Faradika Darman, S.S.
Kantor Bahasa Maluku
Maluku adalah provinsi kepulauan dan merupakan salah satu provinsi tertua di Indonesia. Sejak dulu, Maluku telah dikenal dunia sebagai daerah penghasil rempah-rempah terutama cengkih dan pala. Tidak hanya dikenal sebagai penghasil rempah-rempah, Maluku juga sudah menjadi daya tarik dunia karena sumber daya pariwisatanya. Daya tarik pariwisata di Maluku tidak kalah dengan beberapa daerah lain di Indonesia.
Sebagai salah satu destinasi wisata di Indonesia, Maluku tidak hanya mencuri perhatian wisatawan domestik, tetapi juga wisatawan asing. Beberapa daerah wisata di Maluku yang cukup terkenal dan sering dikunjungi adalah Banda Neira, Kepulauan Kei, dan Pantai Ora. Banda Neira dan Pantai Ora secara administratif tergabung dalam kawasan Kabupaten Maluku Tengah, sedangkan Kepulauan Kei terdiri atas Kota Tual dan Kabupaten Maluku Tenggara. Masing-masing daerah wisata tersebut memiliki keunikan dan keunggulannya tersendiri. Di samping wisata alam, para wisatawan juga dapat menikmati sensasi wisata sejarah, budaya, dan sebagainya. Kekayaan alam itu adalah potensi ekonomi bagi Provinsi Maluku.
Potensi wisata di tiap daerah di Provinsi Maluku sejatinya harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, baik dari segi peningkatan ekonomi maupun pengenalan identitas daerah. Hal penting lainnya yang harus diperhatikan adalah pengenalan budaya lokal dan identitas keindonesiaan. Daerah wisata tentunya dikunjungi oleh wisatawan domestik juga wisatawan mancanegara atau asing. Oleh karena itu, identitas bangsa Indonesia baiknya tidak disampingkan. Salah satu contohnya adalah penggunaan bahasa. Walaupun sering dikunjungi oleh orang asing, sebuah daerah wisata tidak harus mengubah identitasnya dengan menggunakan bahasa asing. Beberapa contoh baik yang patut dicontoh oleh semua daerah di Indonesia termasuk Maluku adalah Korea, Thailand, dan Tiongkok. Ketiga negara tersebut mampu mengutamakan identitas negaranya melalui penggunaan bahasa negara di ruang publik termasuk di tempat-tempat wisata.
Melirik pada ruang publik daerah wisata di Maluku, penggunaan bahasanya cenderung berbahasa asing. Penggunaan bahasa asing tidak hanya digunakan dalam penamaan tempat tetapi berbagai fasilitas publik seperti kafe, rambu umum/petunjuk jalan, dan menu makanan pun ditemukan dalam bahasa asing. Beberapa contoh yang dapat dilihat sebagai berikut. Di Kepulauan Kei, pintu masuk bandar udara menggunakan bahasa asing. Beberapa nama pantai, penginapan, dan kafe di lokasi wisata semuanya berbahasa asing. Sebut saja Yeanroa Beach, Charitas Cottage, Evelin Cottage, Ngur Bloat Beach, Welcome to Hawang Cave, dan sebagainya. Contoh lain di Pulau Banda. Banda Neira dalam kisah sejarah telah dikunjungi oleh berbagai bangsa. Jauh sebelum Indonesia merdeka, Banda telah sering dikunjungi oleh orang asing. Banyak pengaruh yang diberikan oleh para pendatang. Namun, kehidupan Banda Neira saat ini baiknya tidak terintervensi pada hal-hal yang berbau asing khususnya penggunaan bahasa di ruang-ruang publik. Fakta hari ini yang terjadi di Pulau banda, sebagian besar penamaan tempat tinggal dan nama tempat wisata ditemukan dalam bahasa asing. Sebut saja, Vita Guest House, The Maulana, Allan Bunglow, Malole Beach, beberapa nama rumah makan, dan kafe pun dalam bahasa asing. Kasus serupa juga dapat dilihat di Pantai Ora. Lokasi Pantai Ora yang cukup jauh dari ibu kota kabupaten tidak menjadikan tempat ini tidak terjamah oleh bahasa asing. Nama lokasi dan semua petunjuk arah atau rambu umum menggunakan bahasa asing.
Aturan penggunaan bahasa Indonesia pada ruang publik tidak melarang penggunaan bahasa asing. Namun, posisi atau urutan penggunaannya harus sesuai. Bahasa Indonesia harus diutamakan karena bahasa tidak sekadar alat komunikasi masyarakat atau penutur bahasa Indonesia, tetapi sebagai jati diri dan identitas bangsa. Bagaimana martabat bangsa dapat terjaga? jika daerah-daerah wisata yang selalu kedatangan wisatawan asing sebagian besar menunjukkan terjadinya pergeseran penggunaan bahasa. Fenomena itu menunjukkan bahwa bahasa Indonesia hingga saat ini masih dijajah oleh bahasa asing. Bahasa Indonesia belum merdeka dan mampu menjadi tuan di tanahnya sendiri. Jika hal itu terus dibiarkan, selanjutnya saat berada di tempat umum di Indonesia, kita seolah-olah berada di luar negeri. Keindonesiaan tidak tampak lagi pada ruang-ruang publik di Indonesia. Sebelum hal itu terjadi, perlu dilakukan langkah-langkah nyata dan kerja sama semua pihak.