Bahasa Masarete, Satu Lagi Bahasa Punah di Maluku

Harlin

Kantor Bahasa Provinsi Maluku

Seperti artikel sebelumnya, Provinsi Maluku memiliki 61 bahasa daerah, belum termasuk bahasa Indonesia dialek Ambon atau yang lebih dikenal dengan bahasa Melayu Ambon. Jumlah tersebut di atas masih akan bertambah seiring adanya temuan baru bahasa-bahasa daerah yang telah dianalisis oleh tim peneliti Kantor Bahasa Maluku tahun 2020. Selain temuan baru bahasa-bahasa daerah tersebut, jumlah bahasa daerah di Maluku masih akan bertambah pula. Hal itu disebabkan data bahasa daerah dari beberapa titik pengamatan belum diambil, khususnya di daerah kategori terluar dan pedalaman.

Di antara 61 bahasa daerah yang ada di Maluku yang dipublikasi oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa tentang Peta Bahasa Daerah di Indonesia, terdapat satu bahasa daerah lagi yang ditemukan telah punah yaitu bahasa Masarete yang berada di Pulau Buru. Hal ini kembali menambah daftar panjang kematian bahasa-bahasa daerah di Indonesia bahkan di dunia. Menurut tim peneliti Kantor Bahasa Maluku, terdapat  tiga bahasa yang ada di Pulau Buru yaitu bahasa Buru, bahasa Masarete, dan bahasa Tagalisa. Selain itu, ada pula bahasa Ambalau di Pulau Ambalau, namun tidak berada di Pulau Buru tetapi masuk wilayah administrasi Kabupaten Buru Selatan.

Bahasa Masarete dituturkan oleh masyarakat di Desa Masarete, Kecamatan Teluk Kayeli, Kabupaten Buru. Menurut pengakuan penduduk, dahulu bahasa Masarete juga dituturkan di Desa Kayeli, salah satu desa tetangga dari Desa Masarete. Di sebelah barat wilayah Desa Masarete berbatasan dengan Desa Kayeli, sebelah timur berbatasan dengan Desa Seit, sebelah utara berbatasan dengan laut, dan sebelah selatan berbatasan dengan hutan. Bahasa Masarete memiliki satu dialek yaitu dialek Maksela yang dituturkan di Dusun Waifefa, Desa Masarete. Berdasarkan analisis oleh tim peneliti, persentase perbedaan antara bahasa Masarete dan dialek Maksela sebesar 77%, artinya dialek Maksela merupakan sebuah dialek dari bahasa Masarete, bukan sebagai bahasa sendiri seperti yang dipublikasi oleh sumber lain.

Hasil penghitungan analisis dialektometri, isolek Masarete merupakan sebuah bahasa karena persentase perbedaan dengan bahasa lain di Maluku berkisar 81%—85%, misalnya dengan bahasa Buru 81% dan Ambalau 85%.

Ketika penulis bersama tim melakukan penelusuran di Desa Masarete, kami hanya menemukan satu orang yang bisa berkomunikasi dalam bahasa Masarete, sedangkan masyarakat lainnya sudah tidak bisa berbicara sama sekali. Jika pun ada ingatan masyarakat tentang bahasa Masarete, hanyalah beberapa kosakata yang tidak bisa disusun menjadi sebuah kalimat yang bisa dipahami. Penutur yang hanya tinggal satu yang fasih berbicara dalam bahasa Masarete tersebut adalah seorang oma atau nenek yang pada saat kami bertemu tahun 2019 telah berusia 83 tahun. Di samping tampak sudah tidak kuat karena usia senja, nenek itu juga telah mengalami gangguan katarak pada kedua matanya.

Ketika kami melakukan wawancara kepada sang nenek sebagai narasumber kami, tampak penguasaan berkomunikasi dalam bahasa Masarete jauh lebih baik dibandingkan berkomunikasi dalam bahasa lain seperti bahasa Buru, bahasa Melayu Ambon, dan bahasa Indonesia. Dari seribuan lebih kosakata bahasa Masarete yang kami tanyakan kepada narasumber untuk kami analisis, dia mampu menjawab hampir keseluruhan kosakata. Kami merasa sangat bersyukur dan lega karena minimal bisa mendokumentasikan sebanyak mungkin kosakata dalam bahasa Masarete.

Penyebab Kepunahan Bahasa Masarete

Menurut pengakuan narasumber sebagai penutur yang tinggal satu-satunya mampu berbahasa Masarete mengatakan bahwa dahulu bahasa Masarete digunakan sebagai bahasa pergaulan sehari-hari dalam masyarakat. Namun seiring berjalannya waktu, sebagian orang yang mampu berkomunikasi dalam bahasa Masarete meninggal  dunia, sebagian lagi yang masih hidup sudah jarang bahkan sudah tidak menggunakan bahasa Masarete dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu diakibatkan oleh pengaruh bahasa Buru dan bahasa Melayu Ambon yang begitu kuat dalam masyarakat. Selain  musabab di atas, ada pula pandangan beberapa masyarakat yang menyampaikan bahwa salah satu faktor kepunahan bahasa Masarete adalah hegemoni bahasa yang dimainkan oleh penjajah dalam hal ini Belanda untuk keberlangsungan pendudukan penjajah atas wilayah yang dikuasai termasuk wilayah Masarete dan sekitarnya. Hegemoni bahasa yang dimaksud adalah adanya pelarangan pemakaian bahasa daerah Masarete dalam komunikasi sehari-hari ketika itu. Sebagai pengganti bahasa daerah Masarete dalam komunikasi sehari-hari, Belanda mengharuskan masyarakat untuk menggunakan bahasa Melayu Ambon sebagai satu-satunya bahasa pergaulan sehari-hari.

Upaya Penyelamatan Bahasa Masarete

Ada beberapa hal yang mungkin bisa dilakukan atas kepunahan suatu bahasa termasuk bahasa Masarete yang hanya tersisa satu penutur. Di antara beberapa hal itu adalah revitalisasi dan dokumentasi. Tentunya yang memiliki kewenangan langsung tentang bahasa Masarete adalah Pemerintah Daerah Kabupaten Buru dan Pemerintah Provinsi Maluku. Yang tidak kalah pentingnya adalah peran dan partisipasi aktif masyarakat sebagai pemakai dan pemilik bahasa daerah.

Revitalisasi bahasa merupakan sebuah proses menghidupkan atau menggiatkan kembali bahasa daerah misalnya penyusunan buku tata bahasa Masarete, penyusunan kamus bahasa Masarete, penyusunan bahan ajar (buku) bahasa Masarete untuk pembelajaran dalam muatan lokal, dan penyusunan cerita-cerita rakyat bahasa Masarete.

Selanjutnya, dokumentasi adalah pengumpulan, pemilihan, pengolahan, dan penyimpanan informasi untuk kepentingan ilmu pengetahuan tentang bahasa Masarete. Setidaknya, itu yang bisa dilakukan dan segera bisa diwujudkan oleh pemerintah daerah. Jangan menunggu satu penutur tiada hingga akhirnya bahasa daerah Masarete pun ikut tiada ditelan bumi.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

four × 5 =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top