VIRUS KORONA DAN TAKHAYUL “TELUR REBUS”

Asrif

Kantor Bahasa Maluku

Virus Korona (Covid-19) yang tengah mewabah di dunia (termasuk Indonesia) benar-benar memusingkan banyak pihak. Pemerintah, pemuka agama, tokoh masyarakat, dan aparat keamanan bahu-membahu melawan wabah mematikan tersebut. Dampak sosialnya yakni kota-kota dan perkampungan terasa seperti kota mati. Tampak jalanan menjadi lengang, pertokoan sepi, layanan perkantoran terbatas, dan sebagainya. Sebagian besar masyarakat memilih berdiam diri di rumah untuk memutus wabah virus yang tak terlihat dengan mata itu.

Sejak awal tahun 2020, masyarakat dunia hampir tak berdaya menghadapi virus Korona. Negara-negara maju sekalipun seperti China, Amerika Serikat, Itali, dan Korea, tak luput dari wabah virus Korona. Media massa melaporkan per Senin pagi, 30 Maret 2020, tercatat 720.480 terinfeksi di seluruh dunia, 33.918 tewas, dan 150.920 sembuh (Pikiran Rakyat, 30 Maret 2020). Untuk kasus di Indonesia, media massa melaporkan terdapat 1.285 kasus, 114 meninggal, dan 64 sembuh (CNN Indonesia, 30 Maret 2020). Jumlah tersebut tentu sangat fantastis.

Di tengah pergulatan keras melawan wabah Korona, muncul beberapa pemikiran dan sikap sekelompok masyarakat yang cenderung irasional. Di Kota Ambon, tersebar kabar untuk menyantap telur rebus yang berguna untuk menangkal virus Korona.

Hanya dalam beberapa jam, kabar tersebut menyebar ke seantero masyarakat Indonesia bagian timur, seperti Sulawesi, Maluku, Papua, dan mungkin juga hingga Nusa Tenggara Timur. Tidak ada yang tahu, dari siapa kabar menyantap telur rebus itu bermula. Yang pasti, kabar tersebut menyebar dengan sangat cepat.

Kabar telur rebus di atas tidak berdasar, juga tidak rasional. Kabar seperti itu dapat disebut sebagai takhayul. Kata takhayul dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti 1) (sesuatu yang) hanya ada dalam khayalan belaka, dan 2) kepercayaan kepada sesuatu yang dianggap ada atau sakti, tetapi sebenarnya tidak ada atau tidak sakti.

Sesuai dengan kedua arti tersebut, takhayul merupakan informasi irasional. Takhayul memberi pesan yang sulit dicerna dengan akal sehat. Itulah yang terjadi pada takhayul telur rebus.

Takhayul telur rebus konon bermula dari seorang bayi yang baru lahir. Bayi tersebut konon sudah mampu berbicara. Ia meminta kepada ibunya agar merebus telur dan segera memakannya dengan batas waktu pukul 24.00, Rabu, 25 Maret 2020. Jika mengikuti saran itu, semua orang yang melakukannya akan terhindar dari virus Korona.

Efek takhayul telur rebus sangat meluas. Di tengah malam, masyarakat sibuk mencari telur dan sibuk saling menghubungi untuk melakukan hal yang sama. Maka, terjadilah aktivitas manusia yang tiba-tiba riuh di tengah malam: saling menelepon, saling membangunkan, mencari telur, merebus, dan rengekan anak-anak yang terbangun dari tidurnya. Kios-kios yang semula sudah tutup, didatangi warga untuk membeli telur. Sungguh tengah malam yang riuh.

Tersebarnya takhayul telur rebus serupa dengan merebaknya sejumlah takhayul saat masyarakat Pulau Ambon diguncang gempa bumi, beberapa bulan lalu. Pada bencana atau musibah besar, takhayul disebarkan dengan tujuan untuk memberi solusi. Semakin lama suatu musibah berlangsung, maka akan semakin banyak takhayul yang hadir ke tengah-tengah masyarakat.

Takhayul sangat kontraproduktif dengan imbauan tenaga kesehatan dan pemerintah. Memakan telur rebus tidak memiliki kelogisan apapun dengan pencegahan virus Korona. Tidak ada jaminan dan bukti bahwa seseorang yang telah memakan telur rebus sebagaimana takhayul yang beredar terhindar dari virus. Sebaliknya, dampak takhayul justru menambah keresahan masyarakat.

Takhayul biasanya diproduksi dan disebar pada saat-saat seperti sekarang ini, sedang terjadi wabah penyakit. Masyarakat yang putus asa, beralih memproduksi dan memercayai takhayul-takhayul. Semakin lama masyarakat mengalami tekanan psikologi, akan semakin banyak kepercayaan pada takhayul. Pada situasi seperti itu, “orang pintar” akan bermunculan dan aktif memproduksi dan menyebarkan takhayul.

Harus diakui, sebagian masyarakat Indonesia masih akrab dengan takhayul. Pejabat, orang kaya, terpelajar, dan sebagainya, kadangkala masih meyakini hal-hal takhayul. Sebabnya antara lain rendahnya tingkat pendidikan dan juga nilai keimanan (agama) seseorang. Selain tentu juga menyangkut psikologis seseorang. Semakin sehat psikologi, semakin jauh dari perbuatan takhayul. Sebaliknya, semakin sakit psikologi seseorang, maka takhayul akan semakin dekat padanya.

Wabah virus Korona adalah fakta yang harus dihadapi dengan langkah-langkah tepat yang rasional. Negara China dan Korea Selatan merupakan dua negara yang mampu menekan dengan hebat persebaran wabah virus Korona. Untuk itu, langkah yang terbaik saat ini yakni mengikuti anjuran tenaga kesehatan, pemerintah, pemuka agama, tokoh-tokoh masyarakat, dan pihak lainnya.

Wabah virus Korona adalah fakta. Hadapi dengan langkah-langkah rasional, langkah yang wajar. Hindari segala takhayul.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

15 − 9 =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top