PUNAH BAHASA, PUNAH BUDAYA

Asrif

Belakangan ini muncul kekhawatiran banyak kalangan akan kepunahan bahasa-bahasa lokal yang ada di Indonesia. Para akademisi, peneliti, dan pemerhati budaya di mimbar-mimbar akademik semakin nyaring menyuarakan perlunya tindakan segera untuk melestarikan bahasa lokal. Sejumlah pemerintah daerah, satu per satu bergerak melindungi bahasa lokal dengan menerbitkan perda untuk melindungi bahasa yang juga disebut bahasa ibu itu. Demikian pula halnya media massa, seperti koran Kompas (terbaru pada tanggal 26 Januari 2019), yang berulang kali memberitakan sejumlah bahasa-bahasa lokal di Indonesia yang terancam punah.

Mengapa bahasa lokal harus dilestarikan? Pertanyaan seperti itu acapkali disampaikan oleh sejumlah kalangan dalam berbagai diskusi. Untuk menjawab pertanyaan itu, saya mengutip pernyataan Raja Negeri Hitu Lama (Bapak Salhana Pelu, S.Sos.), yakni “Punah Bahasa, Punah Budaya”. Pernyataan itu disampaikan oleh Bapak Salhana Pelu pada acara revitalisasi bahasa Hitu pada tahun 2016.

Pernyataan Raja Negeri Hitu Lama (Pulau Ambon, Maluku) di atas mengandung pesan yang sangat kuat, yakni bahasa merupakan “rumah” kebudayaan. Bahasa diposisikan sebagai tempat berhimpunnya seluruh kebudayaan lokal suatu masyarakat. Kebudayaan dikonstruksi dan dicipta dengan memanfaatkan seperangkat bahasa. Selanjutnya, kebudayaan itu diekspresikan juga melalui perantara bahasa. Dengan demikian, hubungan antara kebudayaan lokal dan bahasa lokal menjadi sangat padu dan kuat. Budaya dan bahasa akan selalu berjalan beriringan.

Kepaduan dan kekuatan hubungan antara budaya lokal dan bahasa lokal itulah yang menjadikan budaya membutuhkan bahasa untuk tumbuh bersama-sama. Bahasa sebagai pilar yang membangun budaya sangat menentukan kekukuhan budaya. Artinya, jika bahasa yang menopang budaya itu memudar, budaya juga akan memudar. Sebaliknya, jika bahasa sebagai penopang budaya masih kuat, budaya tersebut akan menunjukkan kebertahanannya di tengah-tengah masyarakat pemiliknya.

Bapak Salhana Pelu tampaknya sangat memahami relasi budaya dan bahasa. Raja yang memiliki wilayah adat di bagian utara Pulau Ambon itu menyadari perlunya melestarikan bahasa lokal. Bahasa lokal di Negeri Hitu Lama diupayakan untuk tetap terjaga. Generasi muda di Negeri Hitu Lama menjadi fokus pelestarian bahasa lokal. Generasi muda diupayakan untuk tetap menjadi penutur aktif di negeri itu. Penguasa negeri itu menyadari bahwa generasi muda menjadi pelanjut pelestarian bahasa Hitu.

Selain di Negeri Hitu Lama, pelestarian bahasa lokal dilakukan oleh sejumlah negeri adat di Maluku. Di Kabupaten Maluku Tengah, misalnya, upaya pelestarian bahasa lokal tengah berjalan pada sejumlah negeri, seperti Negeri Pelauw (Pulau Haruku), Negeri Haruku (Pulau Haruku), Negeri Tananahu (Pulau Seram), Negeri Wakasihu (Pulau Ambon), Negeri Waru (Pulau Seram), Negeri Saleman (Pulau Seram), Negeri Sepa (Pulau Seram), Dusun Yalahatan (Pulau Seram). Di Kabupaten Maluku Barat Daya, pelestarian bahasa lokal sedang berjalan di Pulau Kisar tepatnya di Desa Oirata Timur dan Desa Oirata Barat. Gerakan serupa juga dikumandangkan oleh Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara dan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Tanimbar.

Menguatnya upaya pelestarian bahasa lokal menunjukkan semakin menguatnya kepedulian terhadap kebudayaan. Masyarakat pemilik bahasa semakin menyadari bahwa bahasa bukan sekadar sarana komunikasi. Lebih dari itu, bahasa lokal merupakan laboratorium kebudayaan lokal, merupakan rahim kebudayaan itu sendiri. Bahasa lokal kembali ditempatkan sebagai jati diri, identitas, dan penyatu masyarakat pemakainya. Masyarakat yang memiliki ikatan bahasa yang sama dengan sendirinya akan menciptakan satu ikatan emosional. Satu ikatan kolektif sebagai satu kesatuan yang seidentitas. Munculnya kesadaran kolektif seperti itu pada akhirnya melahirkan upaya bersama untuk melestarikan bahasa.

Apresiasi patut ditujukan kepada pimpinan masyarakat adat (raja/kepala desa) dan pemerintah daerah yang memiliki komitmen untuk melestarikan bahasa lokal. Kepedulian mereka terhadap pelestarian bahasa setempat akan berdampak kepada sikap positif masyarakat terhadap bahasa lokal itu sendiri. Kuasa dan kebijakan yang mereka miliki menjadi modal besar untuk menghindarkan bahasa lokal dari ancaman kepunahan.

Pelestarian bahasa merupakan pintu utama pemertahanan kebudayaan. Bahasa yang tetap lestari akan menjadi vitamin, suplemen, dan energi positif bagi pemertahanan dan ketahanan budaya. Berbagai bentuk kebudayaan akan tetap terpahami dengan baik jika bahasa kebudayaan itu masih tetap hidup di tengah-tengah masyarakat pemiliknya. Sebaliknya, bahasa perantara kebudayaan itu telah punah maka substansi, pokok, dan inti kebudayaan itu akan memudar yang pada akhirnya akan bermuara pada kepunahan kebudayaan itu sendiri. Bentuk kebudayaan yang kehilangan bahasa di dalamnya hanya akan menjadi gelaran seremonial tanpa kekuatan makna.

Pernyataan Raja Negeri Hitu Lama yang menyatakan “punah bahasa, punah budaya” perlu dimaknai sebagai ajakan untuk kembali melestarikan dan meninggikan peran dan fungsi bahasa lokal. Bahasa harus tetap lestari dan diberi ruang hidup pada ranah-ranah bahasa lokal itu. Ia harus tetap menjadi utama di tengah-tengah masyarakat pemiliknya agar identitas, jati diri, dan nilai-nilai kultural di dalam bahasa itu tetap menjadi pedoman, pengikat, dan penyatu masyarakat pemiliknya.



Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

18 + fourteen =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top