Erniati
(Peneliti pada Kantor Bahasa Maluku)
Berbicara mengenai bahasa dan relasi sosial tentu yang menjadi fokus penelahan adalah kesepadanan antara adaptasi linguistik dan adaptasi sosial. Apabila adaptasi linguistik, dimaknai sebagai proses adopsi ciri-ciri kebahasaan bahasa tertentu oleh penutur bahasa yang lain atau kedua-duanya saling melakukan hal yang sama, sehingga bahasanya menjadi lebih serupa, mirip, atau sama, maka adaptasi sosial dimaknai sebagai proses yang terjadi akibat adanya kontak sosial dimaknai sebagai proses yang terjadi akibat adanya kontak sosial, yang melibatkan dua kelompok yang memiliki perbedaan budaya atau ras melakukan penyesuaian satu sama lain atau salah satu di antaranya, sehingga memiliki sejumlah solidaritas budaya yang cukup mendukung terciptanya eksistensi kehidupan solider, harmoni di antara mereka.
Salah satu penyesuaian budaya yang berwujud solidaritas yakni bahasa. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa bukti adanya adaptasi sosial yang dapat menciptakan tatanan kehidupan baik yang solider, harmoni, maupun yang disharmoni dapat ditelusuri melalui adaptasi linguistik yang terjadi di antara komunitas tutur yang berkontak. Dengan kata lain, terdapat hubungan yang bersifat korelasional antara bahasa dengan relasi sosial para pemakai bahasa atau varian yang berbeda, yang melakukan kontak sosial dengan menggunakan bahasa tertentu.
Fenomena sosial bagi kehidupan pluralistik di Pulau Ambon, menarik untuk diamati. Di pulau ini, bahasa yang paling dominan dan dijadikan sebagai identitas kelompok yaitu komunitas tutur bahasa Melayu Ambon sebagai bahasa yang memiliki penutur paling banyak. Selain itu, ditemukan juga komunitas penutur bahasa Jawa, bahasa Buton, dan komunitas tutur bahasa Bugis-Makassar. Ketiga komunitas tutur tersebut merupakan komunitas tutur bahasa pendatang, yang kehadirannya karena faktor-faktor eksternal. Orang-orang Buton dan orang-orang Bugis-Makassar merupakan pendatang yang telah lama mendiami setiap pelosok Kota Ambon. Bahkan pada abad ke-17 mereka telah berada di Pulau Ambon. Dari segi distribusi geografis, komunitas tutur pendatang tersebut menyebar ke beberapa wilayah di Pulau Ambon. Mereka hidup berdampingan dengan komunitas tutur bahasa Melayu Ambon. Yang menarik dari kehidupan pluralistik ini adalah terdapat sebagian wilayah permukiman yang memperlihatkan kecenderungan ke arah kehidupan sosial yang harmoni.
Berdasarkan fenomena kehidupan sosial yang pluralistik tersebut, tentu muncul fenomena kebahasaan, misalnya sebagian yang komunitasnya bercampur yang terdiri atas komunitas tutur bahasa Melayu Ambon, Jawa, Buton, Bugis-Makassar cenderung ke arah situasi kebahasaan yang disharmoni dan sebagian ke arah harmoni. Hal ini disebabkan atau terkait dengan adaptasi sosial, yang tercermin melalui adaptasi linguistik yang terjadi di antara mereka. Jika derajat adaptasi sosial melalui adaptasi linguistik memiliki derajat rendah maka kondisi disharmonilah yang terbentuk, sebaliknya jika adaptasi sosialnya tinggi, maka kondisi harmonilah yang berlangsung.
Intensnya adaptasi linguistik yang dilakukan komunitas tutur Melayu Ambon terhadap komunitas tutur Buton, komunitas tutur Bugis-Makassar, komunitas tutur Jawa, berdampak pada tingginya adaptasi sosial yang mengarah pada integrasi sosial. Terciptanya kondisi sosial yang harmoni atau disharmoni terkait dengan ada/tidaknya pemahaman akan keberadaan komunitas tutur bahasa yang berbeda itu satu sama lain. Pemahaman yang dimaksud menyangkut pemahaman akan identitas diri dan identitas yang menjadi mitra kontaknya. Untuk dapat menciptakan kondisi saling memahami maka diperlukan suatu ruang komunikasi antarpara pihak untuk melakukan perenungan yang bersifat introspektif-reflektif dalam suasana keterbukaan satu sama lain untuk saling mengenal di antaranya. Dengan adanya kondisi yang saling mengenal itu segala bentuk prasangka, stereotip suatu komunitas terhadap komunitas lainnya dapat dihilangkan.