Membaca Buku Mengubah Takdir

Harlin

(Staf Kantor Bahasa Maluku)

 

Orang sering berkata, “Ini bukan zaman Sitti Nurbaya”, artinya zaman sekarang bukanlah zaman kawin paksa. Mengapa Sitti Nurbaya menjadi buah tutur orang zaman sekarang? Ya, karena ada novel karangan Marah Rusli terbitan Balai Pustaka tahun 1922 berkisah tentang nasib Sitti Nurbaya yang menderita karena kawin paksa.

Mungkin kita masih ingat Inul Daratista, pada tahun 2003 begitu menggemparkan karena goyang “ngebor” yang bisa ditonton di  televisi. Anak-anak sampai orang tua bisa menyaksikan dan menikmatinya. Tetapi ketika tidak tayang lagi  di televisi, kita tidak lagi bisa menikmatinya. Kita tidak bisa lagi menceritakan dengan persis seperti saat kita menikmatinya kepada anak cucu kita bagaimana hebohnya goyang “ngebor” Inul tersebut.

Tayangan goyang ngebor Inul adalah objek yang bisa kita nikmati lewat pancaindra seperti mata dan telinga. Sebuah tontonan yang dapat dilihat dan didengar oleh kita karena melihat dan mendengar adalah kodrat. Alat-alat teknologi yang dapat mempermudah penikmatan indrawi (menonton dan mendengar) kita ialah televisi, radio, dan telepon.  Radio atau telepon dapat  merangsangkan indra kodrati kita. Namun, kenikmatan tersebut  hanyalah kenikmatan sesaat, tidak bisa diingat lama apalagi diteruskan kepada orang lain yang tidak ikut melihat dan mendengar, kalaupun bisa, kenikmatan itu tidak dapat terserap persis dengan aslinya.   Sebaliknya, ungkapan “Ini bukan zaman Sitti Nurbaya” bisa diteruskan kepada anak cucu kita karena tertulis dan terbaca dalam bentuk buku. Daya serapnya persis seperti apa yang tertulis meskipun peristiwanya telah terjadi. Artinya, segala sesuatu yang bersifat kodrati terutama melihat dan mendengar hanya bisa dinikmati secara pribadi dalam sekejap dan tidak bisa diteruskan kepada orang lain yang tidak mengalaminya. Hal itu akan berbeda  bila membaca buku. Itu bisa abadi dan diturunkan kepada siapa saja yang membaca buku yang sama. Dengan membaca dan menulis, ilmu akan bertambah. Dengan tambahan ilmu tersebut, seseorang tentu lebih siap menghadapi zaman karena banyak akal dan daya upaya berprakarsa. Takdirnya akan berubah menjadi lebih baik daripada sebelum membaca buku-buku. Tetapi jika sepanjang hidupnya tidak membaca buku sama sekali, orang akan hidup sebagaimana kodrat fitrah alamiahnya.

Kematian manusia seyogyanya meninggalkan sejarah dan ilmu hidupnya seperti halnya buku yang terbaca oleh siapa saja. Begitu pula dengan sejarah kebenaran, etika, kebaikan, kejahatan, dan hal lainnya pada masa lalu, masa kini, atau masa depan seharusnya sudah dan akan ditulis dalam buku. Dengan demikian, manusia baru yang ingin mengenal dan mengetahui tentang itu harus  membaca buku-buku.

Belakangan ini memang banyak bermunculan gerakan motivasi menuju bangsa gemar membaca buku, baik oleh pemerintah maupun peran pihak lain. Sebutlah seperti adanya workshop dan lomba mengarang, makin bertambahnya toko buku, adanya taman-taman baca, banyaknya perpustakaan dari kota hingga ke desa, adanya bedah buku, resensi buku, dan aktivitas literasi lainnya. Seiring itu pula, pegiat dan praktisi literasi, pengarang-pengarang baru, dan pihak lain yang kerapkali berhubungan dengan persoalan literasi bermunculan. Sayangnya, yang belum optimal dilakukan atau yang harus dibenahi adalah kelompok-kelompok masyarakat harus terdorong untuk gemar membaca dan bahkan menulis buku. Dengan demikian, kelompok-kelompok masyarakat yang semula tidak tahu nikmatnya membaca buku akan gemar membaca buku, bahkan menulis atau mengarang buku.

Prof. Dr. Ayu Sutarto, M.A. menulis bahwa tantangan masyarakat Indonesia kini dan ke depan adalah mengubah dirinya dari masyarakat yang terkungkung oleh tradisi kelisanan (orality) menjadi masyarakat yang bertradisi keberaksaraan (literacy) Masyarakat yang bertradisi keberaksaraan adalah masyarakat yang mengenal aksara, masyarakat yang mau membaca dan berpikir, masyarakat yang kritis bukan hanya terhadap kebohongan, kekeliruan atau kemunafikan masyarakat lain, namun juga kepada dirinya sendiri. Dengan bertradisi keberaksaraan, maka masyarakat Indonesia akan membedakan mana opini mana fakta, mana dunia cerita mana dunia nyata, mana kebohongan dan mana kebenaran.

Akhirnya, budaya membaca dan menulis buku merupakan kiat hidup orang modern. Budaya membaca buku akan berpotensi mengubah takdir. Semoga.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

nineteen + eleven =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top