Helmina Kastanya
(Pengkaji Kebahasaan dan Kesastraan, Kantor Bahasa Maluku)
Maluku merupakan negeri yang kaya budaya dan seni, termasuk di dalamnya bahasa dan sastra. Sebagai provinsi yang memiliki jumlah bahasa yang banyak di Indonesia, tentunya masyarakat Maluku harus bangga karena hal itu merupakan anugerah yang dimiliki negeri tercinta. Negeri yang dijuluki negeri seribu pulau ini memiliki budaya yang khas dengan berbagai bahasa daerah yang tersebar di setiap wilayah. Hal ini akan sangat membanggakan pula apabila setiap daerah di Maluku yang memiliki bahasa dan sastra daerah mampu menjaga dan melestarikannya sebagai bagian dari budaya lokal.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan penulis di Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease, bahasa dan sastra daerah ternyata sudah terancam punah. Di Pulau Ambon misalnya, hampir sebagian besar bahasa daerah yang ada di sejumlah wilayah di Pulau Ambon telah berada pada kondisi kritis, bahkan sebagian besar penutur sudah tidak mampu berbahasa daerah dan tidak memilki pengetahun tentang sastra daerah baik cerita rakyat, sejarah terbentuknya negeri, dan tradisi lisan lain. Wilayah jazirah Leitimur Selatan, Nusaniwe, Sirimau, dan Baguala pada umumnya telah kehilangan eksistensi bahasa daerah di masyarakat.
Wilayah Pulau Ambon yang masih bertahan penggunaan bahasa daerah adalah negeri-negeri di Jazirah Leihitu yang beragama Islam. Selain itu, di Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, dapat digambarkan bahwa negeri yang masih bertahan bahasa daerahnya adalah negeri yang mayoritas penuturnya beragama Islam. Hal yang sama terjadi pula di Pulau Saparua dan Nusalaut. Kondisi kebahasaan dan kesastraan pada Pulau Saparua dan Nusalaut sangat kritis. Hampir semua negeri yang beragama Kristen tidak lagi memiliki penutur yang mampu berbahasa daerah, sedangkan negeri yang masih bertahan penggunaan bahasa daerahnya adalah negeri yang mayoritas penuturnya beragama Islam.
Kondisi tersebut dapat dilakukan pengkajian dengan berbagai pendekatan untuk mengetahui penyebab terancamnya atau kritisnya bahasa daerah di Maluku sekaligus upaya untuk mengatasinya. Apabila dikaji dengan pendekatan historis, pengaruh kolonial terutama Belanda sangat besar tehadap eksistensi bahasa daerah. Sebagaimana yang dikemukakan Pieris (dalam Falantino, 2011) bahwa masyarakat Maluku terutama yang beragama Kristen memiliki kedekatan yang istimewa dengan Belanda pada masa kolonial bahkan sampai pada masa postkolonial. Kecenderungan afilatif ke dalam struktur birokrasi pemerintahan dan militer Belanda, pendidikan kolonial, serta distribusi perkawinan antar-ras saat ini menghasilkan keturunan Mestizo dalam jumlah besar.
Keadaan tersebut telah memberikan pengaruh terahadap eksistensi penggunaan bahasa dan pemertahanan sastra daerah bagi masyarakat yang beragama Kristen di Maluku khususnya di Pulau Ambon dan Pulau Lease. Saat ini, penggunaan bahasa daerah dan pewarisan sastra daerah pada wilayah yang mayoritas beragama Kristen hanya dapat dijumpai dalam upacara atau ritual adat. Beberapa acara adat yang mengharuskan para tokoh adat menggunakan bahasa daerah pun sudah sangat memprihatinkan, misalnya pada acara peresmian Baeleo Negeri Haru-Ukui di Pulau Haruku. Berdasarkan hasil pengamatan penulis terlihat para tokoh adat yang terlibat dalam ritual tersebut harus berlatih berulang-ulang untuk mengucapkan kata-kata dalam bahasa daerah, bahkan ada yang menggunakan bahasa daerah bersamaan dengan bahasa Indonesia sehingga terjadi campur kode. Hal ini disebabkan karena penggunaan bahasa daerah tidak pernah terjadi dalam keseharian mereka.
Contoh lain di wilayah Pulau Ambon seperti pada Negeri Hatalai yang merupakan negeri adat seharusnya memiliki kewajiban untuk mempertahankan bahasa daerah dan tradisi lisan agar tetap hidup. Namun, kondisi yang memiliki bahasa daerah sudah tidak lagi dipertahankan, tradisi lisan seperti tradisi makan samanang kini telah hilang. Selain itu, beberapa negeri tetangga Hatalai yakni Negeri Naku, Kilang, Ema, Hukurila, dan sebagainya pun tidak lagi memelihara bahasa daerah dan tradisi lisan.
Jika dibandingkan dengan negeri-negeri adat pada jazirah Leihitu di Pulau Ambon, eksistensi pemertahanan bahasa daerah masih dapat dikatakan cukup baik. Sejumlah informasi yang dihimpun menunjukkan bahwa Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease yang mayoritas beragama Kristen, eksistensi penggunaan bahasa daerah sangat rendah bila dibandingkan dengan yang beragama Islam.
Gambaran di atas dapat memberikan rekomendasi bagi para tokoh agama untuk mengambil peran dalam upaya pemertahanan bahasa dan sastra daerah terutama bagi masyarakat yang beragama Kristen. Mengapa tokoh agama yang harus berperan? Hal itu karena apabila diamati, masyarakat cenderung lebih patuh pada perintah dan anjuran para tokoh agama dibandingkan dengan tokoh masyarakat lain. Kondisi ini tentunya dapat menjadi momen para pemuka agama untuk mempertahankan bahasa daerah. Peran tokoh agama tidak hanya sebatas bekerja pada urusan keagamaan, tetapi dapat membantu pemerintah dalam melaksanakan berbagai kebijakan dan peraturan termasuk dalam upaya bersama pemerintah melindungi, membina, dan memasyarakatkan bahasa daerah dan sastra daerah di masyarakat.
Pemertahan bahasa daerah dapat dilakukan melalui penggunaan bahasa daerah dalam berbagai kegiatan peribadahan umat. Dengan mendorong umat untuk menggunakan bahasa daerah di berbagai aktivitas keagamaan dapat membantu menghidupkan kembali, menjaga, dan melestarikan bahasa daerah, misalnya tokoh agama Kristen dapat membantu menghidupkan kembali bahasa daerah dengan cara menerjemahkan liturgi ibadah dalam bahasa daerah masing-masing, menerjemahkan lagu-lagu pujian gereja ke dalam bahasa daerah, dan menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa daerah. Hal ini telah dilakukan pihak Gereja Protestan Maluku. Namun upaya tersebut harus dilakukan dengan lebih serius lagi dan terarah secara baik agar bahasa daerah dapat dipertahankan dari ancaman kepunahan sehingga pemertahanan bahasa dan sastra daerah tidak hanya ada pada negeri-negeri yang beragama Islam saja, tetapi juga pada negeri-negeri yang beragama Kristen.
Sejumlah informasi yang diperoleh menunjukkan bahwa di Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease yang mayoritas beragama Kristen, eksistensi penggunaan bahasa daerah sangat rendah bila dibandingkan dengan yang beragama Islam. Tulisan ini kiranya dapat memberikan gambaran tentang upaya pemertahanan bahasa daerah melalui pendekatan tokoh agama yang memiliki kedudukuan dan peran yang sangat strategis di masyarakat dan lebih cenderung didengarkan oleh masyarakat dibandingkan dengan tokoh masyarakat lain.