Faradika Darman
(Pengkaji Kebahasaan dan Kesastraan, Kantor Bahasa Maluku)
Indonesia adalah salah satu negara yang dikaruniai Tuhan oleh aneka ragam budaya. Kekhasan budaya yang dimiliki bangsa ini membuat Indonesia sangat dikenal di mata dunia Internasional. Keragaman tersebut meliputi keragaman bahasa, tradisi, adat, dan sebagainya. Negara kepulauan ini memiliki berbagai bentuk kebudayaan yang berbeda antara satu pulau dengan pulau lainnya. Seperti halnya di Maluku. Tidak hanya pada penutur bahasa Melayu, di Maluku pun memiliki tradisi berpantun.
Pantun adalah bentuk tradisi lisan berupa karya sastra yang hampir ada atau dimiliki di setiap daerah di Nusantara. Satu kemungkinan bahwa pantun memang sangat berkembang di suatu daerah yang memiliki penutur berbahasa Melayu. Pantun diikat oleh beberapa aturan yang harus dipenuhi. Aturan pembentukan pantun, misalnya, terdiri atas empat baris dalam setiap baitnya, baris 1 dan 2 merupakan sampiran dan baris 3 dan 4 merupakan isi. Selain itu pantun pun harus memiliki bunyi yang enak dan teratur didengar. Pantun dapat menjangkau semua aspek kehidupan manusia jika dicermati berdasarkan isi dan maknanya.
Pantun biasanya diciptakan dengan menggunakan bahasa dan pilihan kata yang mudah dipahami. Sayangnya, saat ini pantun seperti kehilangan daya tariknya. Padahal, jika diingat-ingat, banyak pantun yang diciptakan pada zaman dahulu yang masih sangat membekas di masyarakat hingga saat ini. Hal tersebut menjadi bukti bahwa pantun adalah karya yang begitu dekat dengan masyarakat.
Di Maluku terdapat satu tradisi berbalas pantun yang dikenal dengan istilah tatabuang manare dan badendang. Namun seiring berkembangnya zaman, tradisi tersebut tidak banyak lagi diperdengarkan. Seseorang yang masih konsen hingga saat ini menjadikan pantun sebagai media untuk mengingatkan dan menasihati orang lain adalah Eliza Kissya. Pantun pun seringkali diidentikkan dengan seorang sosok yang dikenal sebagai kepala kewang di Negeri Haruku, Kabupaten Maluku Tengah. Kewang adalah lembaga adat yang bertugas untuk menjaga kelestarian laut, hutan, dan darat.
Om Eli seperti itu biasanya beliau disapa telah menciptakan banyak pantun dalam berbagai macam tujuan dan tema. Di samping pencipta, Om Eli juga bertindak sebagai penutur. Pantun yang ia ciptakan juga turun dilantunkan pada berbagai pertemuan, baik lokal maupun nasional. Beliau bertindak sebagai pencipta sekaligus sebagai penutur. Banyak kejadian-kejadian yang dibekukan dalam pantun. Kekhasan negeri Haruku dan Maluku pun tersimpan dalam baik dengan diksi dan rima yang enak didengar.
Banyak hal menarik yang dapat dipelajari dari pantun. Dapat dikatakan bahwa, pantun memiliki daya ungkap yang dapat dikaitkan dengan semua aspek kehidupan. Berdasarkan pengamatan makna pada beberapa pantun ciptaan Om Eli dapat ditarik sebuah nilai kemalukuan yang sangat baik dijadikan bahan pembelajaran dan nasihat. Berikut ditampilkan beberapa contoh pantun karya Eliza Kissya yang dikutip dalam buku Kapata Kewang Hauruku dan Sasi Aman Haru-Ukui terbitan Inninawa (2013:8—9).
(1)
Beta ini anak Negeri Hila
Katong samua sudah nanaku
Saureka-reka deng bambu gila
Tarian asli dari Maluku
(2)
Negeri Haruku di Pulau Haruku
Negeri Noloth di Pulau Saparua
Ikatan pela su dari dulu
Dari masa orang tua-tua
(3)
Potong tiang potong pangkuku
Kalau ikat pakailah tali
Kalau kamu orang Maluku
Putus gandong itu pamali
Ketiga pantun di atas memiliki kejelasan makna yang dapat dilihat pada aspek isi (baris ketiga dan keempat) pada setiap pantun. Pada pantun (1) nilai kemalukuan tergambar dengan sangat jelas. Dari keempat baris dalam pantun tersebut tergambar sisi kemalukuan yakni pada diksi yang digunakan. Beberapa diksi yang dapat ditelisik mengandung nilai kemalukuan adalah Negeri Hila, salah satu negeri (desa adat) yang terdapat di Maluku tengah, kemudian diksi katong yang merupakan bahasa Melayu Ambon yang berarti kita. Selain itu pula diuraikan pula tentang jenis tarian khas dari Maluku yaitu saureka-reka dan bambu gila yang merupakan tarian asli dari Maluku.
Pantun yang dikemas dengan bahasa yang sangat sederhana dalam empat baris yang terdiri atas sampiran dan isi telah memberikan satu makna yang utuh tentang Maluku dan menunjukkan kekhasan di dalamnya. Pada pantun (2) dan (3) penulis memilih diksi tempat yang ada di Maluku dan ingin memperlihatkan adanya hubungan kekerabatan yang sangat identik dengan orang Maluku khususnya di Pulau Ambon, Pulau Seram, dan Pulau-pulau Lease. Hubungan pela dan gandong sudah terjalin sejak dulu dan menjadi lambang persaudaraan yang sejati serta kekuatan perserikatan antara negeri-negeri. Hubungan persaudaraan tersebut diatur dalam perjanjian baik lisan maupun tulisan, dimana para pihak berjanji untuk patuh dan saling mengasihi satu sama lain.
Kemalukuan dalam pantun masih banyak tentunya yang dapat kita temukan pada pantun lainnya. Pantun adalah satu karya yang sangat dekat dengan semua lapisan masyarakat. Karakter orang Maluku ataupun kekhasan daerah di dalam pantun dapat dijadikan sebagai cermin bahwa karya sastra sederhana seperti pantun pun dapat dimanfaatkan dan dijadikan sebagai media promosi ataupun media pembelajar.
Pantun tak hanya kalimat berbasis tak berarti tetapi karya yang dijadikan pengarang sebagai media penyampai ide, gagasan, dan pesan yang tidak hanya bermanfaat bagi diri pengarang tetapi juga bagi masyarakat dan pembacanya. Oleh karena itu, pantun dapat dijadikan sebagai sebuah rujukan dalam upaya pembangunan karakter orang Maluku karena banyak terkandung nilai positif yang sangat relevan dengan kondisi masyarakat saat ini.