Waifefa, Jejak Bahasa Buru di Teluk Kayeli

Asrif

Kantor Bahasa Maluku, Kemdikbud

 

Di tengah memudarnya penggunaan bahasa daerah pada masyarakat Pulau Buru, masyarakat Dusun Waifefa justru menunjukkan fakta sebaliknya. Dusun yang lebih terasa sebagai kampung adat itu, masyarakatnya masih menggunakan bahasa daerah dalam komunikasi sehari-hari. Para tetua bahkan selalu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa daerah kepada siapa pun yang berkunjung ke kampung adat itu. Sikap berbahasa seperti itu sudah jarang dijumpai terutama pada masyarakat Pulau Buru masa kini.

Di mana dan seperti apa kampung adat Waifefa itu? Pada penghujung tahun 2018, saya menjejakkan kaki di sebuah kampung yang terletak di Desa Masarete, Kecamatan Teluk Kayeli, Pulau Buru. Kampung yang saya kunjungi itu bernama Waifefa. Informasi dari masyarakat Kota Namlea (nama ibu kota Kabupaten Buru), Waifefa merupakan kampung adat. Masyarakatnya masih menjaga dengan baik tradisi dan tatanan hidup yang menjadi pegangan mereka. Informasi itu benar adanya. Waifefa merupakan kampung adat yang masih menjaga tradisi, termasuk bahasa daerah. Bahasa Buru masih lestari sebagai bahasa komunikasi sesama masyarakat kampung itu.

Letak kampung adat Waifefa terasa terisolir. Jalanannya belum beraspal. Posisi kampung bukan di jalan poros (utama). Jumlah masyarakatnya tidak banyak, tidak lebih dari 20 kepala keluarga. Tidak banyak warga Namlea yang tahu keberadaan kampung itu padahal akses dari Kota Namlea menuju Waifefa tidaklah sulit. Dari Kota Namlea, perjalanan dapat ditempuh melalui perjalanan darat. Namun, karena kondisi jalan darat yang belum baik, masyarakat menggunakan jalur laut sebagai pilihan utama. Perjalanan laut dapat menggunakan kapal feri dengan jarak tempuh sekitar satu jam, sedangkan menggunakan speedboat hanya membutuhkan 30 menit

Saat ke Waifefa, saya dan rekan disambut oleh tokoh adat dan masyarakat setempat. Setelah mengikuti prosesi melintasi ‘gerbang’ kampung, kami kembali disambut Cakalele, tarian khas Maluku. Sejumlah lelaki dewasa dengan parang terhunus bergerak lincah mengikuti tabuhan tifa. Teriakan-teriakan khas penari Cakalele melengking memenuhi jagat gerbang kampung Waifefa. Di belakang penari Cakalele, sejumlah ibu telah bersiap menyongsong kehadiran kami. Sungguh proses penerimaan tamu yang amat mengesankan.

Kembali ke soal bahasa daerah. Masyarakat Waifefa menjadi salah satu fakta kampung yang masih gigih mempertahankan bahasa daerah. Mereka tidak hanya melestarikan tradisi dan adat-istiadat, tetapi juga mempertahankan bahasa daerah. Saya menyaksikan beberapa fakta unik. Pertama, tetua kampung yang konsisten berbahasa daerah kepada tamu mereka. Kedua, tetua kampung berinteraksi sesama mereka dalam bahasa daerah walau di sekitar mereka ada penutur yang berbeda bahasa. Dua sikap masyarakat Waifefa itu memberikan kesan tentang sikap positif mereka terhadap bahasa daerah yang mereka miliki.

Lestarinya bahasa Buru pada masyarakat Waifefa terlihat pada sejumlah tradisi dan adat-istiadat yang mereka miliki. Inafuka dan kabata merupakan dua dari sejumlah tradisi lisan yang masih lestari. Tradisi lisan inafuka merupakan nyanyian/dendangan tradisional yang diiringi tabuhan tifa berisi antara lain sapaan selamat datang, pesan-pesan, harapan-harapan, dan doa-doa, baik kepada sesama masyarakat kampung ataupun kepada tamu kampung. Inafuka dapat dinyanyikan oleh siapa saja, secara individu, dan bergantian. Selain inafuka, masyarakat setempat memiliki kabata (nyanyian/lantunan sejarah negeri) yang masih dilestarikan dan dituturkan dengan penghayatan yang tinggi.

Keberlanjutan bahasa daerah di kampung Waifefa bukan tanpa persoalan. Menurut tetua adat, mereka yang menjadi penutur bahasa daerah mengalami stigma (penilaian) negatif dari masyarakat lain. Penilaian negatif itu menjadikan masyarakat Waifefa terasa gamang, antara melestarikan atau meninggalkan bahasa daerah. Ketika mereka gigih melestarikan bahasa daerah, pada saat yang sama, mereka harus menyiapkan diri dari stigma negatif. Hal tersebut dialami masyarakat Waifefa selama puluhan tahun.

Pada bulan Desember tahun 2018, bahasa Buru yang ada di kampung adat Waifefa seolah mendapatkan kemerdekaannya. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI melalui Kantor Bahasa Maluku (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa) memberikan dukungan kepada tetua adat dan masyarakat kampung adat Waifefa untuk terus melestarikan bahasa Buru. Penutur bahasa Buru perlu terus menjaga sikap positif terhadap bahasa Buru. Sikap positif ditunjukkan dari sikap bangga memiliki bahasa Buru dan aktif menggunakan bahasa Buru pada ranah-ranah bahasa Buru. Semakin positif sikap terhadap bahasa Buru, bahasa Buru akan tetap lestari.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

nineteen − 14 =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top