Dr. Asrif, M.Hum.*
Pada awal Agustus 2020, sebuah televisi nasional menayangkan acara yang sangat bagus. Rasa bagus itu menurut saya. Acara tersebut mengulik sosok penyair Indonesia yang terkenal dengan kesahajaan kata yang digunakan dalam diksi-diksi puisinya. Karena mengulik sosok penyair terkenal dengan menghadirkan narasumber yang mumpuni, acara itu menyita perhatian masyarakat. Garin Nugroho, seorang sutradara kenamaan Indonesia, menjadi salah satu narasumbernya.
Acara tersebut sukses mengulik sang penyair. Sebagai penonton, saya menikmati paparan para narasumber yang rata-rata mengenal dan memahami dengan baik karakter puisi sang penyair. Namun, selama pelaksanaan acara itu, ada sesuatu yang mengganjal, yakni pemakaian diksi “kamu” oleh pembawa acara kepada semua narasumber. Penggunaan diksi “kamu” pada diskusi itu benar-benar sangat mengganggu. Diksi itu digunakan tidak hanya sekali, tetapi digunakan berulang-ulang ke semua narasumber.
Usai acara, saya kembali membuka KBBI. Di kamus tersebut, lema kamu memiliki arti yang diajak bicara; yang disapa (dalam rangka akrab atau kasar). Arti “kamu” sebagaimana tercantum dalam KBBI itu saya yakini telah dipahami dengan baik oleh semua lapisan masyarakat pengguna bahasa Indonesia. Kata “kamu” biasanya digunakan dalam pembicaraan nonformal, dalam suasana keakraban. Pada situasi berbeda, “kamu” dapat memiliki konotasi kasar.
Kembali ke acara mengulik sang penyair tadi, situasi acara tersebut tentu cukup formal. Dengan begitu, diksi “kamu” yang digunakan pembawa acara, oleh sejumlah warganet dinilai kurang tepat. Kata “kamu” kurang elok ditujukan kepada narasumber yang memang cukup terpandang atau mumpuni di bidangnya.
Penggunaan kata “kamu” yang ditujukan kepada lawan bicara mengingatkan saya pada kesantunandalam berbahasa. Santun berbahasa salah satunya terasa pada cara memilih dan menggunakan bahasa. Penting juga untuk memperhatikan konteks atau situasi pembicaraan.
Namun, di balik kata “kamu” tersebut, menarik untuk mencermatinya dengan mengacu pada pandangan Pierre Bourdieu tentang bahasa dan kuasa simbolik (Language and Symbolic Power, Cambridge: Polity Press, 1991). Menurutnya, bahasa tidak sekadar penyampai pesan, tetapi juga kuasa. Kuasa itu bisa saja oleh kelompok, bisa juga oleh individu. Tujuan kuasa itu tentu beragam, bisa kuasa untuk mendominasi, bisa saja kuasa untuk mendekatkan atau menjarakkan diri. Pemakai bahasa, sebelum menggunakan kata (bahasa), tentu telah menyadari tujuan pemilihan kata tersebut.
Dinamika bahasa belakangan ini semakin menyita banyak perhatian. Kata ataupun istilah menjadi materi seksi untuk dibawa ke gelanggang kuasa. Semua pihak berkesempatan sama untuk memanfaatkan ketersediaan kekayaan kata. Kata dipakai untuk menyampaikan pesan atau sebagai “peluru” untuk menunjukkan dominasi atau kuasa. Pada fungsi kedua itu, kata tidak sekadar sarana penyampai pesan, tetapi juga kuasa untuk menguasai atau motif lain.
*Bekerja di Kantor Bahasa Maluku
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan