KABATA DAN BAHASA TANA DI KEPULAUAN BANDA

FARADIKA DARMAN

 (Staf Teknis Kantor Bahasa Maluku)

 

Kepulauan Banda merupakan kepulauan yang terletak di bagian tenggara Pulau Ambon. Secara administratif Kepulauan Banda adalah bagian dari Kabupaten Maluku Tengah.  Banda adalah satu-satunya sumber rempah-rempah yang bernilai tinggi hingga pertengahan abad ke-19. Beberapa pulau di kepulauan Banda sangat dikenal bahkan memengaruhi sejarah dunia seperti Naira, Pulau Hatta, dan Pulau Rhun.

Dikutip dari Banda dalam Sejarah Perbudakan Nusantara, pada 1621 telah terjadi genosida di Kepulauan Banda dan hanya tersisa sekitar 400 orang asli setelah kejadian itu. Selanjutnya orang asli tersebut hidup berdampingan dengan berbagai etnik (seperti Cina, Melayu, Bugis, Makassar, Jawa, dan Buton) yang didatangkan ke Pulau Banda untuk dijadikan budak. Hal ini yang menyebabkan tidak ditemukannya bahasa daerah dalam komunikasi masyarakat Banda sehari-hari. Bahasa yang digunakan saat ini sering disebut sebagai bahasa Melayu Banda. Akan tetapi, jika dilihat dari kosakatanya  sebagian besar sama dengan bahasa Melayu Ambon yang telah menjadi lingua franca (bahasa pengantar) di Maluku. Berbeda halnya dengan penggunaan bahasa dalam ritual atau upacara adat. Di Maluku, bahasa yang digunakan dalam ritual atau ranah adat biasanya disebut sebagai bahasa Tana. Bahasa Tana dianggap lebih tinggi dan sakral dibanding dengan bahasa yang digunakan sehari-hari. Olehnya itu bahasa Tana di Maluku sebagian besar hanya diketahui dan dipahami oleh penutur yang sudah tua.

Bahasa Tana di Kepulauan Banda dibekukan dalam syair atau nyanyian adat yang dikenal dengan sebutan Kabata. Kabata menjadi elemen penting dan menjadi satu kesatuan dengan rangkaian adat lainnya. Kabata menjadi magnet dan menambah nilai sakral dalam setiap upacara adat. Kabata tidak hanya menyimpan sejarah masa lalu namun menjadi pembeku dan pemelihara bahasa Tana. Tidak banyak masyarakat bahkan tidak semua tetua adat di negeri/kampung adat di Pulau Banda yang mampu dan menguasai semua isi dalam kabata, namun melalui peran Natu, Kabata di kepulauan Banda dapat dikatakan masih lestari. Natu adalah orang yang bertugas untuk melantunkan Kabata. Akan tetapi, kesakralan kabata menyebabkan banyak masyarakat yang tidak paham maksud dan tujuan yang terkandung di dalamnya.

Contoh penggalan kabata yang dilantunkan ketika perhelatan cuci sumur keramat yaitu: bismillahi laubelang fiate, jadi bae akate Nirawati watro, imam-imam ee, jorehatib ee lebe baca surat Qur’an, Londore wailondore, kirim salamualaikum wailondore, Lee walakaa sumba leo walakaa Fiat kirim salam wailonodore. Arti dari keempat baris kabata ini yaitu bismillah katakan kepada kampung Fiat, jadi berkat dari Nirawatiwatro, Imam-imam dan Hatib-hatib, lebih baik baca ayat Alquran, Lonthor Raja Lonthor, Raja Warataka sembah Raja Warataka, Fiat kirim salam kepada Raja Lonthor (Bungin, Destinasi Banda Neira).

Contoh lainnya yaitu Bismillahi Lailahaillah Subhanallah, Bismillahi alam teko-teko, teko aire. Selain dalam upacara adat cuci sumur keramat, juga terdapat dalam upacara lainnya  yaitu Laut e laut e, burung hamba laut e, Maruka burung, burung hamba laut eol, Walane-walane marapati walane, Kasi turun katorang lima dikota sini. Masih banyak kabata yang dilantunkan dalam ritual adat, namun tidak diperkenankan atau dilarang untuk didokumentasikan. Keyakinan masyarakat bahwa jika syair dalam Kabata ditulis atau pun diketahui oleh masyarakat laus maka akan mengurangi nilai kesakralannya.

Selain kabata, di dalam ritual adat tersebut pun tersimpan istilah-istilah dalam bahasa tanah seperti amakaka (tetua adat), karaso (sesajen yang akan dipersembahkan kepada para leluhur), aulia umbia (istilah yang digunakan untuk menyebut para leluhur), ursia (tetua adat yang terdiri atas sembilan pasang suami dan istri), orlima (tetua adat yang terdiri atas lima pasang suami dan istri, lot-lot (seperangkat tifa dan gong), poe (menghambur-hamburkan benda upacara), dan sebagainya. Bahasa Tana hidup dalam kabata yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari ritual adat. Bahasa selamatkan adat dan adat menjaga bahasa. Kabata, bahasa Tana, dan ritual adat adalah budaya yang menandakan ciri atau kekhasan masyarakat Kepulauan Banda.

Bahasa daerah atau bahasa Tana menjadi bagian yang amat penting dalam menunjang dan mendukung terlaksananya upacara adat di suatu daerah juga menambah kesakralan upacara tersebut. Melalui kabata kesakralan upacara dalam lantunan bahasa Tana dapat dirasakan. Kabata tak hanya sekadar nyanyian, namun menyimpan banyak makna dan nilai-nilai luhur, juga menjadi media pemelihara bahasa Tana di Kepulauan Banda.

 

 

 

 

1 komentar untuk “KABATA DAN BAHASA TANA DI KEPULAUAN BANDA”

  1. Pingback: Kabata di Kepulauan Banda - On My Own Galaxy

Tinggalkan Balasan ke Kabata di Kepulauan Banda - On My Own Galaxy Batalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

11 + eighteen =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top