Tambaroro, Sastra Lisan Masyarakat Aru

Nita Handayani Hasan

(Pengkaji Kebahasaan dan Kesastraan, Kantor Bahasa Maluku)

 

Malam itu di sebuah sudut di depan rumah Kepala Desa Beltubur Kecamatan Aru Selatan Timur berkumpul para lelaki dewasa yang sedang asyik melantunkan lagu-lagu adat diiringi pukulan tifa dan gong. Mereka duduk melingkar membentuk suatu kelompok kecil, yang terdiri atas 10—15 orang. Dalam kelompok tersebut terdapat seorang peduang (biduan) yang bertugas memimpin kelompok tersebut. Pada awalnya sang peduang memainkan tifanya, kemudian dia mulai menyanyikan sebuah syair yang diulang-ulang. Setelah dia menyanyi, para lelaki lainnya mengikuti syair-syair yang dinyanyikannya tersebut. Begitu seterusnya hingga seluruh lirik lagu selesai dinyanyikan. Durasi waktu sebuah lagu dinyanyikan bervariasi, ada yang lima belas menit, bahkan dua jam. Di samping kelompok lelaki tersebut, terdapat kelompok wanita yang menari mengikuti irama tifa dan gong. Kegiatan bernyanyi, bermain alat musik, dan menari disebut tambaroro.

Pada malam itu masyarakat Desa Beltubur sedang mempersiapkan diri untuk meresmikan tiga buah belang (perahu yang menyerupai kora-kora) pada keesokan harinya. Acara tambaroro merupakan salah satu rangkaian ritual adat yang harus dilaksanakan sebelum acara inti dilaksanakan. Acara ini biasanya dilaksanakan selama tiga malam atau lebih, sesuai dengan hasil keputusan masyarakat dan para tetua adat.

Selain para lelaki, ada juga sekelompok wanita yang menari-nari sambil mengibaskan sapu tangan (biasanya berwarna putih) di samping kelompok pria. Para wanita tersebut sesekali akan mengeluarkan suara teriakan (jil) yang melengking untuk mengiringi lagu dan permainan musik yang dilakukan. Seluruh masyarakat akan larut dalam nyanyian dan tarian oleh kedua kelompok tersebut.

Di Desa Longgar Kecamatan Aru Tengah Selatan tambaroro juga dilaksanakan sebelum acara puncak suatu upacara adat. Masyarakat desa Longgar telah membuat suatu tempat khusus sebagai tempat dilaksanakannya tambaroro. Tempat tersebut disebut senalar. Senalar terdiri atas lima susunan kayu yang dibuat memanjang sebagai tempat duduk para pemain tifa, gong, dan penyanyi. Senalar juga berada tepat di depan rumah adat. Di samping senalar, terdapat nawol tempat para wanita menari untuk mengiringi alunan tambaroro. Para wanita yang menari-nari terkadang hanyut dalam lantunan nyanyian dan suara tifa-gong sehingga mereka mengeluarkan suara teriakan melengking yang sesuai dengan irama tambaroro.

Tambaroro bagi masyarakat Kepulauan Aru memiliki tempat tersendiri. Tambaroro merupakan kesenian adat seluruh masyarakat Aru. Melalui tambaroro, mereka dapat menyalurkan kegembiraan dan rasa syukur atas apa yang telah mereka peroleh, baik dalam rezeki maupun kesehatan. Tambaroro juga merupakan salah satu rangkaian adat yang harus dilaksanakan sebelum acara puncak adat dilaksanakan. Tambaroro berisi lantunan syair-syair yang menceritakan peristiwa, perjalanan sejarah, maupun ungkapan syukur mereka terhadap nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Dengan adanya tambaroro, masyarakat kepulauan Aru dapat mengetahui sejarah perjalanan nenek moyang mereka, dan cerita-cerita sejarah lainnya. Bahasa yang digunakan dalam syair tambaroro juga berbeda-beda antara satu desa dengan desa lainnya, terkecuali desa yang memiliki persamaan bahasa.

Tempat dilaksanakannya tambaroro tidak hanya berada di depan rumah adat atau rumah raja, tetapi dapat dibuat di bagian depan rumah orang yang sedang melakukan hajatan. Dengan melakukan tambaroro di bagian depan rumah diharapkan orang yang sedang berhajat akan mendapat keberkahan dan acara yang dilaksanakan dapat berjalan dengan lancar. Waktu pelaksanaan tambaroro yaitu pada malam hari dan siang hari, bergantung pada kesepakatan yang dibuat antara tokoh adat dan orang yang sedang melakukan hajatan.

Terdapat tiga kelompok jenis lagu dalam tambaroro yang masing-masing kelompok memiliki fungsinya masing-masing, yaitu (1) Lagu Saba. Lagu Saba berisi lantunan kapata atau cerita dari sebuah peristiwa dalam sejarah, dan peristiwa terjadinya sebuah tempat. Lagu-lagu Saba akan dinyanyikan pada upacara adat dalam bentuk buka sasi, penurunan belang, dan upacara panas pela; (2) Lagu Bela. Syair-syair yang terkandung dalam lagu Bela biasanya melantunkan cerita-cerita leluhur mengenai tanda-tanda alam yang ada di laut maupun di darat. Tanda-tanda alam tersebut sangat bermanfaat bagi masyarakat dalam menjalankan siklus kehidupan. Lagu Bela akan dinyanyikan pada saat upacara adat penggantian kayu pamali, penentuan waktu melaut, dan bercocok tanam; (3) Lagu Rora. Syair-syair yang terkandung di dalam lagu Rora berisi ucapan-ucapan rasa syukur kepada sang pencipta dan leluhur atas keberhasilan dan pencapaian yang diperoleh. Lagu-lagu Rora akan dinyanyikan pada acara pernikahan, dan selamatan setelah membangun rumah.

Pembagian tersebut tidaklah bersifat mutlak. Dalam suatu upacara adat, jika dimungkinkan dapat dinyanyikan dua jenis lagu, maka diperbolehkan. Pemilihan lagu bergantung dari peduangnya. Peduang memiliki fungsi yang penting dalam tambaroro. Seorang peduang adalah tokoh adat yang memiliki jiwa seni yang tinggi, dan memiliki pengetahuan tentang sejarah terbentuk desanya. Seorang peduang juga merupakan orang yang dihormati.

Jenis ritme pukulan tifa dan gong yang mengiringi tambaroro juga berbeda-beda. Perbedaan tersebut dapat tergantung pada wilayah suatu desa, maupun jenis lagu yang dimainkan. Lagu-lagu yang menceritakan tentang peperangan dan perjuangan memiliki ritme pukulan tifa yang cenderung cepat dan berenergi, sedangkan lagu-lagu yang menunjukkan rasa syukur atas keberhasilan dan pencapaian memiliki ritme pukulan tifa yang agak pelan.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

4 × five =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top