NYANYIAN ADAT: SERUPA TAPI TAK SAMA, TETAPI INDAH

EVI OLIVIA KUMBANGSILA

(Staf Teknis Kantor Bahasa Maluku)

 

Kepulauan Aru, Pulau Tanimbar, dan Pulau Kalwedo, (sebutan saya untuk sebuah Kabupaten indah dan masih perawan dari kemacetan jalan, tumpukan bangunan tinggi, kebisingan kenalpot motor dan mobil yang lalu lalang, serta kesibukan kota karena sempitnya sudut jalan yang harus dilalui ratusan pejalan kaki), Kabupaten Maluku Barat Daya. Hamparan padang rumput yang terbentang luas sejauh mata memandang, mampu menampung puluhan bahkan ratusan kerbau dan kuda peliharaan untuk menikmatinya. Pulau yang ramah penduduknya. “tak pernah mengeluh” tegas Sekretaris Dinas pendidikan dan Kebudayaan, Maluku Barat Daya, “walau harga BBM di musim tenang sebesar 20.000 per liter dan 50.000 hingga 70.000 per liter saat musim angin barat atau timur melanda”. “tak pernah merasa kecil hati saat disebut-sebut sebagai kabupaten penyumbang kemiskinan terbesar di Maluku” karena jiwa mereka besar. “faktanya, rumah penduduk kami mungkin di beberapa desa masih berdindingkan papan dan beratapkan daun rumbia namun, memiliki ratusan kerbau dan kambing.” Jelas Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan tersebut.

Di balik keramahan dan keindahan, Pulau Kalwedo juga memiliki kekayaan budaya, bahasa dan sastra dan tradisi lisan yang serupa dengan Kepulauan Aru dan Pulau Tanimbar tetapi tak sama. Seperti halnya kedua pulau tadi, pulau Kalwedo pun memiliki bahasa yang beragam ditambah banyaknya dialek yang menambah khazanah pulau itu. Pakaian adat, tarian, logat, mahar kawin, syarat kawin , adat bayar denda, kain adat bahkan nyanyian adat pun serupa tetapi tak sama, namun indah dan penuh makna.

Nyanyian adat yang serupa tetapi tak sama, namun indah dan penuh makna ini dapat ditemui di ketiga pulau ini. Nyanyian adat ini sering tak mampu dijelaskan secara budaya kepada orang luar yang penasaran dengannya. Sehingga tanpa berpikir panjang, penduduk ketiga daerah ini sering menyebutnya dengan pantun. Padahal, nyanyian ini terkadang tak memiliki syarat sebagai pantun. Tak berima ab, ab, atau aa, bb. Tak juga memiliki sampiran dan berbagai poin utama dalam pantun. Namun, sama halnya dengan pantun, nyanyian ini juga memiliki nilai yang sangat mendalam. Seperti halnya pantun, nyanyian ini juga memiliki makna yang mendalam saat dinyanyikan untuk menasihatkan sang anak terkasih. Bahkan sang anak akan lebih kuat menyimpan pesan orang tua saat nasihat ini dituturkan dalam lantunan syair dan bait-bait indah dengan bahasa daerah setempat.

Menariknya lagi, nyanyian adat ini jika dinyanyikan oleh orang yang memiliki kemampuan menyanyikannya secara turun-temurun, nyanyian ini tidak dihafalkan tetapi di ciptakan secara langsung. Setiap bait dalam nyanyian ini disesuaikan dengan situasi yang sedang berlangsung saat itu. Selain itu, pada acara-acara tertentu, nyanyian ini dinyanyikan secara balas-berbalas seperti halnya pantun. Mengutip kalimat Kepala Kantor Bahasa Maluku, Dr. Asrif. M.Hum., ketika membayangkan situasi balas-berbalas ini, “bayangkan saja, dalam sepersekian detik otak mereka memikirkan bait yang harus dinyanyikan untuk balasannya, dan secara bersamaan telinga mereka harus mendengar nyanyian lawan dan otak mereka harus memahaminya, itu luar biasa cerdas”. Oleh karena itu, bila nyanyian ini dituliskan maka ada ribuan bait yang akan terdokumentasikan dan mereka adalah pencipta-pencipta hebat, bahkan penyanyi dan pencipta lagu andalan di Indonesia atau dunia sekalipun akan kalah dalam menciptakan lagu-lagu indah mereka yang kemudian dipopulerkan dan mendapat jutaan bahkan miliaran rupiah atau dolar masuk dalam dompet mereka. Nyanyian adat ini tidak dipopulerkan oleh para pencipta sekaligus penyanyinya dan nyanyian adat ini tidak dibayarkan royaltinya. Namun mereka adalah pahlawan budaya, pahlawan khazanah Indonesia.

Nyanyian ini ada yang diwariskan secara turun temurun, namun ada juga yang diajarkan kepada orang yang tidak segaris lurus dalam garis keturunan. Misalnya, di Desa Lumasebu, di Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Nyanyian adat ini diajarkan bagi siapa saja yang ingin belajar untuk menyanyikannya. Cara ini dilakukan untuk menjaga pelestarian nyanyian adat tersebut.

Nyanyian ini dinyanyikan dalam segala situasi adat dan tradisi, seperti pelantikan raja, pernikahan, lahiran, naik haji, acara adat, dan sebagainya. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa nyanyian ini “Serupa tetapi tak sama, namun Indah”. Di Kepulauan Tanimbar, mereka menyebutnya tambaroro. dinyanyikan dengan diiringi tifa dengan nada-nada minor sehingga suasananya terasa lebih hikmat. Di Pulau Tanimbar mereka menyebutnya dalam beberapa bahasa, dalam bahasa Fordata,disebut foforuk. Bahasa Yamdena disebut foruk.  Bahasa Selaru, disebut Inabiyet. Dalam bahasa Seluarsa, mereka menyebutnya foruk. Di Maluku Barat Daya atau pulau Kalwedo (sebutan penulis), mereka juga menyebutnya dalam berbagai dialek, seperti ada yang menyebutnya Tiarka, Tiarki, dan Tiarti.

Ketiga Kabupaten ini mungkin serupa tetapi tak sama, namun indah. Tradisi lisan mereka yang serupa tetapi tak sama ini telah menambah khazanah tradisi lisan di Maluku. Semoga tulisan ini dapat membuat kita sebagai generasi Maluku semakin mencintai Maluku dengan tradisi-tradisinya.

 

 

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

seven + 4 =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top