Helmina Kastanya
Kantor Bahasa Maluku
Saat ini, orang tua membutuhkan kerja keras untuk membentuk karakter anak yang kuat, terutama pada generasi milenial. Karakter yang diharapkan adalah karakter yang mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi tanpa meninggalkan nilai-nilai budaya yang baik dalam kehidupannya. Pembentukan karakter seperti itu sangat diharapkan terjadi di masyarakat dengan kondisi perkembangan teknologi yang makin pesat. Kondisi tersebut membuat generasi milenial memiliki kemudahan untuk mengakses berbagai pengetahuan.
Teknologi memudahkan anak untuk berinteraksi dengan sesama dan belajar jarak jauh. Terlebih lagi dengan adanya pandemi Covid-19, sebagian besar anak melakukan praktik belajar dari rumah dengan menggunakan fasilitas internet, yaitu melalui zoom meet, google meet, classroom, dan sebagainya. Bahkan sebelum masa Covid-19 pun, anak telah dimudahkan untuk belajar melalui aplikasi yang ada pada komputer maupun gawai seperti aplikasi Ruang Guru. Hal itu merupakan bentuk positif yang memudahkan interaksi pembelajaran anak, sehingga anak dapat mandiri dalam mengeskplorasi pengetahuannya. Orang tua pun tidak terlalu disibukkan lagi dengan mengajarkan anak di rumah. Semuanya sudah tersedia melalui aplikasi. Anak dapat langsung berkonsultasi dengan guru saat menghadapi kendala dalam penyelesaian tugas-tugas belajar di rumah. Namun, hal yang tidak dapat dihindari adalah karakter anak pada generasi milenial yang sangat dipengaruhi oleh teknologi itu sendiri.
Di samping suguhan positif internet dalam pembelajaran anak, media daring pun tidak sedikit yang menawarkan pilihan permainan yang membuat anak begitu menikmatinya bahkan menghabiskan sebagian besar waktu belajarnya dengan bermain bersama gawainya. Anak bahkan lupa cara berinteraksi yang baik dengan sesama. Anak cenderung menjadi pribadi yang individualis dan sulit bersosialisasi dengan orang lain. Keasyikan berselancar di dunia maya membuat perilaku dan karakter anak perlahan mengikuti hal-hal yang diamatinya setiap hari. Anak akan meniru perilaku dan kebiasaan yang dilihat melalui internet.
Gambaran di atas merupakan fakta yang kita jumpai di kehidupan sehari-hari. Fakta tersebut merupakan hal serius yang mestinya dilihat sebagai sebuah fenomena sosial yang perlu ditanggapi dengan bijaksana oleh semua kalangan terutama orang tua. Orang tua harus mampu mengawasi dan mengawal anak dengan baik di era ini. Jika tidak demikian, karakter anak akan terbentuk menjadi karakter yang berbeda dengan nilai-nilai budaya yang seharusnya dijunjung tinggi. Salah satu yang dapat dilakukan untuk membuat anak menjadi pribadi yang berkarakter positif sesuai dengan nilai budayanya adalah penerapan tradisi lisan di lingkungannya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI V), tradisi merupakan kebiasaan turun temurun yang masih dijalankan oleh masyarakat. Selanjutnya, Vansina (2014) dalam bukunya yang berjudul Tradisi Lisan sebagai Sejarah, tradisi lisan adalah sebuah versi pada satu masa, sebuah elemen dalam sebuah proses pengembangan lisan yang dimulai oleh komunikasi awal. Komunikasi awal itu yang harusnya terjadi di lingkungan keluarga. Tradisi lisan memiliki peran penting dalam mengatur tatanan hidup masyarakat. Nilai-nilai hidup, pola perilaku, dan karakter seseorang terbentuk berdasarkan tradisi yang berlaku di lingkungannya. Oleh karena itu, setiap orang tua wajib menyadari pentingnya tradisi lisan di dalam keluarga untuk kehidupan sekarang dan masa depan. Sebab, tradisi lisan sangat bermanfaat untuk masa kini dan masa depan terutama dalam pembentukan karakter anak.
Pembentukan karakter anak sangat dipengaruhi oleh tradisi yang berlaku di lingkungannya. Keluarga harus mampu menjadi wadah untuk mewacanakan tradisi lisan bagi anggota keluarga pada kehidupan sehari-hari, misalnya orang tua membiasakan anak untuk menggunakan bahasa daerah di rumah, mendongeng di waktu senggang atau sebelum tidur, memperkenalkan anak pada permainan tradisional yang sarat akan nilai kebersamaan, dan mengajak anak untuk ikut dalam kegiatan kebudayaan. Hal itu dapat menumbuhkan rasa menghargai budayanya melalui tradisi berpakaian yang sopan, tradisi menghormati orang yang lebih tua, kesantunan dalam berbicara, serta memiliki nilai-nilai kepercayaan yang kuat. Semua itu merupakan parktik baik dalam menumbuhkan rasa cinta pada tradisi. Proses menumbuhkan rasa cinta pada tradisi itu secara tidak langsung telah membentengi anak dari pengaruh buruk perkembangan teknologi di era milenial ini. Penerapan tradisi tersebut akan membentuk karakter anak yang baik, sopan, dan penuh rasa hormat. Orang tua yang cinta akan budaya dapat menerapkan tradisi budayanya di lingkungan sehari-hari terutama kepada anak. Selain itu, mereka juga dapat memengaruhi masyarakat di sekitarnya dengan hal yang positif.
Dalam webinar “Remaja yang Hidup dalam Tradisi Pelestarian Tradisional” yang dilaksanakan oleh Direktorat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Kemdikbud, pada tanggal 16 Juni 2020, Sujiwo Tejo, budayawan Indonesia, menyebutkan bahwa anak muda zaman sekarang kurang memiliki akhlak yang baik. Iman yang dimiliki akan menjadi sia-sia jika tidak memiliki akhlak yang baik. Menurutnya, iman adalah “dapur” dan akhlak adalah “ruang tamu”. Dapat disimpulkan bahwa orang yang berakhlak atau berkarakter baik sudah tentu memiliki iman yang baik pula. Pendapat Sujiwo Tejo itu juga secara tidak langsung dapat diartikan bahwa keimanan pun tidak mampu menjadikan seseorang anak memiliki karakter yang baik. Oleh sebab itu, pembentukan karakter yang baik perlu ditopang dengan penguatan nilai-nilai budaya. Salah satunya melalui penerapan tradisi lisan bagi anak dalam lingkungan keluarga. Tradisi lisan diharapkan dapat menjadi salah satu pendekatan yang kuat untuk menghadapi pengaruh buruk di era digital ini, sehingga anak akan memiliki karakter yang kuat dan mampu menyesuaikan diri. Anak juga dapat mengimbangi penguasaan teknologi dengan pengutamaan nilai-nilai tradisi dalam hidup yang diwariskan oleh orang tua.