Sahril
Kantor Bahasa Provinsi Maluku
Kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini tengah menghadapi ancaman serius berkaitan dengan mengerasnya konflik-konflik dalam masyarakat, baik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Sumber konflik tersebut bisa berasal dari perbedaan nilai-nilai dan ideologi, maupun intervensi kepentingan luar negeri yang bahkan dapat membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa. Konflik tersebut apabila didukung oleh kekuatan nyata yang terorganisasi tentunya akan menjadi musuh yang potensial bagi NKRI. Contoh nyata dari konflik sosial yang sering terjadi adalah konflik yang timbul dalam pergaulan umat beragama baik intern maupun antarumat beragama seperti munculnya kekerasan, perusakan rumah ibadah, dan kekerasan agama lainnya yang dilakukan oleh masyarakat sipil.
Konflik mengandung spektrum pengertian yang sangat luas, mulai dari konflik kecil antarperorangan, konflik antarkeluarga sampai dengan konflik antarkampung dan bahkan sampai dengan konflik massal yang melibatkan beberapa kelompok besar, baik dalam ikatan wilayah ataupun ikatan primordial. Pada dasarnya, konflik dapat dibedakan antara konflik yang bersifat horisontal dan vertikal. Keduanya sama-sama berpengaruh terhadap upaya pemeliharaan kedamaian.
Bentuk penyelesaian konflik yang lazim dipakai, yakni konsiliasi (perdamaian), mediasi (menggunakan pengantara), arbitrase (melalui pengadilan), koersi (paksaan), détente (mengendorkan), dialog, negosiasi, Peace building (mengembalikan keadaan semula), dan sebagainya. Secara teoretis, telah ditemukan sebuah penelitian di Nigeria tentang penyelesaian konflik melalui kearifan lokal, yaitu ‘African Traditional Methods of Conflict Resolution’ (Oloaba, Anifowose, Yesufu dan Durojaye, 2010). Jauh sebelum itu, kita sudah memiliki kearifan lokal dalam hal menyelesaikan konflik, di antaranya Pela Gandong (Maluku), Dalihan Natolu (Tapanuli), Rumah Betang (Kalimantan Tengah), Menyama Braya (Bali), Saling Jot dan Saling Pelarangan (NTB), Siro yo Ingsun, Ingsun yo Siro (Jawa Timur), Alon-alon Asal Kelakon (Jawa Tengah/DI Yogyakarta), Basusun Sirih (Melayu/Sumatera), Peradilan Adat Clan Selupu Lebong (Bengkulu), dan sebagainya.
Semua bentuk penyelesaian konflik itu, baik yang modern maupun yang tradisional, tentunya bermuara pada penggunaan bahasa. Bahasalah yang menjadi media untuk menyelesaikan konflik tersebut dalam berbagai wujud.
Satu hal yang menguntungkan bangsa ini, ketika duduk bersama dalam menyelesaikan konflik, kedua pihak tidak perlu memakai penerjemah. Kita memiliki bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Sayangnya, bahasa dalam arti “langue” itu bersifat netral. Kata dengan makna denotatifnya juga bersifat netral. Bahasa atau kata menjadi tidak netral karena ideologi yang menyertai penuturnya. Jadi bahasa pada tataran “parole” menjadi tidak netral, karena di dalamnya termuat ideologi, kepentingan, dan pembingkaian (framing).
Di dalam kitab suci apa saja, bahasa yang digunakan pasti bersifat netral. Begitu juga dalam khazanah budaya kita, bahasa yang menyertainya pasti netral. Bahasa itu menjadi tidak netral, manakala dilisankan oleh seseorang yang memiliki kepentingan tertentu.
Manusia sebagai makhluk sosial, berinteraksi dengan orang lain tidak terbantahkan. Manusia tidak mungkin bisa hidup sendiri. Salah satu bagian paling penting dalam berinteraksi adalah berkomunikasi. Berkomunikasi sangat dekat dengan cara berbahasa. Salah satu fungsi bahasa adalah sebagai media untuk mengatasi masalah saat konflik. Hal itu tentunya tidak bisa dihindarkan, karena suatu saat dalam fase kehidupan seseorang tentu menghadapi masalah. Sementara, masalah hadir bukan untuk dihindari, tetapi untuk diberikan solusi. Masalah juga hadir sebagai upaya mendewasakan cara berpikir sekaligus bersikap seseorang.
Kemampuan berbahasa seseorang perlu dikenalkan sedini mungkin. Menurut Yudhistira A Massardi (2002) memandang bahasa sama dengan perilaku lainnya seperti berjalan, duduk, dan berlari. Perkembangan bahasa pada anak bukan saja dipengaruhi oleh kondisi biologis anak, tetapi lingkungan bahasa di sekitar anak sejak usia dini itu lebih penting. Sebab, bahasa adalah alat komunikasi untuk menyelesaikan masalah.
Berbicara dalam konteks komunikasi tidak sekadar mengungkapkan isi hati dan perasaan saja, tetapi juga dengan menggunakan aturan bahasa yang berpola, misalnya SPOK (Subjek, predikat, objek, dan keterangan). Bahasa yang terstruktur dan berpola itu bertujuan untuk menyampaikan fakta informasi secara utuh, tidak bias, dan tidak salah tafsir.
Penggunaan bahasa yang berpola akan membuat susunan sel saraf otak menjadi lebih terstruktur. Bagi anak-anak yang terbiasa mendengar pola bahasa yang terstruktur, membuat mereka memiliki kemampuan bicara, mudah menyerap berbagai macam informasi, mudah mengungkapkan perasaan, memiliki keberanian menyatakan pendapat, mempunyai kemampuan menyelesaikan masalah, dan terlihat menjadi lebih santun.
Dalam hal resolusi konflik, terkadang kita menghadapi beberapa kendala. Salah satunya adalah kita memilih cara meredamnya yang belum sesuai, sehingga tindakan yang tidak terkendali pun muncul, seperti marah, emosi, menangis, serangan fisik, membanting pintu, dan melempar barang-barang pecah belah. Saat itulah, kita tidak mampu mengungkapkan bahasa dengan baik, keluarlah serangan verbal yang membuat orang mendengarnya merasa tidak nyaman. Akhirnya, konflik pun terjadi.
Kesantunan berbahasa tercermin dalam tata cara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tata cara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekadar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tata cara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunakannya suatu bahasa dalam berkomunikasi.
Dalam berkomunikasi, norma-norma itu tampak dari perilaku verbal maupun perilaku nonverbalnya. Perilaku verbal dalam fungsi imperatif misalnya, terlihat pada bagaimana penutur mengungkapkan perintah, keharusan, atau larangan melakukan sesuatu kepada mitra tutur, sedangkan perilaku nonverbal tampak dari gerak-gerik fisik yang menyertainya. Norma sosiokultural menghendaki agar manusia bersikap santun dalam berinteraksi dengan sesamanya. Hal penting yang berkenaan dengan keberhasilan pengaturan interaksi sosial melalui bahasa adalah strategi-strategi yang mempertimbangkan status penutur dan mitra tutur.
Kesantunan berbahasa dapat dipandang sebagai usaha untuk menghindari konflik antara penutur dengan mitra tutur. Dalam hal itu, kesantunan berbahasa merupakan hasil (1) pelaksanaan kaidah, yaitu kaidah sosial dan (2) pemilihan strategi komunikasi. Kesantunan berbahasa memang penting di mana pun individu berada. Setiap anggota masyarakat percaya bahwa kesantunan berbahasa yang diterapkan mencerminkan budaya suatu masyarakat. Apalagi setiap masyarakat selalu ada hierarki sosial yang dikenakan pada kelompok-kelompok anggota mereka. Hal itu terjadi karena mereka telah menentukan penilaian tertentu, misalnya antara guru dan siswa, orang tua dan anak muda, pemimpin dan yang dipimpin, majikan dan buruh, serta status lainnya. Selain itu, faktor konteks juga menyebabkan kesantunan berbahasa perlu diterapkan.
Tindakan awal untuk menghindari terjadinya konflik, baik konflik intrapersonal maupun konflik interpersonal adalah menggunakan bahasa yang santun, terstruktur, dan berpola. Dengan demikian, jadilah bahasa yang kita gunakan itu sendiri sebagai sarana resolusi konflik.
Induk ayam bertajam taji Pohon cempa berbunga kuning Asyik bertengkar kerja tak jadi Baik juga kita berunding Malam sejuk angin berdesir Hati gundah bawa bermenung Jangan karena sebutir pasir Kita bergaduh sebesar gunung Lancang kuning belayar malam Haluan dipaut menuju kuala Panjangkan runding luar dan dalam Jangan diturut nafsu menyala.