Evi Olivia Kumbangsila
Kantor Bahasa Maluku
Sepintas ketika membaca judul ini, Anda pasti mengira isi tulisan ini pastilah puisi atau sajak kesedihan di tengah pandemi Covid-19. Namun, inilah fakta yang sebenarnya terjadi saat Covid-19 merajalela dari Negeri Pamangsang sampai negara +62, sebuah julukan di media sosial untuk Indonesia. Covid-19 atau sebutan orang awam virus corona pertama kali teridentifikasi di Wuhan, Ibu Kota Provinsi Hubei, Tiongkok. Kota ini merupakan kota terpadat penduduknya di Tiongkok. Wabah Covid-19 pertama kali menghampiri kota ini pada 23 Desember 2019 Berdasarkan cnbcindonesia.com, 18 April 2020, di Wuhan ada 50.333 dikonfirmasi terinfeksi, sedangkan yang meninggal dunia 3.869. Pada akhirnya kota ini dilockdown (karantina wilayah) selama 76 hari (hampir 3 bulan) dan berakhir pada tanggal 8 April 2020.
Perkembangan positif yang dialami kota Wuhan dan tentu saja beberapa kota di Cina membuat negara ini tidak lagi masuk dalam daftar 10 negara dengan kasus Covid-19 terbanyak di dunia. Kompas.com menuliskan sepuluh negara dengan kasus Covid-19 terbanyak berdasarkan data Wordometer, yaitu Amerika Serikat diperingkat pertama, Spanyol, Italia, Inggris, Perancis, Jerman, Turki, Rusia, Iran, dan Brazil di posisi kesepuluh. Namun, beberapa media daring mengabarkan bahwa setelah Cina menarik status karantina wilayah (lockdown) angka kematian pasien Virus Corona di Kota Wuhan melonjak drastis pada Jumat, 17 April 2020. Mengapa?
Indonesia hingga saat ini belum diberlakukan status karantina wilayah seperti negara-negara lainnya, tetapi beberapa status standar telah diberlakukan. PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 yang ditandatangani oleh presiden pada Selasa, 31 Maret 2020 telah diterapkan di delapan belas wilayah seperti, DKI Jakarta, sejak 10 April 2020, Kota Bogor, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kota Depok, Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Sumendang, Kota Pekanbaru, Kota Tangerang Selatan, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kota Makassar, Kota Tegal. Bagaimana dengan Maluku? Maluku masih diberlakukan PSBR (Pembatasan Sosial Berskala Regional). Namun, akhir-akhir ini, Walikota Ambon meminta pemerintah daerah untuk mengusulkan status menjadi PSBB.
Sebelum bermunculan berbagai istilah dalam bentuk frasa atau akronim, seperti Lockdown (karantina wilayah), PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), PSBR (Pembatasan Sosial Berskala Regional), semua negara termasuk Indonesia memberlakukan pencegahan awal dengan sebuah frasa sederhana, Social Distancing dan Physical Distancing. Sebuah frasa sederhana tetapi memiliki pengaruh yang sangat luas. Jika frasa ini diterapkan dengan penuh rasa tanggung jawab, tingkat kematian bahkan pemberlakuan status-status seperti PSBB, PSBR, atau karantina wilayah tidak perlu dilakukan.
Sejak awal Pandemi Covid-19 terjadi, social distancing merupakan frasa pertama yang digunakan untuk mencegah penyebaran Covid-19. Namun, pada tanggal 20 Maret 2020, WHO resmi mengganti frasa itu dengan Physical Distancing. Mengapa? Frasa Social Distancing memiliki pengaruh yang lebih kuat dan berdampak pada kehidupan sosial masyarakat. Meskipun frasa itu telah diganti dengan physical distancing, pengaruh terhadap kehidupan sosial tidak lagi teralihkan.
Social distancing dalam terjemahan bahasa Indonesia ialah pembatasan sosial. Maknanya sempat menjadi trending topic di media-media sosial. Apakah harus menjaga jarak saja kah atau menjaga hubungan sosial? Penggunaan kata sosial membuat makna frasa ini lebih luas dan tentu saja memiliki pengaruh yang lebih kuat. Beberapa ahli mengemukakan pendapat mereka dan akhirnya terjadi pro dan kontra. Benar, banyak orang akhirnya paham tentang makna pembatasan sosial atau Social Distancing, tetapi mengubah pengaruhnya terhadap kehidupan sosial masyarakat tidak lagi terasa karena pengaruhnya telah mengakar. Social Distancing atau Pembatasan Sosial terlanjur mengubah beberapa kebiasaan dan tradisi suatu wilayah, khususnya di Maluku. Faktanya, Social Distancing atau pembatasan sosial bukan hanya membuat jarak fisik antarorang, tetapi jarak sosial juga terjadi di Kota Ambon. Frasa ini telah mengubah beberapa aspek kehidupan sosial masyarakat Maluku.
Beberapa tradisi atau kebiasaan orang Maluku tiba-tiba terpengaruh oleh frasa social distancing. Kebiasaan-kebiasaan itu seperti, ronda hari raya, khusus Hari Raya Idul Fitri dan Natal, dan bajalang orang sidi deng sarani. Idul Fitri merupakan salah satu hari raya yang akan terlewati di masa Covid-19. Tradisi ronda hari raya di Maluku dilandasi rasa Pela-Gandong. Saat itu, basudara Nasarani berkunjung ke basudara Salam, bersilahturahmi, menikmati hidangan Idul Fitri yang khas, ketupat dan opor. Namun, yang lebih menarik ialah pertemuan itu tidak menggunakan undangan. Semua tamu yang datang bukan karena ada undangan, tetapi karena rasa Pela-Gandong. Momen ronda hari raya itu juga dimeriahkan dengan kedatangan para tamu cilik (anak-anak) yang entah berentah daerah tempat tinggal mereka. Mereka disuguhkan dengan minuman, makanan ringan, dan uang yang sesuai tradisi telah disiapkan oleh tuan rumah. Tradisi itu pun akan berubah karena kondisi pandemi Covid-19 yang mengharuskan pemberlakuan social distancing. Jadi, setiap rumah akan sepi dan jalan-jalan pun akan sunyi. Setiap gang yang dilalui orang banyak sambil bersalaman dan mengucapkan selamat pun akan sunyi.
Tradisi yang lain ialah mendoakan keselamatan seseorang saat dia bersin. Orang itu akan disahuti dengan kata salamat, yang artinya semoga selamat, saat dia bersin. Namun pembatasan sosial membuat para pelaku budaya sederhana ini tidak lagi memberikan doa bahkan bersin merupakan ketakutan sebagian besar orang karena salah satu cara penularan Covid-19 ialah dengan droplets atau percikan ludah saat seseorang bersin atau batuk. Parahnya lagi, orang tidak segan-segan mengganti kata-kata doa itu dengan hujatan atau umpatan. Selain itu, tanpa menjaga perasaan orang yang bersin, mereka secara spontan memalingkan wajah atau menutupi wajah mereka dengan tangan.
Tradisi berpelukan saat bertemu dengan saudara atau teman setelah sekian lama tidak bersua. Sebagian daerah atau negara juga memiliki tradisi yang sama bahkan ada yang bukan berpelukan, tetapi berciuman. Tradisi ini terancam hilang (prediksi penulis) karena pengaruh Social Distancing dan trauma pascaCovid-19.
Namun, Social Distancing bukan hanya memberikan pengaruh negatif terhadap budaya yang telah lama berkembang di tengah masyarakat Maluku, tetapi juga pengaruh positif. Salah satu tradisi yang mendapat pengaruh positif dari frasa ini ialah tampa garang. Selama masa Covid-19 pemerintah membatasi aktivitas masyarakat di luar rumah. Bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan ibadah dari rumah. Akhirnya, keluarga menjadi lengkap dan lebih banyak meluangkan waktu bersama di rumah. Tentu saja, tradisi tampa garang yang mulai pudar karena perkembangan zaman kembali dihidupkan. Isi keluarga seperti papa, mama, adik, dan kakak pastinya lebih sering bersama dari pagi hingga senja, saat makan pagi hingga makan malam. Tampa garang atau meja makan itu akhirnya lengkap terisi oleh anggota keluarga. Tidak lagi makan di depan TV atau makan sendiri-sendiri, tetapi duduk bersama raci tampa garang atau menikmati hidangan sambil mendengarkan nasihat orang tua.
Pembahasan ini akan bersambung pada tulisan berikutnya. “tado di rumah, jang pardidu, par samua pung bae” Amatooo.