Asrif
(Kepala Kantor Bahasa Maluku)
Saat Kongres Kebudayaan Maluku (KKM) II yang dilaksanakan pada tanggal 6—10 November 2016 di Kota Namlea, Kabupaten Buru, salah seorang pemakalah (saya lupa asal negaranya) menyatakan bahwa sangat terbatas sumber-sumber sejarah tentang Maluku yang dapat dibaca dan ditelaah oleh peneliti dan masyarakat. Catatan-catatan sejarah Maluku umumnya dapat diketahui dari catatan-catatan Belanda, baik yang terkoleksi di perpustakaan-perpustakaan Indonesia ataupun yang ada di negeri Belanda. Menurut pemakalah tersebut, catatan sejarah itu masih amat terbatas terlebih catatan itu ditulis dengan menggunakan sudut pandang penulisnya. Sangat minim catatan sejarah yang ditulis oleh penulis dari Maluku selain satu catatan yang ditulis oleh Iman Rijali berjudul Hikayat Tanah Hitu. Menurutnya, Hikayat Tanah Hitu dapat menjadi salah satu sumber sejarah yang dapat dikomparasi dengan catatan-catatan sejarah Maluku lainnya. Oleh karena itu, diperlukan penelusuran sejarah dari sumber-sumber lain yang diduga dapat memperkaya informasi tentang sejarah Maluku.
Penjelasan pemakalah itu sangat menarik perhatian saya karena ia menelisik sejarah Maluku dari aspek sumber-sumber lain selain sumber tertulis. Jika penelusuran sejarah hanya didasarkan pada catatan (dokumen tertulis), maka hal itu akan menjadi kendala penelusuran berbagai sejarah negeri yang ada di Maluku. Saya sebut kendala karena masyarakat Nusantara terutama yang berada di wilayah timur belum atau tidak aktif menuliskan sejarah-sejarah yang terjadi di sekitar mereka. Jika sejarah hanya didasarkan pada dokumen tertulis, maka akan banyak negeri tidak memiliki sejarah. Sejarah hanya akan menjadi milik negeri yang telah mengenal tradisi menulis atau oleh negeri yang sejarahnya telah dituliskan oleh orang lain.
Menurut saya, sejarah tidak semata hanya berada dalam dokumen tertulis. Jan Vansina (2015) dalam bukunya berjudul Tradisi Lisan sebagai Sejarah telah menegaskan bahwa tradisi lisan seperti tuturan rakyat, hikayat, cerita rakyat berpotensi menjadi sejarah. Saya setuju dengan pandangan Jan Vansina tersebut karena sejarah bagi masyarakat nir-aksara akan terdokumentasi dalam ingatan atau memori (lisan) individu atau kolektif (masyarakat). Sejarah masyarakat nir-aksara dibekukan dalam cerita rakyat, baik itu dalam sastra lisan seperti nyanyian rakyat, mitos, fabel, dan dongeng.
Sejarah tutur (lisan) dikisahkan dalam berbagai ujud yang kadangkala disertakan dengan unsur gaib, mitos, fabel, dan sebagainya yang pada akhirnya tampak sebagai cerita fiksi tak berdasar. Pada masyarakat nir-aksara, keberadaan sastra lisan seperti nyanyian rakyat dan cerita rakyat dapat dikaji untuk menemukan bagian-bagian utama dari sejarah suatu wilayah. Sastra lisan yang satu dapat dihubungkan dengan sastra lisan yang lain untuk menemukan “jalinan” sejarah yang terdapat di berbagai sastra lisan. Menurut saya, di dalam sastra lisan, terkandung sejarah yang dapat melengkapi keterbatasan sejarah tertulis saat ini.
Sastra lisan kapata disebut sebagai nyanyian rakyat yang mengisahkan sejarah negeri-negeri. Sejarah negeri dibekukan melalui nyanyian-nyanyian dan bahkan cerita rakyat, mitos, dan sebagainya. Nyanyian itu terus menerus dinyanyikan (diproduksi) agar proses pewarisan kisah dapat terus berjalan dari generasi ke generasi. Pelantun kapata ialah mereka yang menempatkan diri sebagai “penulis” sejarah. Pelantun kapata merangkai sejarah, mendokumentasi, dan mengarsipkan dalam nyanyian rakyat yang kita sebut sebagai kapata. Oleh karena itu, sastra lisan seperti kapata juga adalah sumber sejarah yang tidak dapat dipandang sebagai hiburan semata.
Pengkajian terhadap sastra lisan kapata dapat meminimalisasi keterbatasan sumber-sumber sejarah. Kapata menjadi dokumen lisan atau arsip lisan yang berisi sejarah negeri-negeri yang ada di Maluku. Selain sastra lisan seperti kapata, sastra lisan lain yang ada di Maluku juga berpotensi sebagai sumber sejarah. Sejarah dan peristiwa budaya lain pada masyarakat nir-aksara akan didokumentasi melalui berbagai sastra lisan dan tradisi tutur lainnya. Oleh karena itu, keberadaan sastra lisan di tengah-tengah masyarakat saat ini perlu ditelaah kembali untuk melihat “unsur sejarah” yang ada di dalamnya.
Lisan dan tulisan adalah dua tradisi yang akan selalu ada dan saling menopang. Lisan akan menjadi tulisan dan sebaliknya tulisan akan dilisankan kembali. Lisan dan tulisan ialah dua sisi yang setara.