Asrif
Kantor Bahasa Maluku, Kemendikbud
Pada suatu pertemuan, seorang pejabat mengucapkan kata launching. Kata itu merupakan kosakata bahasa asing, tepatnya kosakata bahasa Inggris. Sang pejabat mengucapkan kata itu berkali-kali sehingga kata launching tampak sebagai kata yang telah biasa baginya. Saya pun membantin, “Pejabat ini senang menggunakan bahasa gado-gado.”
Penggunaan kata launching ataupun kosakata asing lainnya saat memberi sambutan atau dalam komunikasi formal lainnya merupakan sikap yang bertentangan dengan UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Dalam UU itu, bahasa Indonesia menjadi bahasa utama dalam komunikasi, terlebih komunikasi resmi dalam lingkungan dan kegiatan pemerintahan.
Kosakata launching, incumbent, city, beach, park, share, welcome, thank you, selfie, upload, download, park, exit, closed, open, dan sebagainya yang digunakan di sela-sela kosakata bahasa Indonesia merupakan sikap gado-gado berbahasa. Bahasa Indonesia dicampur-campur dengan bahasa asing. Semakin banyak gado-gado bahasa asingnya, si penutur kadangkala malah bersikap bangga.
Sikap menggado-gado bahasa saat berkomunikasi dengan pegawai, sesama pejabat, terlebih di depan masyarakat merupakan sikap yang tidak patut. Pada saat komunikasi dengan masyarakat, bahasa yang dipakai ialah bahasa Indonesia. Sebabnya, selain hal itu merupakan amanat dalam UU No. 24 Tahun 2009, juga karena masyarakat yang disapa merupakan masyarakat Indonesia, yang menggunakan, memahami, dan menghormati bahasa Indonesia. Masyarakat Indonesia dalam berbagai level lebih memahami bahasa Indonesia daripada bahasa asing.
Istilah-istilah asing yang dicampurbaurkan dengan kalimat bahasa Indonesia berpotensi akan mengacaukan inti pesan. Kata launching tentu saja belumlah dipahami oleh seluruh masyarakat. Demikian pula kata-kata asing seperti incumbent, upload, download, welcome, school, dan style. Mungkin saja telah ada masyarakat yang memahami kata tersebut. Namun demikian, saya menduga sebagian besar masyarakat belumlah memahami istilah tersebut dengan baik. Jika demikian situasinya, maka proses komunikasi menjadi tidak efektif.
Walau bahasa gado-gado itu menghasilkan komunikasi yang tidak efektif, namun banyak dari kita yang “hobi” meracik bahasa gado-gado. Pengguna bahasa gado-gado merasakan nikmat sebagai kaum intelek ketika ia menggunakan istilah asing dalam ucapan-ucapannya. Pengguna bahasa gado-gado merasa diri sebagai kaum milenial yang mengikuti perkembangan zaman tatkala dalam ujaran-ujarannya atau tulisan-tulisannya, terselip satu atau dua istilah asing.
Bahasa gado-gado tidak hanya dalam bentuk tuturan (lisan). Dalam tulisan, bahasa gado-gado jamak terjadi. Sebagai contoh, pada sebuah taman di Pulau Buru terdapat tulisan yang cukup mencolok. Tulisan itu seperti ini, “Simpang Lima Park”. Di daerah lain, beberapa lembaga pendidikan menulis ucapan selamat datang dengan tulisan seperti ini, “Welcome to SMA ……” Kedua bentuk tulisan bahasa gado-gado itu hanyalah sedikit dari banyak bentuk bahasa gado-gado di daerah ini.
Bahasa gado-gado dalam tulisan tampak pada berbagai ruang publik di Kota Ambon juga kota-kota lainnya di Maluku. Di kantor, lembaga pendidikan, hotel, pusat perbelanjaan, kafe, restoran, tempat wisata, dan taman publik, gado-gado bahasa tampak pada nama bangunan, nama ruangan, nama toko, daftar menu makanan, dan sebagainya. Pada sejumlah ruang publik itu, gado-gado bahasa seolah telah menjadi sebuah kelaziman.
Maraknya bahasa gado-gado rupanya disebabkan beberapa hal. Pertama, bahasa gado-gado dinilai sebagai penanda masyarakat yang maju. Kedua, bahasa gado-gado dianggap sebagai ciri negara modern. Ketiga, bahasa gado-gado merupakan cara untuk menunjukkan citra diri sebagai kaum intelek, milenial, dan sebagainya.
Anggapan-anggapan seperti itu sayangnya bertolak belakang dengan fakta-fakta penggunaan bahasa pada beberapa negara maju di Asia. Pada negara Tiongkok, Jepang, dan Korea misalnya, bahasa utama mereka tetaplah bahasa negara mereka. Nama-nama bangunan, toko, pusat perbelanjaan, dan berbagai ruang publik mereka, tetap mengutamakan nama-nama atau istilah-istilah lokal, bukan yang berbau asing. Papan petunjuk yang berada di jalan-jalan ketiga negara tersebut, tetap menggunakan bahasa negara masing-masing, bukan bahasa gado-gado.
Ketaatan berbahasa di Tiongkok, Jepang, dan Korea justru menunjukkan kejatidirian ketiga negara tersebut. Penggunaan bahasa negara justru menunjukkan cara berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) ketiga negara dalam hal bahasa. Pengutamaan bahasa negara merupakan cara menunjukkan kedaulatan negara mereka melalui bahasa. Hal itu juga menunjukkan ketiga negara itu sebagai negara yang mandiri, percaya diri, dan berkarakter. Mereka mewarnai negara dengan bahasa mereka. Gedung-gedung, toko-toko, papan nama, dan sebagainya tetap mengutamakan bahasa negara.
Sikap yang ditempuh Tiongkok, Jepang, dan Korea didasari oleh keyakinan bahwa penggunaan bahasa asing pada gedung-gedung mereka, toko-toko, dan sebagainya merupakan penanda melemahnya kebanggaan warga negara itu terhadap bangsa dan negaranya. Mereka mandiri termasuk dalam berbahasa.
Kembali ke pejabat yang senang menggunakan bahasa gado-gado tadi, saya bertanya kepadanya, “Launching itu kegiatan apa, Pak?” Dengan setengah berbisik, ia menjawab, “Saya juga tidak tahu artinya apa.”
terimakasih atas informasinya pak
Sama-sama…