BAHASA TANAH
Asrif
Pada masyarakat Maluku, selain terdapat bahasa Indonesia dan bahasa asing, masyarakat mengenal bahasa lainnya yang disebut sebagai bahasa tanah. Apakah bahasa tanah itu sama atau berbeda dengan bahasa daerah? Saya menjelaskannya yang diawali dengan pemaparan tentang “bahasa daerah”.
Bahasa daerah disebut juga sebagai bahasa suku atau bahasa etnik. Istilah bahasa daerah digunakan untuk membedakannya dengan bahasa nasional (bahasa Indonesia). Jadi, istilah bahasa daerah, bahasa suku, atau bahasa etnik dapat digunakan atau saling menggantikan karena ketiganya bersinonim atau memiliki arti yang sama atau mirip. Dalam tulisan ini, saya memilih untuk menggunakan istilah bahasa daerah. Di Maluku, terdapat bahasa daerah Wemale, Alune, Selaru, Makatian, Geser, Hitu, Buru, Tagalisa, dan Yalahatan. Nama-nama daerah itu merupakan nama subetnik dari etnik Maluku.
Bahasa daerah telah ada sejak masa lampau. Bahasa daerah dipakai sebagai alat komunikasi utama suatu daerah atau kampung. Oleh karena itu, bahasa daerah menjadi penanda diri antara masyarakat satu daerah dengan masyarakat dari daerah lainnya. Bahasa daerah juga menjadi penyatu masyarakat yang berbahasa daerah yang sama. Sebagai contoh, bahasa daerah Ambalau menjadi penyatu masyarakat Ambalau. Begitu pula dengan bahasa daerah lainnya.
Selain terdapat istilah bahasa daerah itu, kita juga mendengar istilah bahasa tanah. Bahasa tanah tersebut digunakan terutama dalam upacara adat pelantikan raja, pendirian dan peresmian baeleo, pelaksanaan dan pembukaan sasi, upacara pela-gandong, upacara cuci negeri, penyambutan tamu-tamu agung, pelaksanaan tradisi keagamaan, dan berbagai kegiatan adat lainnya. Saat upacara-upacara adat seperti, tuturan-tuturan tokoh adat umumnya menggunakan bahasa yang disebut bahasa tanah. Kata-kata tertentu, tuturan-tuturan tertentu, sumpah, mantra, dan lain-lain saat upacara adat diwarnai oleh kosakata bahasa tanah.
Apa itu bahasa tanah? Bahasa tanah merupakan satu kesatuan dengan bahasa daerah. Bahasa tanah merupakan ragam bahasa dalam suatu bahasa. Kosakata atau tuturan-tuturannya merupakan tuturan-tuturan khusus, sakral, dan kadangkala mengandung kekuatan magis. Karena kekhususan, kesakralan, dan kemagisannya itu, ragam bahasa ini disebut sebagai bahasa tersendiri yang berbeda dengan bahasa daerah di tempat itu.
Bahasa tanah merupakan serangkaian kosakata dan kalimat-kalimat tertentu, yang telah turun-temurun digunakan oleh tokoh-tokoh adat. Kosakata bahasa tanah bukan merupakan kosakata umum yang digunakan dalam percakapan hari-hari. Kosakata bahasa tanah hanya digunakan oleh para tokoh adat dalam upacara-upacara adat.
Dari masa ke masa, kosakata dan kalimat-kalimat bahasa tanah tidak mengalami perubahan cara penuturan. Demikian pula halnya dengan makna yang dikandung dalam bahasa tanah yang tetap sama dengan masa-masa sebelumnya.
Penggunaan tuturan dan kosakata bahasa tanah yang hanya pada pelaksanaan upacara adat atau prosesi suatu tradisi menjadikan kosakata-kosakata itu menjadi khusus. Kosakata itu tidak menjadi konsumsi publik. Kosakata termasuk kalimat-kalimatnya dipakai oleh pelaku adat kepada pihak-pihak yang terlibat di dalam peristiwa adat.
Kondisi itu pada akhirnya menempatkan kosakata yang dipakai dalam upacara adat seolah sebagai bahasa tersendiri, yang bukan bagian dari bahasa daerah masyarakat setempat. Satu kampung seolah memiliki dua bahasa, yakni bahasa daerah dan bahasa tanah. Keadaannya tidak seperti itu. Satu kampung tetap hanya memiliki satu bahasa daerah.
Bahasa daerah terurai dalam dua ragam, yakni ragam sehari-hari dan ragam adat. Ragam sehari-hari digunakan dalam percakapan umum dalam interaksi sehari-hari, sedangkan ragam adat hanya digunakan dalam upacara-upacara adat. Ragam adat inilah yang kemudian populer dengan istilah bahasa tanah.
Pilihan kata “tanah” pada istilah bahasa tanah didasari oleh pemaknaan tanah sebagai asal kehidupan. Tanah dimaknai sebagai pusat kehidupan. Tanah sebagai tempat bertumpu. Selain itu, istilah tanah tersebut merujuk pada aktivitas sakral yakni acara-acara adat. Tanah merupakan sakralitas dan keaslian. Untuk itu, tuturan-tuturan adat dalam berbagai pelaksanaan upacara adat disebut sebagai bahasa tanah.
Pada masa sekarang, bahasa tanah kembali mendapat perhatian serius dari berbagai kalangan. Bahasa tanah kembali dilestarikan pada semua lembaga-lembaga adat di setiap negeri. Kata, kalimat, dan bahkan nyanyian-nyanyian tradisional yang berbahasa tanah kembali dilantunkan. Bahasa tanah menjadi penyaksi atas prosesi adat.
Kebertahanan bahasa tanah (tuturan-tuturan adat) sangat bergantung pada kebertahanan bahasa daerah. Jika bahasa daerah suatu masyarakat masih kuat, maka bahasa tanahnya akan lestari. Sebaliknya, jika keberadaan bahasa daerahnya melemah, maka bahasa tanahnya akan turut meredup bahkan punah. Oleh karena itu, setiap masyarakat sejatinya tetap menjaga keberlanjutan bahasa daerahnya agar bahasa tanahnya turut terpelihara dengan baik.