Faradika Darman
Staf Teknis Kantor Bahasa Maluku
Pada era teknologi seperti saat ini, tiap orang bebas untuk menulis dan menyampaikan apapun dan kepada siapapun pendapatnya melalui media sosial. Istilah “mulutmu harimau” perlahan telah berganti dengan “jemarimu harimaumu”. Penyampaian gagasan ataupun kritik yang ditujukan kepada sesorang atau pemerintah kadang kala tersampaikan melalui diksi-diksi yang kurang tepat. Akibatnya, kritikan tersebut berujung pada pada pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Olehnya itu, sejumlah orang harus berurusan dengan hukum karena kekurangcermatan menggunakan jemari.
Ada berbagai cara yang dapat digunakan untuk menyampaikan, mengungkapkan, dan menuangkan kritik kepada orang lain. Salah satunya yakni melalui karya sastra berbentuk pantun. Jika pada masa terdahulu pantun hanya digunakan oleh masyarakat umum untuk hal-hal yang sifatnya hiburan, maka pada akhir-akhir ini kita menyaksikan banyak orang termasuk di dalamnya politisi dan elite di negeri ini yang menambahkan pantun ke dalam naskah pidato resminya. Kita masih mengingat beberapa waktu lalu, Ketua MPR RI menyisipkan beberapa bait pantun dalam pidatonya. Pantun tersebut tidak hanya memberikan pesan-pesan tertentu, tetapi dapat mengubah suasana menjadi lebih santai.
Pantun adalah bentuk tradisi lisan yang menyebar di hampir setiap daerah di Nusantara. Pantun sangat berkembang terutama di suatu daerah yang memiliki penutur berbahasa Melayu. Pantun diikat oleh beberapa aturan yang harus dipenuhi. Beberapa aturan pembentukan pantun, misalnya terdiri atas empat baris dalam setiap baitnya, baris 1 dan 2 merupakan sampiran dan baris 3 dan 4 merupakan isi. Selain itu pantun pun harus memiliki bunyi yang enak dan teratur didengar. Pantun dapat menjangkau semua aspek kehidupan manusia jika dicermati berdasarkan isi dan maknanya.
Pantun dapat digunakan untuk menyampaikan kritik secara cerdas, santun, elegan, dan santai. Sebagai salah satu bentuk sastra, pantun dapat digunakan sebagai sarana menyampaikan kritik sosial. Pantun merupakan salah satu bentuk puisi lama yang paling akrab dengan masyarakat dibandingkan dengan bentuk puisi lama yang lain. Pantun menjadi sarana yang efektif yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Pantun dapat digunakan sebagai alat komunikasi, untuk menyisipkan nasihat atau wejangan atau bahkan untuk menyampaikan kritik yang kritis sekalipun. Pantun dapat dimanfaatkan dalam berbagai kesempatan dan disampaikan dalam berbagai waktu, dalam kegiatan apa pun, dan dilakukan oleh siapa pun juga.
Pantun adalah jenis sastra yang terlihat sangat sederhana, tetapi sesungguhnya mencerminkan kecerdasan dan kreativitas pembuatnya. Penyusun pantun harus membuat sampiran dan isi yang keduanya sama sekali tidak berkaitan. Ciri utama pantun adalah bentuknya yang dalam setiap baitnya terdiri atas empat larik (baris) dengan pola persajakan a-b-a-b atau a-a-a-a. Dua larik pertama disebut sampiran, dua larik berikutnya disebut isi.
Penyampaian kritik saat ini diperlukan cara-cara efektif. Mengungkapkan kritik tidak hanya dilakukan melalui aksi unjuk rasa. Terlebih lagi selama ini unjuk rasa yang banyak terjadi sering berujung pada tindakan anarkis yang justru akan menimbulkan masalah baru yang berkepanjangan. Sementara itu, menyampaikan kritik dan saran melalui kegiatan menulis, mencipta, dan melantunkan pantun nyatanya memiliki lebih banyak manfaat.
Menciptakan pantun tidak hanya terkait dengan pesan apa yang ingin disampaikan, tetapi juga terkait dengan melewati satu proses kreatif yakni memilih dan menyusun kata, menyelaraskan makna dan bunyi, serta merangkum menjadi satu bait pantun. Jika metode atau cara menyampaikan gagasan, pendapat, dan kritik dapat dilakukan dengan cara-cara yang santun, tentunya akan berdampak baik pula pada kenyamanan orang lain.