Adi Syaiful Mukhtar
Staf Kantor Bahasa Maluku
Pemilihan kode (bahasa), bagi pendatang/transmigran pada suatu daerah menjadi penting untuk dilakukan. Hal tersebut merupakan usaha bersama untuk mewujudkan literasi budaya dan kewargaan. Literasi budaya dan kewargaan sangat penting untuk diwujudkan karena dapat menangkal radikalisme dan intoleransi.
Kode dalam ilmu bahasa dapat diartikan sebagai salah satu varian yang mengacu pada sebuah bahasa (bahasa Indonesia, Melayu Ambon, Jawa, dan sebagainya), dapat juga mengacu pada variasi bahasa, seperti varian regional (bahasa Jawa dialek Tegal, Jogja, Surabaya, dan sebagainya), atau mengacu pada laras bahasa (bahasa gaul, santai, sopan, dan sebagainya). Oleh karena itu, dalam kajian bahasa yang digunakan oleh masyarakat terdapat istilah alih kode dan campur kode.
Dewasa ini, masyarakat modern terutama anak muda lebih sering menggunakan bahasa yang diramaikan dengan kosakata asing atau kosakata yang berkembang di Ibu Kota Jakarta. Lebih parahnya lagi, hal tersebut tidak hanya berkembang di Jakarta tetapi di seluruh wilayah Indonesia. Peristiwa ini dalam linguistik dikenal dengan campur kode, yaitu penggunaan kosakata suatu bahasa ketuturan bahasa lain. Penggunaan kosakata asing biasanya dipilih agar percakapan terlihat lebih prestise. Namun, biasanya dilakukan tanpa mengenal kawan bicara dan situasi percakapan.
Pada peristiwa campur kode lainnya, seorang pendatang yang merupakan penutur asli salah satu bahasa daerah asalnya sedang berbicara dalam bahasa daerah setempat tetapi terdapat salah satu kosakatanya diucapkan dalam bahasa Indonesia. Hal itu terjadi karena kemungkinan ketidaktahuan penutur tentang kosakata tersebut. Situasi ini sering terjadi pada seorang pendatang di daerah tersebut. Namun, yang menjadi sorotan adalah saat seorang penutur suatu bahasa daerah sedang mencampur kosakatanya dengan bahasa Indonesia atau asing hanya ingin percakapannya terlihat lebih prestise dan terpelajar. Hal ini sering menimbulkan salah persepsi oleh kawan bicara atau mitra bicara yang ikut hadir dalam percakapan tersebut, sehingga seharusnya percakapan berlangsung dengan hangat, percakapan tersebut menjadi tidak bersahabat.
Pemilihan kode tersebut akan terasa manfaatnya jika dihubungkan dengan literasi budaya dan kewargaan. Literasi menurut National Institute for Literacy adalah kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga, dan masyarakat. Bahkan UNESCO memandang literasi merupakan sesuatu yang lebih mendalam dan luas. Menurut UNESCO, literasi bersifat multiple effect yang berarti bahwa kemampuan literasi membantu memberantas kemiskinan, mengurangi angka kematian anak, pertumbuhan penduduk, menjamin pembangunan berkelanjutan, dan mewujudkan perdamaian. Selanjutnya literasi budaya dan kewargaan menurut Gerakan Literasi Nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan lebih mengarah pada kemampuan untuk menerima dan beradaptasi, serta bersikap secara bijaksana atas keberagaman ini menjadi sesuatu yang mutlak.
Adaptasi dan bijaksana atas keberagaman menjadi hal yang mutlak dilakukan oleh seorang pendatang pada suatu daerah yang mempunyai perbedaan budaya. Salah satunya adalah bahasa. Pemilihan kode (bahasa) menjadi sorotan agar tidak terjadinya kesalahan dalam sikap bahasa. Pemilihan kode (bahasa) yang menjadi sorotan dalam tulisan ini adalah saat seseorang pendatang bertemu dengan sesama bahasa ibu. Namun, situasi percakapan terjadi di tengah masyarakat pribumi yang berbeda bahasa dan ikut hadir dalam percakapan tersebut. Tidak elok rasanya jika percakapan terus berlangsung dengan bahasa daerah yang belum tentu dimengerti oleh mitra tutur lainnya yang ikut hadir. Oleh karena itu, salah satu prinsip literasi budaya dan kewargaan, yaitu kewargaan multikultural dan partisipatif harus dikedepankan. Artinya, perlunya anggota masyarakat yang mampu berempati, bertoleransi, dan bekerja sama dalam keberagaman. Tentunya penggunaan bahasa Indonesia adalah solusi yang menyatukan. Selain itu, penggunaan bahasa Indonesia juga merupakan wujud salah satu prinsip literasi budaya dan kewargaan lainnya, yaitu nasionalisme.