Evi Olivia Kumbangsila
Kantor Bahasa Maluku
Pada tulisan sebelumnya, saya membahas tentang pengaruh frasa Sosial Distancing dalam kehidupan sosial masyarakat khususnya masyarakat Maluku. Salah satu sisi sosial yang dipengaruhi oleh frasa ini ialah budaya orang Maluku. Beberapa kebiasaan atau tradisi orang maluku yang merupakan budaya sederhana, tetapi penuh makna. Pertama, saat ronda hari raya dan bajalang orang sidi deng sarani. Kedua tradisi ini terlewatkan begitu saja. Semua jalan, gang, dan rumah-rumah tidak lagi ramai didatangi saudara, kerabat, teman, apalagi anak-anak dengan wajah asing karena bukan anak tetangga atau anak kompleks. Kedua, mendoakan orang saat bersin. Social Distancing secara tidak langsung mengubah tradisi ini. kata-kata doa untuk keselamatan orang berubah menjadi hujatan dan umpatan. Ketiga, tradisi berpelukan saat lama tidak bersemuka dengan orang-orang terdekat. Jelas Social Distancing mewajibkan menjaga jarak 1-2 meter. Jangankan berpelukan, berjabat tangan atau berdiri kurang dari 1 meter juga dilarang. Namun di antara pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh frasa ini, ternyata ada juga pengaruh positif. Pengaruh positif frasa ini ialah tampa garang kembali dihidupkan. Makan bersama di meja makan sambil mendengarkan nasihat orang tua secara tidak langsung dihidupkan kembali karena frasa ini membatasi aktivitas di luar rumah sehingga secara tidak langsung menambah waktu keluarga untuk bersama.
Tulisan saya berikut ini membahas bagian kedua dari pengaruh frasa Social Distancing. Frasa ini bukan hanya memengaruhi lini budaya masyarakat Maluku, tetapi juga penggunaan bahasa masyarakat Maluku.
Pemberlakuan Social Distancing secara tidak langsung juga memengaruhi penggunaan bahasa antarmasyarakat. Misalnya, seperti yang telah saya torehkan di tulisan sebelumnya. Gantinya ucapan selamat saat seseorang bersin, orang tidak segan-segan mengucapkan kata-kata hujatan atau umpatan. Social Distancing yang berlangsung cukup lama tentu saja mengurangi waktu kumpul bersama dengan komunitas, tetangga, apalagi pertemuan dengan orang banyak di tempat-tempat ramai, seperti pasar, swalayan, dan mal. Kurangnya waktu untuk duduk berbincang dan menuangkan kecemasan dengan orang lain juga memengaruhi mental seseorang. Adanya tetangga atau teman bicara tentu saja memengaruhi tingkat kecemasan seseorang. Semakin lama seseorang berlindung dalam sebuah ruangan tanpa berkomunikasi lancar dengan orang lain membuatnya semakin khawatir atau cemas. Hal ini juga dapat menimbulkan kecurigaan antara satu dengan yang lain saat bertemu.
Dalam kondisi pandemi, perasaan curiga ini membuat seseorang tidak segan-segan mengatai atau mengumpat orang lain jika mereka tidak menggunakan APD (Alat Pelindung Diri), seperti masker saat berkeliaran di luar rumah. Apalagi saat seseorang menunjukkan salah satu gejala Covid-19, seperti batuk atau bersin. Orang tidak dapat menahan kata-kata negatif dari mulut mereka. Bahasa-bahasa teguran yang diucapkan tidak lagi menggunakan nada-nada rendah, tetapi nada tinggi dengan penekanan suara. Kondisi seperti ini juga dapat menimbulkan pertengkaran. Kalimat-kalimat nasihat dimaknai teguran, sindiran, dan tuduhan. Bahasa yang digunakan pun tidak lagi memandang status orang. lajang kah, menikah kah, duda kah, janda kah, yatim kah? Kalimat-kalimat itu juga tidak memandang suku dan ras, tingkat pendidikan, golongan. Kata-kata yang terucap pun tidak memandang umur, orang yang lebih tua kah, lebih muda kah? Mungkin juga untuk sesaat orang mengacuhkan saksi penggunaan kata yang bisa mengikat mereka dengan KUHP pasal 310 tentang Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik.
Selain bahasa oral yang jelas dapat menyakiti orang lain, bahasa tubuh pun tidak kalah gencar mereka tunjukkan untuk orang lain. Bahasa-bahasa tubuh, seperti tiba-tiba memalingkan wajah, melihat dengan ekor mata, menaruh kedua tangan di depan dada (seperti melindungi diri dari sentuhan), mengerutkan kening, dan menunjukkan wajah kesal saat ada yang terlalu dekat, merupakan dampak dari frasa Social Distancing. Sebelum pandemi ini terjadi, setiap orang akan selalu berusaha menjaga perasaan orang lain. Bahasa-bahasa tubuh yang dapat menimbulkan kesalahpahaman berusaha dikurangi. Masyarakat Maluku khususnya juga menyadari bahwa bahasa tubuh juga dapat menjadikan kawan sebagai lawan.
Berbeda dengan kondisi sekarang ini. Dalam kondisi seperti ini bahasa tubuh seperti itu dapat dipahami oleh sebagian orang walaupun ada juga orang yang tidak dapat menerima perlakuan seperti itu. Sayangnya, Social Distancing membuat kata-kata yang menyakitkan atau bahasa tubuh yang menyinggung perasaan orang lain, sekali lagi, diungkapkan tanpa memandang status, umur, tingkat pendidikan, dan pekerjaan.
Social Distancing merupakan sebuah frasa yang memengaruhi kehidupan sosial masyarakat, khususnya masyarakat Maluku. Walaupun frasa ini tidak bertujuan untuk membuat jarak sosial, tetapi faktanya jarak sosial itu telah terlihat. Beberapa para ahli berpendapat bahwa frasa ini hanya untuk membuat jarak fisik tanpa memengaruhi kontak sosial karena ada media sosial dan posel untuk tetap menjaga hubungan sosial. Namun, ada juga para ahli, seperti Daniel Aldrich, Profesor Ilmu Politik dan Kebijakan Publik di Notheastern University, yang berpendapat bahwa upaya untuk memperlambat penyebaran Virus Corona harusnya lewat penguatan ikatan sosial dengan tetap menjaga jarak fisik. Memang benar ikatan sosial itu dapat dijalin dengan memanfaatkan teknologi, berupa media sosial, dan ponsel. Namun, bagaimana dengan lansia yang tidak dapat memanfaatkan teknologi untuk mempertahankan ikatan sosial?
Faktanya ialah Social Distancing berujung pada kesendirian, tetapi kesendirian itu membuat orang lain nyaman. Social Distancing itu berujung pada keegoisan, tetapi keegoisan itu membuat orang lain bahagia. Social Distancing itu berujung pada keakuan, tetapi keakuan itu membuat orang lain sehat.
“Tado di rumah, jang pardidu, par samua pung bae.” Amatoo.