Asrif
Kantor Bahasa Maluku, Kemendikbud
Usai perhelatan ASIAN Games, masyarakat Indonesia kembali diramaikan berita seputar “cekcok” Indonesia dan Malaysia soal klaim Pencak Silat. Indonesia mengakui bahwa Pencak Silat adalah seni bela diri khas Indonesia yang lahir dari kebudayaan asli Indonesia. Malaysia pun beranggapan demikian dengan menyebut diri sebagai pemilik asli seni bela diri Pencak Silat.
Percekcokan itu telah berjalan bertahun-tahun bahkan sampai ke meja UNESCO. Kedua negara serumpun itu sama-sama mengajukan Pencak Silat sebagai milik negara mereka masing-masing. Kedua negara sama-sama menyusun dan melaporkan naskah akademik kepemilikan Pencak Silat ke UNESCO, yang tujuan akhir Indonesia ataupun Malaysia yakni pengakuan UNESCO kepada negara pemilik Pencak Silat.
Cekcok dua negara bertetangga itu bukan baru kali ini terjadi dan bukan hanya soal Pencak Silat. Jauh sebelumnya, Malaysia juga pernah mengklaim Wayang Kulit, Keris, Batik, Reog Ponorogo, Tari Pendet, Tari Piring, Kuda Lumping, lagu Rasa Sayange, dan Rendang sebagai milik mereka. Sejumlah kebudayaan Indonesia rupanya memiliki daya tarik yang luar biasa sehingga memicu hasrat pihak lain untuk memilikinya. Oleh karena itu, pelindungan atas aset budaya bangsa perlu dilakukan secara serius, terencana, dan tuntas.
Kisruh antarnegara masa kini rupanya tidak lagi melulu soal sumber daya alam (SDA) seperti kandungan minyak bumi, tambang, dan perikanan. Budaya menjadi ruang baru “pertempuran” antarnegara, saling klaim, dan berlomba menyatakan diri sebagai pemiliknya. Ruang pertempuran telah beralih dari soal kepemilikan pulau, laut, batas teritorial, ke ruang baru bernama budaya. Ruang baru itu bagi negara asing dipandang sebagai aset besar, sebaliknya di Indonesia, budaya kadangkala dilihat sebagai sesuatu yang tak bernilai bahkan yang lebih miris budaya diposisikan sebagai penghambat pembangunan.
Cekcok antara Indonesia dan Malaysia soal budaya berpotensi terjadi di wilayah timur, khususnya di Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara Timur. Maluku berbatasan langsung dengan dua negara yakni Timor Leste dan Australia, Papua berbatasan dengan Papua New Guinea, sedangkan Nusa Tenggara Timur berbatasan langsung dengan Timor Leste. Khusus Provinsi Maluku, Kabupaten Kepulauan Aru berbatasan dengan Australia, Kabupaten Maluku Barat Daya berbatasan dengan Timor Leste, dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat justru berbatasan dengan Timor Leste juga dengan Australia. Dari dua negara tetangga Maluku itu, Timor Leste menjadi negara yang sangat dekat, baik secara geografis maupun secara kultural. Beberapa kampung di Kabupaten Maluku Barat Daya bahkan melakukan interaksi jual beli di Timor Leste.
Kedekatan kultural terlebih turut didukung dengan kedekatan geografis memungkinkan adanya kontak sosial dan budaya antardaerah dari dua negara bertetangga: Indonesia (Maluku) dan Timor Leste. Tingginya kontak sosial dan budaya dapat saja menciptakan suasana hubungan sebagaimana yang terjadi pada hubungan Indonesia dan Malaysia: intim, namun sesekali cekcok. Pada hubungan Indonesia dan Timor Leste, situasi seperti itu berpeluang terjadi jika penanganan hubungan sosial dan budaya pada kedua wilayah tidak dilakukan dan dikawal dengan baik. Potensi kisruh tidak hanya terkait minyak bumi dan gas (migas), tetapi juga yang perlu disadari yakni soal kepemilikan budaya.
Di pulau-pulau terdepan di Kabupaten Maluku Barat Daya, sejumlah sastra tradisi hidup dan menyatu bersama kebudayaan lainnya. Saya menyebut beberapa saja, seperti sastra tradisi tiarki (tiarti atau tiarka), nyertatat, nyerulor, dan nyerariem. Demikian pula halnya di Kabupaten Maluku Tenggara Barat yang memiliki sastra tradisi seperti foruk, foforuk, inabiyet, dan beu. Seni tradisi itu berkembang dalam kelisanan yang cair, tanpa sekat atau tembok pemisah dengan kebudayaan lain. Kelisanan dan kecairan sastra tradisi memungkinkan sastra tradisi menyebar ke berbagai daerah di luar wilayah sosial dan budayanya, misalnya hingga ke negara tetangga: Timor Leste. Hal itu sangat mungkin terjadi!
Penyebaran budaya, selain karena faktor kedekatan geografis dan kedekatan budaya juga didukung oleh perkembangan kemajuan zaman. Era globalisasi berdampak pada memudarnya batas-batas komunikasi yang pada era sebelumnya menjadi kendala utama membangun komunikasi. Pada era sekarang, perjumpaan budaya antarnegara menjadi lebih terbuka. Saling mengadopsi budaya dan berbagai hal lainnya terjadi setiap saat. Kebudayaan suatu negara dapat disaksikan (ditonton) oleh masyarakat dari negara berbeda tanpa harus hadir ke negara itu. Dengan begitu, suatu kebudayaan dapat dengan mudah mengglobal tanpa harus melalui promosi antarnegara.
Kedekatan geografis, kedekatan budaya, dan dukungan teknologi memungkinkan persentuhan yang kuat antara kebudayaan di Maluku dan Timor Leste. Aksi caplok budaya sebagaimana terjadi antara Malaysia dan Indonesia dapat terjadi antara Indonesia dan Timor Leste. Tentu kita semua tidak menghendaki hal itu. Untuk itu, diperlukan kebijakan yang tepat untuk melindungi segenap kebudayaan Indonesia dari klaiman atau caplokan negara tetangga. Pelindungan yang sungguh-sungguh terhadap segenap kebudayaan pada akhirnya akan menunjukkan siapa pemilik kebudayaan itu.
Pemerintah kabupaten bersama-sama dengan pemerintah provinsi dan perwakilan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu selekasnya melakukan inventarisasi dan pemetaan kebudayaan dan melakukan pelindungan (pelestarian dan pengembangan) kebudayaan lokal agar kebudayaan lokal benar-benar diperlakukan sebagai jati diri, identitas, sumber dan pengetahuan lokal, dan sebagainya. Langkah-langkah strategis antara lain melakukan pendaftaran kebudayaan pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI yang dilanjutkan pada pendaftaran pada tingkat UNESCO. Pengakuan negara dan pengakuan internasional dibutuhkan dalam rangka membentengi kebudayaan itu dari klaiman negara lain. Pada tingkatan daerah, pelestarian dalam bentuk pewarisan dan pertunjukan perlu terus-menerus dilakukan agar sastra tradisi tetap hidup dan menjadi bagian yang utuh dari masyarakat setempat. Kalwedo!