Bahasa Daerah dan Sistem Pendidikan Indonesia

0
6139

Erniati
(Kantor Bahasa Maluku)

 

Mengapa bahasa daerah tidak popular? Dewasa ini, pertanyaan tersebut selalu muncul di berbagai seminar-seminar yang membahas tentang pentingnya melestarikan bahasa daerah.  Namun, untuk menjawab fenomena tersebut, popular bahasa daerah, tentu tidak terlepas dari peran sistem pendidikan. Dunia pendidikan  yang  memiliki andil terbesar untuk membuat bahasa daerah menjadi popular. Pendidikan disebut sebagai garda terdepan  yang membentuk jati diri bangsa. Oleh   karena itu, fenomena berkurangnya popularitas bahasa daerah seharusnya  dimulai dengan mengevaluasi sistem pendidikan di negeri ini.  Sistem yang diterapkan dalam dunia pendidikan  harus akomodatif terhadap kebutuhan pengajaran kearifan lokal dan bahasa daerah. Ada  tiga unsur penting dalam dunia pendidikan, yaitu kurikulum, model pengajaran, dan bahasa pengantar. Ketiga unsur  ini merupakan hal yang penting untuk menjelaskan fenomena kebahasaan yang sedang terjadi.

Dalam kurikulum 2013, tidak ada mata pelajaran spesifik bahasa daerah. Mata pelajaran bahasa daerah merupakan modifikasi dari mata pelajaran tambahan seperti seni budaya, pendidikan jasmani, olah raga dan kesehatan, serta prakarya dan kewirausahaan. Konten mata pelajaran tambahan merupakan pengembangan dari pusat dan dilengkapi oleh konten lokal yang dikembangkan oleh pemerintah daerah. Jadi, pemerintah daerah memiliki kebebasan untuk menentukan konten pendidikan, termasuk menyelipkan mata pelajaran bahasa daerah. Namun kebebasan ini juga bisa jadi digunakan pemerintah daerah untuk tidak mengajarkan bahasa daerah dan menggantinya dengan prakarya atau seni budaya yang lain. Oleh karena itu,  keberadaan mata pelajaran bahasa daerah tidak bersifat mengikat.

Jika dilihat dari alokasi waktu, mata pelajaran kelompok tambahan  memiliki proporsi yang sangat sedikit dibandingkan mata pelajaran kelompok inti  terutama pendidikan agama dan budi pekerti, bahasa Indonesia, dan matematika. Mata pelajaran kelompok tambahan  hanya mendapatkan alokasi waktu jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pendidikan agama dan budi pekerti, bahasa Indonesia, dan matematika.

Kenyataan bahwa mata pelajaran bahasa daerah tidak diberi alokasi waktu yang cukup dikemukakan  oleh beberapa guru di beberapa daerah di Indonesia  termasuk di Provinsi Maluku. Berbeda dengan wilayah Sulawesi, Jawa, dan Sumatera yang masih mempertahankan mata pelajaran bahasa daerah baik di tingkat SD, SMP, dan SMA. Namun tidak mendapat porsi jam pelajaran yang sangat sedikit. Di bangku menengah pertama, mata pelajaran bahasa daerah mendapatkan porsi 2×45 menit dalam seminggu, sedangkan di bangku menengah atas, mata pelajaran bahasa daerah hanya dilangsungkan selama 60 menit dalam seminggu. Dengan waktu sesingkat itu, banyak materi yang tidak diajarkan secara mendalam bahkan, cenderung dilewati begitu saja. Selain masalah alokasi waktu pengajaran, masalah lain yang menyangkut kurikulum ialah sentralitas Ujian Nasional. Kurikulum mata pelajaran di jenjang sekolah menempatkan mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris, dan mata pelajaran peminatan sebagai mata pelajaran yang menentukan jenjang pendidikan berikutnya melalui Ujian Nasional. Sebab  itu, mata pelajaran yang tidak masuk dalam Ujian Nasional dikesampingkan oleh siswa.

Faktor lain yang memengaruhi popularitas bahasa daerah dalam dunia  pendidikan adalah metode pengajaran. Pelajaran bahasa daerah kurang diminati karena teknik pengajarannya yang cenderung membosankan. Metode pengajaran bahasa daerah didominasi dengan mengerjakan lembar kerja siswa, padahal, kalau sekedar mengerjakan lembar kegiatan siswa wawasan yang diperoleh tidak akan cukup membuat murid memahami dan menguasai bahasa daerah. Seharusnya pelajaran bahasa daerah bisa dibawa ke hal-hal yang bersifat praktis daripada sekadar mengerjakan lembar kegiatan siswa (LKS). Metode pengajaran bahasa daerah yang cenderung monoton dan membosankan tidak bisa dilepaskan dari alokasi waktu pengajaran yang terbatas.

Selain itu, sentralitas penggunaan bahasa Indonesia dalam sistem pendidikan di Indonesia juga menjadi penyebab ketidakpopuleran bahasa daerah di kalangan anak muda. Buku-buku pelajaran di sekolah menggunakan bahasa pengantar bahasa Indonesia. Dengan demikian komunikasi yang dilakukan di kelas juga menggunakan bahasa Indonesia. Berdasarkan uraian di atas,  penting untuk mengingat kembali bahwa berkurangnya penutur bahasa daerah dari kalangan muda tidak melulu terjadi karena gempuran globalisasi. Berkurangnya penutur bahasa daerah dari kalangan muda juga  disebabkan oleh ketidakberpihaknya sistem pendidikan terhadap proporsi jam mata pelajaran bahasa daerah, bahkan ada beberapa provinsi yang tidak menempatkan bahasa daerah pada jam pelajaran. Sayangnya  kondisi ini  telah berjalan terlampau lama sehingga penggunaan dan pelestraian bahasa daerah di Indonesia terabaikan.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.