ERNIATI
(Peneliti Kantor Bahasa Maluku)
Bahasa digunakan sebagai alat komunikasi oleh penuturnya. Bahasa dipisahkan menjadi dua kelompok besar, yaitu bahasa tulis dan bahasa lisan. Sebagaimana yang telah kita ketahui, manusia tidak semuanya memilki tulisan yang sama (bahasa tulis). Demikian pula dalam bahasa lisan, manusia tidak memilki suara tuturan yang sama. Akan tetapi afeksi-afeksi jiwa yang ditandai oleh kata-kata tuturan, baik tulis maupun lisan adalah sama bagi keduanya. Pemilihan bahasa oleh penutur lebih mengarahkan pada bahasa yang komunikatif. Melalui konteks situasi yang jelas suatu peristiwa komunikasi dapat berjalan dengan lancar. Dalam hal ini, istilah tindak tutur muncul karena dalam pengucapan sesuatu, penutur tidak semata-mata menyatakan tuturan, tetapi dapat mengandung maksud dan tujuan di balik tuturan.
Dewasa ini banyak pekerjaan atau profesi yang memerlukan keahlian dalam bertutur, misalnya guru, pengacara, hakim polisi, bahkan pembantu rumah tangga sekalipun. Tuturan sangat penting dilakukan untuk menyampaikan informasi pada mitra tutur. Sering kali kita jumpai seseorang untuk sekadar bertanya ataupun menyampaikan informasi. Biasanya tuturan tersebut sering diujarkan bukan dalam konteks situasi formal atau resmi, namun menggunakan bahasa yang halus di luar keformalan. Konteks situasi di luar keformalan tersebut mengandung makna berupa kesopanan. Tuturan kesopanan biasanya digunakan pada situasi saat menyatakan janji dan penawaran, misalnya berjanji, bersumpah, mengancam, dan menyatakan kesanggupan. Sementara itu, peristiwa tindak tutur yang dihasilkan dari tuturan tersebut berupa tindak tutur ilokusi berjenis komisif. Tindak tutur komisif merupakan tindak tutur yang mengikat penutur untuk melaksanakan apa yang telah dituturkan. Penutur dituntut tulus atau suka rela dalam melaksanakan yang telah dituturkan.
Untuk mengetahui seberapa tinggi tingkat kesantunan berbahasa yang digunakan oleh penutur terhadap mitra tutur dapat menerapkan prinsip kesantunan milik Leech. Menurut Leech (2011:2016) untuk menerapkan prinsip kesantunan diperlukan adanya maksim. Maksim tersebut terbagi menjadi enam jenis, Yakni (1) maksim kearifan, (2) maksim kedermawanan, (3) maksim pujian , (5) maksim kerendahan hati, (5) maksim kesepakatan, (6) maksim simpati.
Kesantunan merupakan hal yang harus diperhatikan dalam bertutur kepada mitra tutur, untuk memberi kenyamanan dalam berkomunikasi, selain memberi rasa nyaman juga dapat menimbulkan rasa kewibawaan dan rasa hormat terhadap mitra tutur. Hal ini sesuai dengan pernyataan Prayitno yang mengatakan bahwa kesantunan komunikasi merupakan strategi penutur untuk menjalin keterbukaan antara penutur dan mitra tutur terhadap hal-hal yang dianggap tabu. Chaer mengungkapkan bahwa kesantunan berbahasa merupakan property yang diasosiasikan dengan tuturan dan di dalam hal ini menurut pendapat si lawan tutur bahwa si penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak mengingkari dalam memenuhi kewajibannya. Sedangkan penghormtan adalah bagian dari aktivitas yang berfungsi sebagai sarana simbolis untuk menyatakan penghargaan secara regular. Namun, meskipun berperilaku hormat belum tentu berprilaku santun karena kesantunan adalah masalah lain. Setiap kesantunan ditandai oleh penanda yang berbeda-beda. Untuk mengetahui kesantunan berbahasa dalam sebuah tuturan diperlukan sebuah prinsip atau maksim yang dikemukakan oleh Leech.