Sastra Lisan sebagai Warisan Budaya Bangsa

Helmina Kastanya

(Pengkaji Kebahasaan dan Kesastraan, Kantor Bahasa Maluku)

 

Sastra lisan adalah kesusastraan yang mencangkup ekspresi kesusastraan warga. Suatu kebudayaan yang disebarluaskan secara turun-temurun dan dari mulut ke mulut (Hutomo, 1990:1). Setiap daerah biasanya memiliki sastra lisan yang terus dijaga. Sastra lisan ini adalah salah satu bagian budaya yang dipelihara oleh masyarakat pendukungnya secara turun-temurun. Artinya, sastra lisan merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat yang harus dipelihara dan dilestarikan.

Sastra lisan mengandung nilai-nilai luhur yang perlu dikembangkan dan dimanfaatkan dalam hubungan usaha pembinaan serta penciptaan sastra. Pelestarian sastra lisan ini dipandang sangat penting karena sastra lisan hanya tersimpan dalam ingatan orang tua atau sesepuh yang kian hari berkurang. Sastra lisan berfungsi sebagai penunjang perkembangan bahasa lisan, dan sebagai pengungkap alam pikiran serta sikap dan nilai-nilai kebudayaan masyarakat pendukungnya. Sastra lisan juga merupakan budaya yang menjadikan bahasa sebagai media dan erat ikatannya dengan kemajuan bahasa masyarakat pendukungnya. Perlu adanya penyelamatan agar tidak hilang sehingga generasi selanjutnya dapat mengenal dan menikmati kekayaan budaya lisan tersebut.

Provinsi Maluku merupakan salah satu wilayah yang banyak memiliki warisan budaya lokal berupa sastra lisan. Pemerintah perlu memberikan perhatian terhadap hal ini sebagai wujud upaya pengembangan dan pelindungan budaya lokal agar tidak punah. Perlu disadari bahwa salah satu upaya untuk membina karakter bangsa dapat dilakukan melalui pemahaman nilai-nilai kesastraan terutama terhadap sastra lisan yang diwariskan secara turun-temurun  dari generasi ke generasi. Hal ini penting karena jika produk sastra di suatu tempat dia dilahirkan punah, maka hakikatnya kebudayaan lisan itu sendiri telah ikut punah. Jika produk sastra di suatu daerah punah, maka daerah tersebut telah kehilangan rekaman penggunaan bahasa lisan yang telah diwariskan oleh para pendahulunya. Jika sastra lisan punah, maka sebagian dari kebudayaan suatu daerah pun punah, dan akan berimplikasi terhadap eksistensi kebudayaan nasional.

Sastra juga disebut sebagai seni berbahasa dengan posisi yang sama dengan bentuk kesenian lainnya. Sastra dipertimbangkan sebagai karya seni karena pada pembangunan badan karya itu sendiri para pengarang tidak bebas memilih kata namun setiap kata yang dipilih mengandung nilai keindahan yang akhirnya menjadi bagian wajib pada karya sastra. Para ahli mengemukakan bahwa melihat karya sastra sebagai seni tidak hanya pada bahasanya, tetapi juga pada tiap unsur kesusastraan mengandung nilai-nilai keindahan. Keindahan yang terdapat pada karya sastra menjadi aspek kesenian yang menonjol dan sering menjadi bahan perbincangan para kritikus sastra. Keindahan yang dimaksud meliputi nilai-nilai kebenaran yang nyata, pengalaman pengarang dan terpancar pada karya sastra yang dihasilkan, dan keindahan yang hanya sebatas keindahan yang tertangkap pada panca indera kita.

Menurut Taum (2011:6) ada dua alasan manusia menjadi penggiat sastra. Pertama, karena manusia memiliki insting meniru. Sejak masa kanak-kanaknya, manusia suka meniru bahkan sifat meniru manusia ini yang membedakannya dengan binatang. Melalui tindakan meniru inilah manusia mempelajari berbagai hal yang telah dilewatinya. Kedua, fakta adanya sebuah gejala universal bahwa ketika melakukan peniruan tersebut, manusia merasakan sensasi-sensasi yang indah dan menyenangkan. Setiap komunitas suku memiliki khazanah sastra lisan yang amat kaya yang sesungguhnya mengandung berbagai kearifan lokal.

Bentuk dari sastra lisan itu sendiri dapat berupa prosa (seperti mite, dongeng, dan legenda), puisi rakyat (seperti syair dan pantun), seni pertunjukan seperti wayang, ungkapan tradisional (seperti pepatah dan peribahasa), nyanyian rakyat, pertanyaan tradisional, mantra dan masih banyak lagi. Perkembangan sastra lisan dalam kesusastraan Indonesia dipengaruhi oleh beberapa budaya lain, seperti budaya Cina, Hindu-Budha, India, dan Arab. Sastra lisan yang dipengaruhi oleh budaya-budaya tersebut dibawa dengan cara perdangangan, perkawinan, dan agama.

Sastra lisan merupakan bentuk kesusastraan yang memegang kunci kesejarahan sastra yang akan menuntun kita pada masa-masa sebelum prasejarah, contohnya para pendahulu kita belum mengenal aksara. Sastra lisan sering dianggap sebagai bentuk awal kesusastraan dunia yang berkembang dari waktu ke waktu karena perkembangannya memerlukan waktu yang lama dan tidak tercatat oleh sejarah dunia.

Pada era kemajuan teknologi saat ini, sastra lisan makin tergerus oleh zaman, dan cenderung terlupakan. Hanya sebagian saja sastra lisan yang sanggup bertahan dan dipertahankan oleh masyarakat. Seperti kita ketahui bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki budaya yang beranekaragam sehingga masih banyak sastra lisan yang ada di pedalaman tanah nusantara ini yang mungkin belum kita ketahui. Contohnya sastra lisan yang sarat dengan makna, fungsi, dan pesan yang dikandung. Sudah seharusnya menjadi tugas kita menjaga dan melestarikannya sebagai warisan budaya Indonesia khususnya di wilayah Maluku.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

19 + nineteen =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top