XENOMANIA BAHASA

Asrif

Kantor Bahasa Maluku, Kemdikbud

 

Istilah xenomania sepertinya belum populer di dalam komunikasi lisan masyarakat Indonesia. Istilah itu tampaknya masih terasa asing walau sebenarnya istilah itu telah terdapat di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Walau belum populer, arti istilah tersebut telah terpatri dan membingkai sikap dan perilaku sebagian masyarakat Indonesia.

Apa itu xenomania? Xenomania pada KBBI didefinisikan sebagai kesukaan yang berlebihan terhadap segala sesuatu yang asing (berasal dari luar negeri). Pada diri seseorang, xenomania dapat diketahui dari sikap dan tindakan yang cenderung memuji atau membanggakan produk, hasil budaya, ilmu pengetahuan, dan sebagainya yang berasal dari luar kelompoknya (etnik atau bangsanya). Pada saat yang bersamaan, seseorang yang mengalami xenomania itu justru merendahkan produk, hasil budaya, dan ilmu pengetahuan dari masyarakatnya sendiri. Xenomania sangat terkait dengan cara berpikir yang kemudian melahirkan sikap dan perilaku yang cenderung negatif.

Sebagai contoh, makanan yang berasal dari negara lain (luar negeri) disebutnya lebih berkualitas daripada makanan dari daerah sendiri. Pakaian dari negara lain dinilainya lebih bagus dibandingkan dengan pakaian dari bangsanya sendiri. Kadangkala, tradisi (budaya) asing disebutnya lebih hebat dari tradisi yang dicipta dan diwariskan leluhurnya kepada dirinya. Seseorang yang bersikap dan berperilaku seperti itu menandakan seseorang itu telah terjangkiti xenomania.

Praktik-praktik masyarakat yang terjangkiti xenomania dalam kehidupan sehari-hari terlihat pada beberapa situasi seperti berikut. Pertama, masyarakat itu akan lebih bangga ketika memiliki atau menggunakan pakaian bermerek impor daripada pakaian-pakaian bermerek nasional. Ia lupa bahwa pakaian yang dibeli itu mungkin saja produk dari Kota Bandung. Kedua, kita kadangkala merasa bangga ketika mampu menyanyikan lagu berbahasa asing. Kita akan menjadi sangat bangga ketika mampu menguasai banyak lagu berbahasa asing. Pada kondisi yang sama, kita justru tidak atau kurang mengenal lagu-lagu nasional apalagi lagu-lagu etnik.

Xenomania itu juga tampak pada sikap berbahasa. Saat berbicara—terutama di depan publik—kita merasa menjadi tampak lebih modern, pintar, atau kekinian, ketika dalam tuturan-tuturan kita, terselip kosakata atau istilah-istilah asing. Kata-kata seperti thank you, in, exit, open, close, schedule, rundown, dan background merupakan kata asing yang seringkali digunakan oleh masyarakat Indonesia di berbagai situasi komunikasi. Selain kata-kata asing di atas, belakangan ini populer kata-kata asing seperti kata online, offline, download, upload, hastag, selfie, gadget, dan incumbent.

Kata-kata asing di atas telah memiliki padanan di dalam bahasa Indonesia. Kata thank you “terima kasih”, in “masuk”, exit “keluar”, open “buka”, close “tutup”, schedule “jadwal”, rundown “susunan acara”, dan background “latar belakang”, online “daring”, offline “luring”, download “unduh”, upload “unggah”, hastag “tagar”, selfie “swafoto”, gadget “gawai”, dan incumbent “petahana”. Ketika telah tersedia padanannya, kosakata asing tidak perlu digunakan di dalam percakapan sehari-hari masyarakat Indonesia.

Di era kekinian ini, bahasa asing memang perlu dipelajari. Bahasa asing menjadi bahasa penghubung bagi dua penutur yang berbeda bahasa negara. Bahasa asing dipelajari di sekolah, kampung, dan lembaga kursus untuk tujuan meningkatkan keterampilan berbahasa asing. Bahasa asing berguna untuk memahami teks-teks berbahasa asing. Namun demikian, di balik manfaat menguasai bahasa asing itu, bahasa asing seharusnya digunakan sesuai dengan situasinya. Penggunaan bahasa asing akan menjadi tidak tepat ketika digunakan di dalam situasi komunikasi sehari-hari masyarakat Indonesia, entah itu di lingkungan masyarakat, lembaga pendidikan, atau di perkantoran.

Semakin tinggi penggunaan bahasa asing di wilayah komunikasi bahasa Indonesia menandakan xenomania semakin meluas. Xenomania menjadi semacam virus yang menjangkiti, memengaruhi, dan menyebar dari satu orang ke orang lain. Xenomania bahasa melahirkan sikap dan tindakan yang tidak sesuai dengan tatanan berbahasa yang berlalu di suatu wilayah.

Pencegahan terhadap xenomania perlu dilakukan oleh semua komponen bangsa. Jika diabaikan, maka xenomania perlahan-lahan akan mengerosi identitas, jati diri, budaya, dan kebanggaan warga terhadap negaranya. Khusus menyangkut bahasa, pencegahan xenomania bahasa dapat dilakukan melalui kegiatan penyadaran bagi masyarakat tentang pentingnya pengutamaan bahasa negara. Bahasa Indonesia bukan sekadar sarana komunikasi. Bahasa Indonesia juga sebagai identitas dan sarana penyatu masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, pengutamaan bahasa Indonesia dapat dilihat sebagai peneguhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Masyarakat Indonesia tentu tidak menghendaki kejadian “pencaplokan” lagu-lagu daerah, tari, kuliner, dan pakaian pada beberapa tahun silam kembali terjadi pada bahasa negara. Jika masyarakat Indonesia abai terhadap bahasa negara, bukan tidak mungkin, peristiwa “pencaplokan” sejumlah karya budaya Indonesia oleh negara asing dapat terjadi pada bahasa negara.

Semoga masyarakat Indonesia tetap mengutamakan dan melindungi bahasa negara: bahasa Indonesia!

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

seven + 14 =

Scroll to Top