Adi Syaiful Mukhtar
(Pengkaji Kebahasaan dan Kesastraan, Kantor Bahasa Maluku)
Bangsa Indonesia mempunyai beragam suku, bangsa, budaya, agama, kepercayaan, adat istiadat, dan bahasa. Keberagaman inilah yang memicu bahasa Indonesia mempunyai ragam atau variasi. Ragam atau variasi tersebut secara garis besar dapat dibedakan menjadi empat, yaitu dialek, sosiolek, tempolek, dan fungsiolek. Menurut Sasangka (dalam Gapura Bahasa Indonesia, 2013:15), ragam dialek merupakan ragam bahasa yang terjadi karena perbedaan geografis. Perbedaan geografis inilah yang memunculkan bahasa Indonesia dialek Batak, bahasa Indonesia dialek Jawa, bahasa Indonesia dialek Madura, dan sebagainya. Ragam berikutnya adalah sosiolek yang merupakan ragam bahasa yang terjadi karena perbedaan sosial. Perbedaan sosial ini ditandai oleh perbedaan umur, status, pendidikan, jabatan, hingga penghasilan. Kemudian ragam tempolek ialah ragam bahasa yang terjadi karena perbedaan waktu. Ragam bahasa yang terakhir dan menjadi pembahasan kali ini adalah ragam fungsiolek. Ragam bahasa ini terjadi karena perbedaan fungsi.
Perbedaan fungsi menyebabkan bahasa Indonesia dibedakan menjadi bahasa Indonesia yang baik dan benar. Jargon inilah yang dikenal oleh banyak orang. Namun, sebagian tidak mengetahui perbedaan dan peruntukannya. Ragam fungsiolek ini mengisyaratkan agar penutur mampu menempatkan bahasa Indonesia sebagaimana mestinya. Hal tersebut juga dapat melatih penutur bahasa Indonesia menempatkan diri sesuai dengan situasinya.
Bahasa yang baik adalah bahasa yang digunakan sesuai dengan situasi pemakaiannya. Situasi yang dimaksud di sini adalah situasi formal (resmi) dan nonformal. Penggunaan bahasa Indonesia pada situasi formal akan berbeda saat situasi nonformal. Saat situasi formal, penutur bahasa Indonesia diharuskan menggunakan ragam bahasa baku atau standar. Sebaliknya pada situasi nonformal penutur, bahasa Indonesia tidak perlu menggunakan bahasa baku atau standar.
Bahasa yang benar adalah bahasa yang digunakan sesuai dengan kaidah kebahasaan yang mencakup kaidah pembentukan kata, pemilihan kata, dan pembentukan kalimat. Kaidah pembentukan kata menjelaskan proses membentuk kata dengan menambahkan imbuhan atau unsur lain pada kata dasar. Proses pembentukan kata tersebut tentunya akan mempengaruhi makna yang dihasilkan. Kemudian untuk pemilihan kata berkaitan dengan ketepatan penutur bahasa Indonesia dalam mengungkapkan gagasan. Kriteria yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan kata tersebut adalah ketepatan, kecermatan, dan keserasian (Mustakim, 2016:49). Cakupan kaidah kebahasaan yang terakhir adalah pembentukan kalimat. Pembentukan kalimat menuntut penutur untuk menghasilkan kalimat yang efektif baik tulis maupun lisan. Ketiga kaidah kebahasaan tersebut juga harus mempertimbangkan kaidah semantiknya. Kaidah semantik berhubungan dengan keberterimaan makna suatu kata, frasa, atau kalimat. Kaidah tersebut dirasa penting agar gagasan dapat diterima oleh pembaca atau pendengar bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang benar tidak hanya benar secara morfologis dan sintaksis, melainkan juga harus benar secara semantis (Sasangka, 2013:21). Ketiga kaidah kebahasaan di atas adalah proses yang tidak bisa ditinggalkan jika ingin memperoleh bahasa Indonesia yang benar.
Di atas telah disinggung mengenai bahasa baku atau standar. Pengertian dari bahasa baku atau standar ialah bahasa yang digunakan sebagai tolak ukur dan lazim digunakan sebagai acuan atau rujukan (Sasangka, 2013:21). Banyak buku memuat tata bahasa baku yang telah terbit, salah satunya Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia dari Pusat Bahasa yang ditulis oleh Hasan Alwi, dkk. Selain itu, ejaan bahasa Indonesia yang terbaru juga telah diatur dalam Permendikbud Nomor 50 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI). Hal ini menandakan bahwa sudah tidak ada alasan lagi jika kita tidak menggunakan bahasa yang baik dan benar pada situasi yang semestinya.