Evi Olivia Kumbangsila, S.Pd.
Pengkaji Kebahasaan Kantor Bahasa Maluku
Pada edisi sebelumnya, saya membahas salah satu sastra lisan yang ada di Maluku Barat Daya yaitu nyanyian rakyat, terkait proses pewarisan, pelestariannya, dan jenisnya. Di bagian itu, saya juga telah membahas tentang dua di antara empat nyanyian rakyat Desa Telalora, yaitu tiarki dan nyertatat.
Pada pembahasan di edisi tersebut, saya menjelaskan bahwa tiarki dipandang sebagai nyanyian rakyat yang sakral dibandingkan dengan tiga jenis nyanyian rakyat lainnya. Tiarki tidak dapat dinyanyikan oleh orang yang bukan keturunan khusus walaupun orang tersebut mampu melantunkan tiarki. Tiarki hanya dapat dilantunkan dalam prosesi adat. Selain itu, tiarki wajib dilantunkan setelah menyelesaikan sebuah masalah yang melibatkan beberapa pihak. Dengan kata lain, tiarki merupakan medium atau sarana perdamaian. Sedangkan Nyertatat berbeda dengan tiarki. Nyertatat tidak terlalu sakral. Oleh karena itu, nyertatat dapat dilantunkan dalam acara yang tidak bersifat sakral, seperti resepsi penikahan bahkan nyertatat dapat dilombakan. Nyertatat, Pantun Berantai, dapat dilantunkan oleh beberapa orang secara berbalas-balasan atau sambung-menyambung. Selain itu, dapat dilantunkan oleh satu orang saja selama kurang lebih 30 menit.
Di edisi ini, saya akan membahas kelanjutan dua jenis nyanyian rakyat Desa Telalora, yaitu Nyerulor dan Nyerariem. Desa Telalora merupakan desa yang terletak di Pulau Kisar. Sebuah pulau kecil yang dikelilingi laut dan berhadapan dengan Negara Timor Leste. Salah satu mata pencarian mereka adalah sebagai nelayan dan lainnya sebagai pe-nipar koli atau orang yang mengambil dan mengumpulkan air dari buah pohon Koli. Sebagian waktu mereka dihabiskan di laut untuk mencari ikan dan di perkebunan koli.
Saat menunggu ikan memakan umpan di pancing, mereka memiliki cukup waktu senggang sehingga tanpa disadari mereka menciptakan satu per satu rangkaian kata-kata berima dan berirama. Kata-kata berima dan berirama ini kemudian disebut nyerulor atau pantun laut. Bukan hanya sambil menunggu ikan, tetapi juga saat mendayung. Setiap nyanyian yang terlahir di waktu senggang itu tentunya bertujuan untuk menghibur hati.
Saat me-nipar koli, mereka juga memiliki waktu senggang. Sambil menunggu setiap tetes air koli memenuhi wadah, mereka akan duduk di pelepah pohon koli dan mulai merangkai kata demi kata hingga terdengar indah dan bermakna. Nyanyian tersebut disebut nyerariem atau pantun pohon.
Nyerulor dan nyerariem dalam tuturan masyarakat Telalora adalah pantun. Meskipun dalam tulisan saya sebelumnya, Sastra Lisan Tiarki dan Nyertatat di Kabupaten Maluku Barat Daya Bagian I, nyanyian rakyat disamakan dengan pantun dalam tuturan masyarakat Telalora, struktur pantun tidak sama dengan nyanyian rakyat yang ada di Maluku. Pantun berima aa-bb atau ab-ab dan memiliki bait berupa sampiran dan isi, sedangkan nyerulor dan nyerariem tidak patuh pada rima pantun yang kita kenal selama ini. Namun, untuk memudahkan pemahaman orang luar tentang nyanyian tersebut, masyarakat setempat memudahkan dengan menyebutnya pantun. Pada akhirnya, masyarakat luar memang lebih memahami kata pantun daripada bahasa daerah ataupun nyanyian rakyat.
Nyerulor dan nyerariem merupakan nyanyian rakyat Desa Telalora yang dianggap tidak sakral bila dibandingkan dengan tiarki. Nyanyian ini dapat dilantunkan di mana saja dan kapan saja. Nyanyian itu tidak dapat dilantunkan dalam upacara-upacara adat. Nyanyian ini lebih sering dijadikan hiburan dalam sebuah acara. Isi nyanyiannya menggambarkan keadaan saat menjala ikan atau me-nipar koli. Kegembiraan yang dirasakan para nelayan dan pe-nipar koli saat mendapatkan hasil dituangkan dalam nyanyian tersebut. Isi nyanyian yang menggelitik pun kadang mengundang tawa di tengah terik matahari yang menyengat kulit. Selain itu, isi nyanyiannya juga tentang proses menjala ikan dan me-nipar koli.
Proses pewarisan nyerulor dan nyerariem lebih terbuka daripada kedua nyanyian rakyat yang saya bahas di edisi sebelumnya. Pewarisan terbuka yang dimaksudkan adalah kedua nyanyian ini dapat diwariskan kepada siapa saja tanpa pandang garis keturunan. Kedua nyanyian ini juga dapat diajarkan kepada siapa saja yang ingin belajar menciptakan maupun menyanyikannya. Selain itu, kedua nyanyian ini juga dapat dinyanyikan oleh siapa saja yang telah mahir menyanyikannya. Karena, terkadang kedua nyanyian tersebut dapat dihafalkan kemudian dinyanyian saat acara berlangsung, tetapi ada juga yang harus diciptakan sesuai kondisi yang sedang berlangsung dan tetap mengadung unsur-unsur asal usul nyanyian tersebut.
Walaupun proses pewarisan setiap nyanyian rakyat di Kabupaten Maluku Barat Daya berbeda-beda, tetapi tetap saja menyemarakkan khazanah sastra lisan di Indonesia terkhusus di Maluku.
Terlepas dari proses pewarisan yang hanya diturunkan sesuai garis keturunan, sebagai generasi Maluku, sepantasnyalah kita tetap melestarikan apapun sastra lisan di negeri kita, baik itu nyanyian rakyat, nyanyian permainan tradisional, nyanyian dalam tarian, pantun, teka-teki, dan sebagainya. Warisan harta benda mungkin akan terkikis oleh waktu, ngengat, atau karat, tetapi warisan harta takbenda tidak akan terkikis oleh semua itu bila dipelihara dan dijaga serta dilestarikan.
Tiarki, tiarka, tiarti, nyertatat, nyerulor, nyerariem, foforuk, foruk, beu, inabiyet, tambaroro, dan kapata (masih banyak lagi yang belum diketahui dan ditulis oleh penulis) merupakan sastra lisan milik Maluku, milik generasi Maluku. Harapan saya, semoga pembahasan saya dapat memotivasi generasi muda Maluku untuk lebih menambah pengetahuan mereka tentang sastra lisan Maluku yang kaya akan filosofi hidup. Bukan hanya nyanyian pop yang dapat membuat generasi muda terisak-isak atau terkagum-kagum dengan untaian kata indah. Selain itu, semoga tulisan ini juga dapat menggugah generasi Muda untuk lebih mencintai Maluku dan sastranya. Generasi hebat adalah generasi yang tetap mengutamakan bahasa Indonesia, sembari melestarikan bahasa daerah dan sastranya, serta mempelajari bahasa asing juga maju dalam era globalisasi.