Erniati
Kantor Bahasa Maluku
Kondisi bahasa daerah di seluruh Indonesia sangat memprihatinkan, bahasa daerah telah mengalami ketergerusan penutur di setiap etnis pendukungnya. Sebagian bahasa daerah tidak lagi berfungsi sebagai media komunikasi antaretnis, bahkan fungsinya sebagai jati diri etnis pun hampir terlupakan. Keberadaan bahasa daerah sangat dilematis karena di satu sisi harus tetap hidup di sisi lain harus berjuang mempertahankan diri dari gempuran bahasa-bahasa asing yang dianggap lebih prestise. Tak bisa dipungkiri bahwa lambat laun bahasa daerah hanya akan menjadi sejarah di kalangan pendukungnya. Menurut beberapa penelitian tentang bahasa daerah yang dilakukan oleh para peneliti bahasa di Indonesia bahwa hampir semua bahasa daerah di Indonesia sudah mengalami penurunan penutur. Begitu pula dengan kondisi bahasa-bahasa daerah yang ada di Provinsi Maluku, mengingat bahwa bahasa daerah yang ada di Provinsi Maluku adalah bahasa daerah yang tidak memilki aksara. Beberapa pendapat mengatakan bahwa bahasa daerah yang tidak memilki aksara akan dengan mudah mengalami kemunduran, terancam punah, bahkan bisa mengalami kepunahan.
Beberapa kajian yang dilakukan oleh para peneliti bahasa di Maluku baik yang dilakukan oleh pihak universitas maupun peneliti bahasa dari kantor bahasa Maluku menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda bahwa penggunaan bahasa daerah di semua kalangan etnis di Provinsi Maluku sudah mengalami kemunduran. Bahkan ada beberapa wilayah seperti di sebagian daerah di Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease, bahasa daerah hanya digunakan pada saat ada ritual-ritual adat. Bahasa daerah tidak lagi digunakan sebagai bahasa komunikasi sehari-hari di lingkungan masyarakat sebagaimana fungsi bahasa daerah sebagai media komunikasi antarmasyarakat etnis.
Mengapa terjadi demikian? Ada beberapa faktor yang memungkinkan terjadinya ketergerusan sehingga menyebabkan penurunan penutur bahasa daerah tersebut. Salah satu di antaranya adalah tidak terjadinya pewarisan penggunaan bahasa yang sistematis oleh orang tua kepada generasi muda sebagai pewaris bahasa daerah. Dewasa ini bahasa daerah cenderung tidak diminati oleh generasi muda atau anak milenial. Asumsi yang berkembang pada generasi muda bahwa bahasa daerah tidak memiliki daya pikat oleh generasi milenial dalam mengembangkan potensi yang ada pada dirinya di era globalisasi seperti sekarang ini. Selain itu, generasi milenial menganggap bahwa bahasa daerah itu kampungan, tidak modern, tidak intelek, tidak bisa mengikuti perkembangan zaman. Hal-hal semacam itulah menjadi pemicu ketidaktertarikan generasi milenial untuk belajar dan menggunakan bahasa daerah.
Selain karena kurang tertariknya generasi muda pada bahasa daerah, ada satu hal yang menarik yang terjadi pada hampir seluruh masyarakat etnis di Maluku tentang proses pewarisan pertama bahasa daerah. Jika di daerah lain bahasa ibu pertama yang diajarkan oleh orang tua kepada anak-anak yang baru mengenal bahasa adalah bahasa ibu (bahasa daerah), di Maluku, bahasa pertama yang diperkenalkan orang tua kepada anaknya adalah bahasa Melayu Ambon. Anak-anak mereka mengenal bahasa daerah setelah mulai menempuh pendidikan dasar. Pemerolehan bahasa daerah sejak dini oleh anak-anak hanya pada proses menyimak orang tuanya pada saat melakukan komunikasi dengan orang lain tidak diajarkan secara langsung.
Oleh karena itu, tugas utama kita sebagai peneliti dan pemerhati bahasa di Maluku adalah mengadakan sosialisasi tiada henti dan memberikan pemahaman kepada generasi muda tentang pentingnya tetap menggunakan bahasa daerah karena bahasa daerah merupakan jati diri etnik dan penopang budaya, dengan menjaga bahasa daerah budaya pun tetap terjaga dari kepunahan.