Harlin, S.S.
(Staf Kantor Bahasa Maluku)
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu, yaitu salah satu bahasa di Asia Tenggara yang pada awalnya digunakan penduduk di sepanjang timur Pulau Sumatera, Semenanjung Malaka, Thailand Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Utara. Bahasa Melayu ini kemudian menyebar ke seluruh wilayah Nusantara sehingga menyebabkan terjadinya berbagai dialek Melayu areal dan berbagai ragam sosial, dan juga menjadi sebuah lingua franca di seluruh Nusantara. Awal abad ke-20, bahasa Melayu di Indonesia, yang waktu itu masih bernama Hindia Belanda, selain memiliki sejumlah dialek sosial, juga telah memiliki sebuah ragam pustaka, yakni ragam Melayu yang telah dikodifikasi, diajarkan di sekolah-sekolah formal, memiliki buku tata bahasa, dan memiliki buku ejaan yang telah dibakukan. Di samping itu, keberadaan ragam pustaka ini juga telah ditunjang oleh buku-buku dan majalah terbitan penerbit Balai Pustaka.
Tahun 1928 ketika dilangsungkan Sumpah Pemuda, bahasa Melayu yang diangkat menjadi bahasa Indonesia, meski tanpa disebutkan, merupakan bahasa Melayu ragam pustaka, bukan bahasa Melayu dialek Riau seperti banyak pendapat selama ini (lihat Muslich, 2010). Ejaan Van Ophuijsen memang didasarkan pada bahasa Melayu dialek Riau, karena dialek itu dianggap sebagai dialek yang terpelihara, tetapi yang diangkat, diakui, dan dijunjung tinggi sebagai bahasa persatuan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah ragam pustaka. Juga bukan ragam bahasa Melayu Rendah (Low Malay) seperti dituduhkan oleh Kahin (1952) dan Hall (1972).
Perlu dijelaskan bahwa perkembangan sebuah bahasa termasuk bahasa Melayu tidak dapat dilepaskan dari pusat kekuasaan politik negara. Pada awalnya pusat kekuasaan bahasa Melayu berada di Riau dan Johor. Kemudian pusat kekuasaan yang di Riau pindah ke Jakarta (dulu Batavia) dan pusat kekuasaan yang di Johor pindah ke Kuala Lumpur. Perpindahan itu disebabkan oleh Belanda menempatkan pusat kekuasaannya di Jakarta, sedangkan pusat kekuasaan Inggris bertempat di Kuala Lumpur. Kemudian dalam jangka waktu yang cukup lama, perkembangan bahasa Melayu yang berpusat di Jakarta dan yang berpusat di Kuala Lumpur mengalami perkembangannya masing-masing. Yang berpusat di Jakarta, selain banyak menerima pengaruh dari bahasa-bahasa di Nusantara juga banyak menerima pengaruh bahasa dari Belanda. Sebaliknya yang berpusat di Kuala Lumpur, selain menerima pengaruh dialek-dialek Melayu regional Semenanjung, juga menerima pengaruh bahasa dari Inggris. Akibatnya, bahasa Melayu yang berkembang di Indonesia dan di Semenanjung Melayu (sekarang Malaysia) menjadi berbeda. Pakar-pakar Belanda seperti Van Wijk, Spat, Pijnappel, dan Van Ophuijsen mengambil bahasa Melayu yang digunakan di Indonesia sebagai objek kajia, begitu pula pakar-pakar Inggris, seperti Shellabear, Crawford, Winstedt, dan Wilkinson mengambil bahasa Melayu yang digunakan di Semenanjung sebagai objek kajian.
Dewasa ini, bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa negara pada empat negara, yaitu di Republik Indonesia dengan nama bahasa bahasa Indonesia, di Republik Singapura dengan nama bahasa Melayu, di Kerajaan Malaysia dengan nama bahasa Malaysia, dan di Kesultanan Brunai Darussalam dengan nama bahasa Melayu Brunei. Tentu saja yang diangkat menjadi bahasa negara adalah ragam-ragam Melayu pustaka yang digunakan di negara-negara tersebut.
Nama bahasa Indonesia secara resmi lahir pada 2 Mei 1926 pada waktu diselenggarakan Kongres Pemuda I (Kridalaksana 2010, cetakan pertama 2009), tetapi baru diresmikan pada Kongres Pemuda II tahun 1928 sebagai bahasa persatuan. Status bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional telah disandang sejak bangkitnya gerakan kebangsaan pada awal abad ke-20, dan sebagai bahasa negara baru disandang sejak ditetapkan dalam UUD 1945. Sebagai bahasa persatuan, artinya bahasa Indonesia adalah alat interaksi antaretnis yang ada di seluruh Indonesia, sedangkan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia merupakan salah satu identitas kenasionalan bangsa Indonesia. Status yang disandang bahasa Indonesia itu tidak perlu dipersoalkan lagi karena tampaknya sudah mantap, tetapi mengenai penguasaan kita terhadap bahasa nasional itu masih banyak yang perlu diperbincangkan.
Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia sebenarnya adalah bahasa kedua bagi sebagian besar orang Indonesia. Bahasa pertama mereka adalah bahasa daerahnya masing-masing. Lalu, seperti kata Haugen (1961) penguasaan seseorang terhadap bahasa kedua akan selalu berada di bawah kemampuannya terhadap bahasa pertama. Jadi, tidak mengherankan kalau banyak di antara kita yang tidak mampu berbahasa Indonesia dengan baik.
Faktor lain, yang menyebabkan kemampuan berbahasa Indonesia yang belum maksimal adalah adanya sikap negatif terhadap bahasa Indonesia seperti yang disinyalir Koentjaraningrat (1992). Banyak orang Indonesia termasuk pejabat dan pemuka masyarakat lebih bersikap positif terhadap bahasa asing daripada bahasa Indonesia. Mereka merasa bangga dapat menyelipkan kata-kata asing dalam berbicara bahasa Indonesia sehingga terkesan mereka berbahasa Indonesia asal “dimengerti”.
Sebetulnya sebagai warga negara Indonesia yang mengakui bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa nasional, bahasa persatuan, dan bahasa negara, kita harus berupaya seoptimal mungkin untuk mempelajari dan menggunakan bahasa Indonesia sebaik mungkin. Namun disayangkan, tampaknya bahasa Indonesia belum mendapat perlakuan yang seharusnya di negerinya sendiri.