Upaya Pelestarian Bahasa-Bahasa Daerah di Maluku: Revitalisasi atau Revivalisasi?

Wahidah

                             

Sudah menjadi fenomena umum bahwa bahasa-bahasa daerah yang ada di Maluku saat ini semakin tersudut akibat masyarakat lebih senang menggunakan bahasa Melayu Ambon (BMA) dibandingkan menggunakan bahasa daerah. Jika dahulu BMA hanya digunakan sebagai lingua franca bagi penutur antaretnis, sekarang ini BMA sudah menjadi bahasa ibu bagi sebagian besar penutur berusia 25 tahun ke bawah. Meskipun di beberapa daerah masyarakat masih menggunakan bahasa lokal sebagai bahasa ibu, di beberapa wilayah lainnya seperti di Nakaela, Latea, Haruku, dan lain-lain, bahasa daerah tidak lagi dituturkan oleh para penduduknya.

Kenyataan ini sungguh sangat memprihatinkan. Ciri-ciri keterancaman akan punahnya bahasa-bahasa daerah di Maluku semakin tampak sejalan dengan prediksi para pakar bahwa semakin muda usia penutur setiap bahasa tidak lagi cakap menggunakan bahasa ibu dalam pergaulan sehari-hari, semakin cepat bahasa tersebut mengalami kepunahan. Gerak ke arah kepunahan akan lebih cepat lagi bila disertai dengan semakin berkurangnya cakupan dan jumlah ranah penggunaan bahasa dalam komunikasi sehari-hari atau semakin meluasnya ketiadaan penggunaan bahasa dalam sejumlah ranah, terutama ranah keluarga.

Lantas, bagaimanakah nasib bahasa-bahasa daerah yang ada di Maluku lima puluh tahun yang akan datang? Akankah bahasa-bahasa tersebut mampu bertahan seiring pesatnya arus informasi dan globalisasi yang kini sudah menerobos hingga ke pelosok-pelosok? Upaya-upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan kekayaan budaya bangsa yang tidak ternilai harganya itu?

Sesungguhnya, masalah pembinaan dan pengembangan bahasa daerah telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab XV, Pasal 36 yang diperkukuh dengan lahirnya Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2009, Bab III, Pasal 42, ayat (1) dan (2). Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah, khususnya lembaga-lembaga terkait untuk menyelamatkan eksistensi bahasa-bahasa daerah di Indonesia, termasuk di Maluku. Akan tetapi, tanpa adanya dukungan dan sikap positif dari masyarakat penuturnya sendiri, upaya tersebut tentu akan menghadapi berbagai kendala. Kesadaran sebuah kelompok penutur bahasa tertentu untuk menjaga kelestarian bahasanya merupakan faktor utama yang dapat menyelamatkan sebuah bahasa dari kepunahan. Selain itu, kepedulian para pemangku kepentingan atau pemerintah setempat untuk mendukung upaya penyelamatan/pelestarian bahasa daerah setempat akan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap upaya tersebut.

Berkaitan dengan kondisi bahasa daerah di Maluku yang saat ini sangat memprihatinkan, dibutuhkan berbagai langkah preservasi agar kondisi bahasa-bahasa daerah tersebut tidak semakin terpuruk dan terhindar dari ancaman kepunahan. Sejauh ini, langkah yang telah dilakukan baru sebatas penelitian, pencatatan, dan pemetaan bahasa. Padahal, langkah konkret yang perlu segera dilakukan adalah mengidentifikasi vitalitas (daya hidup) bahasa-bahasa daerah yang ada di seluruh wilayah provinsi Maluku, kemudian menentukan langkah preservasi sesuai dengan kondisi bahasa daerah tersebut.

Terkait dengan vitalitas bahasa, Ibrahim (2008) dalam tulisannya yang berjudul Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya mengutip pendapat Krauss (1992) yang mengategorikan daya hidup bahasa menjadi tiga kategori. Pertama, moribund, yaitu bahasa yang tidak lagi dipelajari oleh anak-anak sebagai bahasa ibu. Kedua, endangered, yaitu bahasa yang meskipun sekarang masih dipelajari atau diperoleh oleh anak-anak, tidak lagi digunakan pada abad yang akan datang. Ketiga, safe, yaitu bahasa yang secara resmi didukung oleh pemerintah dan memiliki penutur yang sangat banyak. Lebih lanjut, Grimes (2000), sebagaimana yang dikutip Ibrahim (2008), merumuskan enam tingkat keterancaman bahasa. Pertama, bahasa-bahasa yang critically endangered, artinya bahasa-bahasa yang dalam keadaan kritis/sekarat. Bahasa-bahasa ini penuturnya tinggal sedikit dan semuanya berusia tujuh puluh tahun ke atas atau usia buyut. Kedua, severally endangered, artinya bahasa-bahasa yang hanya memiliki penutur berusia 40 tahun ke atas, usia kakek-nenek. Bahasa seperti ini dalam kondisi “sakit parah”. Ketiga, endangered, artinya bahasa-bahasa yang penuturnya berusia 20 tahun ke atas, usia orang tua. Bahasa-bahasa seperti ini dalam kondisi terancam punah. Keempat, eroding, yaitu bahasa-bahasa yang penuturnya adalah beberapa anak dan yang lebih tua. Anak-anak lain tidak lagi menggunakannya. Bahasa-bahasa seperti ini dalam kondisi tergerus. Kelima, stable but threatened, yaitu bahasa yang digunakan oleh semua anak dan dewasa tetapi jumlahnya sangat sedikit; ini artinya stabil tapi terancam. Keenam, safe, yaitu bahasa-bahasa yang tidak berada dalam ancaman kepunahan. Bahasa yang masih diperoleh dan dipelajari oleh semua anak dan usia dewasa dalam kelompok etniknya. Bahasa-Bahasa ini dikategorikan sebagai bahasa yang ‘bugar’, sehat walafiat.

Berdasarkan kategori di atas, masuk kategori yang manakah bahasa-bahasa daerah yang ada di Maluku saat ini? Pengategorian ini penting untuk menentukan langkah-langkah apa yang harus dilakukan sebagai bentuk penanganannya, apakah sudah perlu dilakukan revitalisasi (penguatan) atau bahkan revivalisasi (pembangkitan)? Penanganan inilah yang perlu segera dilakukan agar bahasa-bahasa daerah yang merupakan gudang pengetahuan, khususnya kearifan-kearifan lokal bagi masyarakat pendukungnya, dapat diselamatkan dari kepunahan.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

6 − 1 =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top