankan kemerdekaan dan setia pada rakyatnya). Meurula molo sahi yana walia (Biar korban jiwa dan dilenyapkan bakal ada generasi mendatang).
Itulah beberapa kutipan kalimat dalam Kapata Perang Kapahaha yang dapat dijadikan ladang informasi dan sumber sejarah. Pengetahuan tentang sejarah penjajahan dan para pejuang kemerdekaan tersimpan rapi dalam kata demi kata pada kapata-kapata yang tersebar luas di semua negeri-negeri adat di Maluku. Jika kita mengenal benteng, prasasti, dan candi sebagai bukti-bukti sejarah masa lampau, maka kapata pun sejatinya adalah bukti yang menyimpan dengan utuh rekam jejak sejarah nenek moyang dan leluhur di masa lampau.