Kepekaan Sosial dalam Nyanyian Tradisional Tanimbar

Evi Olivia Kumbangsila

(Pengkaji Kebahasaan dan Kesastraan, Kantor Bahasa Maluku)

 

Pagi itu, setelah saya tiba di sebuah desa di Pulau Larat, Tanimbar tepatnya di Desa Ridool, saya mendengar suara beberapa pria yang sekilas terdengar seperti rintihan dan tangisan di sebuah acara kedukaan dalam bahasa daerah. Setelah saya telusuri, saya baru tahu bahwa para bapak sedang mengungkapkan kesedihan mereka dalam syair-syair sendu. Syair itu dinyanyikan dengan nada-nada minor. Nyanyian serupa bukan hanya ada di Desa Ridool tetapi juga di semua desa di Pulau Tanimbar. Dalam bahasa Fordata disebut foforuk, bahasa Yamdena disebut foruk, bahasa Selaru disebut beu, dan ada juga dalam bahasa Selaru (hanya saja saya belum sempat menelusuri tentang bahasa Seluarsa yang ada di Desa Makatian dan beberapa desa di sekitarnya).

Nyanyian ini bisa dinyanyikan dengan atau tanpa musik pengiring seperti gitar, tifa atau jenis musik akustik lainnya. Nyanyian ini biasanya dinyanyikan oleh beberapa pria atau wanita yang benar-benar fasih dalam nyanyian ini. Disebut fasih karena tidak semua orang dapat menyanyikannya. Nyanyian ini adalah nyanyian yang diwariskan secara turun temurun. Syairnya saja, sebagian besar sudah ada sejak dahulu dan ada yang diciptakan mendadak saat ada suatu peristiwa terjadi. Bahkan, di beberapa tempat dijadikan salah satu mata lomba. Khususnya di Pulau larat, menurut pengakuan beberapa informan, waktu yang diperlukan untuk mengadakan lomba foforuk sangat lama, karena membutuhkan beberapa hari bahkan bisa berminggu-minggu.

Sepenting apakah foforuk atau foruk hingga harus dilombakan berminggu-minggu? Menurut James Dananjaja nyanyian ini berbeda dengan nyanyian-nyanyian pop atau seriosa. Perbedaannya yaitu pertama, nyanyian seperti ini sifatnya mudah berubah-ubah baik bentuk maupun isinya, sedangkan bentuk nyanyian pop lebih kaku, semua sudah tertulis dalam naskah lagu aslinya. Penyanyi pop diharuskan menyanyi berdasarkan partitur lagu aslinya. Kedua, masa kemasyhuran nyanyian pop tidak begitu lama, bisa beberapa minggu atau bulan setelah itu dilupakan orang. Hal ini juga disebabkan karena nyanyian pop menjadi popular terutama di kalangan remaja saja. Sebaliknya, nyanyian seperti foforuk, foruk, dan beu memiliki masa kejayaan yang tidak pernah berakhir sepanjang masa selama masyarakat pemiliknya masih melestarikannya karena nyanyian seperti itu bukan hanya popular di kalangan tertentu, tetapi di semua kalangan. Ketiga, nyanyian pop lebih bertemakan cinta dan tidak sedikit lirik nyanyian pop Indonesia selalu dalam ratapan bertanya dan mencari-cari jawaban tanpa berusaha memerangi kesedihan itu, sedangkan nyanyian seperti foforuk, foruk, dan beu bukan hanya bertemakan cinta, tetapi juga nasihat, sejarah, tantangan, keberhasilan, harapan, dan sebagainya.

Foforuk, foruk, dan beu disebut sebagai nyanyian rakyat. Nyanyian ini tidak hanya dinyanyikan dalam suasana-suasana kedukaan, tetapi juga dalam semua suasana, tinggal menyesuaikan liriknya dengan suasana yang ada. Nyanyian rakyat Tanimbar berbentuk peribahasa-peribahasa dalam bahasa daerah yang memiliki makna mendalam. Rima yang terbentuk oleh deretan kata-kata kiasan membuat nyanyian tersebut terdengar lebih indah ketika dipadukan dengan nada-nada minor. Nyanyian rakyat Tanimbar adalah bentuk ungkapan rasa masyarakat Tanimbar. Ini bisa terlihat saat mereka menuangkan kepedihan hati mereka karena kehilangan orang yang mereka sayangi dalam lirik-lirik foforuk. Begitu mendalamnya kata-kata dalam liriknya, membuat mereka tidak segan-segan meneteskan air mata bahkan suara tangisan. Begitu pula saat mereka menasihati anak mereka dengan nyanyian-nyanyian ini, nasi hat itu terasa lebih membekas sehingga tetap diingat sampai kapanpun, ataupun memarahi anak-anak mereka. Selain itu semua harapan mereka pun mampu mereka tuangkan dalam syair-syair dalam nyanyian rakyat mereka

Contoh bentuk nyanyian rakyat Tanimbar adalah sebagai berikut (dalam bahasa Yamdena:

  • Kete tban dondram dosa ntafal kit tfalak lan angry mbalondyar fal tal yole srat loran.

(Jangan jalan dalam gelap nanti timbul dosa, kita bicara hal benar seperti banyak orang jalan)

Sekilas tidak akan memahami maksud syair ini jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Namun, ketika ini dimaknai lebih mendalam, syair ini berarti sebuah nasihat. Ketika hal benar telah dibicarakan, jangan jadi satu-satunya orang yang berbicara hal yang tidak benar karena itu adalah dosa.

  • Meta retam lo inara rangret lo mangtidola re misdryalik tate ruape nmada.

(Air telah surut. Ikan sudah kering. Orang yang ingin ke laut harus cepat karena air akan pasang)

Ini adalah bentuk nasihat. Salah satu mata pencarian mereka adalah nelayan. Bagi mereka, ketika air surut, banyak ikan yang akan terperangkap di dalam sero. Oleh karena itu haruslah cepat mengambil ikan. Apabila air telah pasang, maka ikan yang berada di sero akan terbawa air pasang. Nasihatnya adalah bila rezeki sudah ada di depan mata, segeralah usahakan sebelum kesempatan mendapatkan rezeki itu sirna.

 

Dalam bahasa Selaru

  • Lema wilin bothkemede wilin kumalkema enaru, aro kraal sasam itnye.

Tuat sasamke ma tatehi, werke kwiake ota oli.

(Bukan kemudi perahu boat, tetapi kemudi perahu kumal kemudi dua, kita semua berada dalam satu perahu, ketupat satu buah dibelah untuk kita semua, sisa air kita minum bersama).

  • Syofneke snyof sei lakdukene, tnutur neo tnutur maske kemesmyesan bo.

Srune sasam antifke, sasam kyait inaknamkeyo tkasa taselukbo.

(Bentuk rumah ini rumah kembar, lutur ini lutur mas, sendok satu piring satu, datang untuk makan bergilir lewat satu sendok).

Kedua syair ini merupakan nasihat untuk saling mengerti, menolong, menghormati, dan menyayangi. Nasihat untuk selalu mengutamakan rasa persaudaraan walaupun datang dari suku yang berbeda, warna kulit yang berbeda, pemikiran yang pasti berbeda. tetapi menyatu dalam jiwa kekeluargaan.

 

Dalam bahasa Fordata.

  • Deka da mulola vovat kan kedwari kata ro ratbetu.

Ma’in weang watan vat ma suma rer rdoku.

(Tolong datang untuk melihat masyarakat yang berjuang di Tanimbar Utara ini.

Banyak susah dan penderitaan yang mereka alami.)

 

  • Byana ba mingnanang ami leal timur matan

Myaa vatan fun wolam kya’a lera en ndata

(Bapa ibu jalankan tugas di provinsi.

Kami mohon ingat kami masyarakat di Tanimbar Utara ini.)

 

Kedua syair ini bermakna harapan. Rakyat Tanimbar Utara sangat mengharapkan uluran tangan dan perhatian pemerintah baik pemerintah kabupaten bahkan sampai ke provinsi.

Nyanyian ini merupakan warisan nenek moyang rakyat Tanimbar yang terus mereka jaga sekaligus mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Warisan ini juga sekaligus merupakan tradisi lisan yang secara tidak langsung telah mengambarkan budaya masyarakat pemiliknya. Semoga tulisan ini dapat membantu kita untuk lebih mengenal budaya rakyat Tanimbar sekaligus menambah kebanggaan kita sebagai orang Maluku yang sangat kaya dengan sastra lisan.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

fifteen − two =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top