Peran Media Elektronik dan Daring dalam Perkembangan Sastra Indonesia

Helmina Kastanya

Kantor Bahasa Maluku

Media daring turut berperan dalam perkembangan sastra Indonesia modern. Menurut para ahli, sastra Indonesia modern lahir sekitar tahun 1920-an dengan terbitnya novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar. Namun, ada pula yang menyebutkan bahwa karya M. Yamin yang berupa sajak Tanah Air merupakan pencetus lahirnya sastra Indonesia modern. Sejak itu, begitu banyak sastrawan Indonesia modern mulai menciptakan karya-karyanya. Karya sastra pada zaman dulu hanya ditemukan oleh pembaca melalui media cetak. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, teknologi pun makin berkembang sehingga banyak karya sastra Indonesia modern yang dapat ditemukan melalui media elektronik maupun daring.

Dari segi pembaca maupun penulis, hal itu memberikan dampak positif  maupun negatif. Dampak positif bagi pembaca adalah adanya kemudahan bagi pembaca untuk mengakses karya sastra melalui media elektronik maupun daring tanpa harus mengeluarkan biaya untuk membeli buku-buku puisi, cerpen, maupun novel. Pembaca sudah dapat menikmati beragam karya sastra dengan menggunakan gawai, laptop, dan internet. Bagi pengarang, perkembangan ini menjadi ruang untuk berkarya dan menghasilkan lebih banyak karya sastra tanpa harus membayar jasa penerbit. Bahkan, sebagian karya yang dipublikasikan tidak melewati proses seleksi yang ketat. Selain itu, karya-karya sastra dari  pengarang besar tempo dulu yang namanya dikenal sebagai tokoh sastrawan Indonesia kini dapat ditemukan pada media elektronik dan daring. Sayangnya, berdasarkan pengamatan yang dilakukan penulis, ada dampak negatif dari hadirnya media elektronik dan daring terhadap perkembangan sastra Indonesia. Dampaknya adalah adanya karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang tanpa melewati tahap seleksi yang ketat mengakibatkan karya sastra yang dihasilkan tidak memiliki kualitas yang baik dan layak untuk dipublikasikan.

Media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan sebagainya merupakan media daring yang seakan memberi keuntungan sekaligus menjebak pengarang maupun pembaca. Suguhan karya sastra melalui media elektronik dan daring membuat pembaca lebih banyak membaca karya sastra dari pengarang baru dan  jarang bersentuhan dengan karya dari para pengarang dan penyair besar seperti prosa dari pengarang Merari Siregar, Mochtar Lubis, Nh. Dini atau puisi dari Sutardji Calzoum Bakhri, W.S. Rendra, Sapardi Djoko Damono, Taufik Ismail, Khalil Gibran, Goenawan Muhammad, Sitor Situmorang, Amir Hamzah, Abdul Hadi WM, Ajip Rosidi, Zawawi Imron, Joko Pinurbo, Mustofa Bisri, dan lainnya. Padahal, para sastrawan besar itu berhasil mendapatkan nama besarnya melalui karya sastra mereka. Tentunya karya yang mereka hasilkan tidak diragukan kualitasnya. Hal itu tidak berarti bahwa karya pengarang baru adalah karya yang tidak berkualitas. Banyak juga karya pengarang baru yang berkualitas dan dipublikasikan melalui media daring. Karya berkualitas seperti ini  tentunya berperan dalam perkembangan sastra Indonesia.

Beberapa kajian terdahulu dapat membuktikan hal tersebut. Salah satunya adalah karya  Soni Farid. Soni Farid melalui karya puisi Sonian telah memberikan warna baru pada perpuisian Indonesia modern. Sonian  cukup mengambil peran penting dalam media elektronik maupun daring melalui sayir-syair puisi.  Soni Farid merupakan penggagas puisi sonian yang dipublikasikan di media sosial Facebook. Soni tidak membutuhkan waktu lama untuk memublikasi puisinya. Soni membuat grup pada media sosial Facebook dan tidak membutuhkan waktu lama agar karyanya dinikmati oleh pembaca atau penikmat puisi. Soni Farid memanfaatkan media sosial untuk untuk memublikasikan puisi-puisinya. Sonian merupakan bentuk puisi baru sepanjang empat larik dengan pola 6-5-4-3 suku kata per larik. Para kreator menggunakan majas, imajinasi, dan simbol. Sonian dapat dianggap semacam puisi yang ringkas dan padat. Puisi sonian ini memberikan pesan dan makna yang luas dengan menggunakan kata-kata yang ringkas dan makin mengerucut ke bawah. Puisi sonian ini dianggap memiliki karakter tersendiri dari genre puisi Indonesia. Puisi sonian diciptakan dengan ideologi bahwa penyampaian pesan melalui puisi harus fokus. Syair puisi yang dibuat makin mengerucut ke bawah merupakan pola penciptaan puisi-puisi sonian  yang  memiliki arti bahwa setiap pemaknaan puisi harus makin fokus. Contoh puisi sonian adalah sebagai berikut.

Dusta

Seorang lelaki

Mengenyam Dusta

Pada mata

Waspada

(28 Januari 2015)

Kenangan

Kenangan mengambang

Pada pelupuk

Dipilukan

Gerimis

(27 Januari 2015)

Selain puisi sonian, ada juga kumpulan puisi yang dimuat di media elektronik maupun daring kemudian dicetak, yaitu puisi cyberGraffiti Gratitude”. Seperti yang dikemukakan oleh Kuswinarto (2009), buku itu telah dicetak pada April tahun 2001. Buku ini merupakan antologi puisi cyber. Beberapa pakar menganggap bahwa Graffiti Gratitude bukanlah puisi cyber karena telah dipublikasikan dalam bentuk cetak, meskipun isi dari antologi itu merupakan puisi-puisi yang pernah dipublikasikan di media daring.

Dengan demikian, secara umum peran media elektronik dan daring dalam perkembangan puisi, antara lain (1) media elektronik dan daring memberikan kemudahan untuk mengakses karya sastra; (2) media daring menjadi sarana paling ampuh dan cepat untuk menyebarkan informasi kepada masyarakat termasuk menyampaikan karya sastra; (3) karya yang dipublikasikan pada media elektronik dan daring memudahkan penyair/pengarang untuk memublikasikan karya tanpa harus melewati tahap seleksi sehingga tidak jarang ditemukan puisi-puisi dan prosa yang kurang berkualitas; (4) media elektronik dan daring turut mengembangkan karya sastra yang sebelumnya pernah dicetak dalam bentuk buku maupun antologi; dan (5) karya sastra yang dipublikasikan oleh penyair ternama pada masa lampau juga banyak yang telah dipublikasikan kembali dalam bentuk elektronik bahkan daring sehingga mudah untuk ditemukan pembaca.

Satu hal yang harus dipahami oleh pengarang maupun pembaca adalah sastra tidak lahir dari kekosongan. Setiap karya sastra yang dihasilkan dan dibaca adalah hasil imajinasi yang berisi. Pengarang besar adalah mereka yang berhasil memberikan isi dan makna dalam karyanya. Selain itu, pembaca yang cerdas adalah pembaca yang mampu menemukan karya sastra yang berisi.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

one × three =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top