Maluku, “Darurat Bahasa Daerah”

Harlin, S.S.

Kantor Bahasa Provinsi Maluku

Berdasarkan data pemetaan bahasa-bahasa daerah di Indonesia yang dipublikasi oleh Badan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bahasa daerah yang ada di Maluku berjumlah 62 bahasa. Itu pun belum termasuk temuan dan analisis peneliti Kantor Bahasa Maluku pada tahun 2020 yang jika dijumlahkan semuanya ada 66 bahasa daerah. Jumlah sebanyak itu juga masih akan bertambah seiring pendataan di wilayah pedalaman dan suku terasing yang sulit dijangkau. Jika dilihat dari aspek kuantitas atau banyaknya bahasa daerah yang ada di Indonesia yang berjumlah 718 bahasa daerah, Maluku menempati salah satu terbanyak bahasa daerah di Indonesia.

Urutan terbanyak pertama adalah Papua dan Papua Barat, yaitu 428 bahasa daerah, kemudiaan diikuti oleh Nusa Tenggara Timur sebanyak 72 bahasa daerah, dan terbanyak ketiga adalah Maluku. Dari gambaran keadaan bahasa  daerah yang ada di Indonesia tersebut menunjukkan bahwa 11,58 persen bahasa-bahasa daerah di Indonesia terdapat dan berasal dari Maluku.  Keberadaan dan kepemilikan banyaknya bahasa daerah di wilayah Maluku tentu menjadi kebanggaan dan kecintaan tersendiri bagi orang Maluku secara khusus dan Indonesia secara umum. Kebanggaan dan kecintaan tersebut salah satunya tampak dari aspek kepemilikan keberagaman budaya, karena semakin banyak bahasa yang ada, maka akan semakin majemuk pula budaya yang kita dimiliki.

Namun sayangnya, kebanggaan dan kecintaan kita terhadap banyaknya bahasa daerah yang kita miliki tidak berbanding lurus dengan situasi dan kondisi bahasa-bahasa daerah kita. Di Maluku, keadaan kebahasaan kita berada dalam kondisi “darurat bahasa daerah”. Artinya, secara umum, bahasa-bahasa daerah di Maluku sebagian besar terancam punah bahkan ada beberapa yang sudah punah. Kondisi “darurat bahasa daerah” tersebut dilihat dari aspek jumlah pemakai dan situasi pemakaiannya terhadap bahasa-bahasa daerah tersebut. Kondisi itu tidak hanya ditemukan pada bahasa-bahasa daerah yang berpenutur sedikit tetapi juga berasal dari bahasa-bahasa daerah dengan jumlah penutur yang besar.

Sebaran keterancaman dan kepunahan bahasa-bahasa daerah itu tidak hanya terjadi pada masyarakat yang tinggal di perkotaan, tetapi juga masyarakat bahasa yang tinggal di desa-desa atau pelosok-pelosok Maluku. Nasib bahasa-bahasa daerah tersebut seakan dibiarkan atau terbiarkan begitu saja tanpa ada sentuhan atau langkah nyata dalam bentuk pembinaan, pengembangan, dan pelindungan bahasa daerah itu sendiri. Padahal sentuhan atau langkah nyata itu sangat diperlukan dari kita agar minimal bahasa-bahasa daerah tersebut bisa bertahan dan terus terjaga. Partisipasi semua pihak sangat diperlukan dalam pelestarian dan keberlangsungan bahasa-bahasa daerah. Hal itu menjadi sangat penting dilakukan agar bahasa-bahasa daerah tetap terjaga sehingga kita bisa keluar dari belenggu sebagai “darurat bahasa daerah”.

Lantas, siapa sesungguhnya yang harus bertanggung jawab langsung terhadap mati hidupnya bahasa-bahasa daerah?

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 telah mengatur hal itu. Pada pasal 42 dari undang-uandang tersebut berbunyi “Pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia”.  Kemudian, implementasi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tersebut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014, pasal 9 berbunyi “Pemerintah daerah melaksanakan: pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa dan sastra daerah”. Pada ayat lain dinyatakan “Pemerintah daerah dalam melaksanakan pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa dan sastra daerah berkoordinasi dengan Badan”.  

Mengacu kepada UU Nomor 24 Tahun 2009 yang dituangkan dalam PP Nomor 57 Tahun 2014, yang bertanggung jawab langsung atau yang diberi kewenangan dalam pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa dan sastra daerah adalah pemerintah daerah baik pemerintah daerah di tingkat provinsi maupun pemerintah daerah di tingkat kabupaten/kota. Jadi, regulasi atas kewenangan tentang bahasa daerah ada pada pemerintah daerah.

Meskipun secara de jure, pemerintah daerah yang bertanggung jawab langsung terhadap pelestarian bahasa daerah, tetapi secara de facto, tentu banyak pihak yang terlibat dan berperan aktif dalam menjaga dan mempertahankan pelestarian bahasa daerah di antaranya masyarakat penutur atau pengguna bahasa-bahasa daerah tersebut, pegiat atau pemerhati bahasa, atau lembaga terkait kebahasaan misalnya Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yang memiliki Unit Pelaksana Teknis (UPT) di provinsi, lembaga kebahasaan yang terdapat di perguruan tinggi, dan lain sebagainya.

Jika semua pihak sudah saling memahami, mengetahui porsi tugas, dan fungsi masing-masing, serta memiliki political will untuk pelestarian bahasa daerah, secara bertahap, kita bisa keluar dari kondisi “darurat bahasa” di wilayah kita. Ada banyak langkah untuk mengatasi “darurat bahasa” di wilayah Maluku. Tentu langkah-langkah tersebut memerlukan partisipasi aktif banyak pihak di antaranya sokongan dari pemerintah daerah yang berkelanjutan, keaktifan pengguna atau pemakai bahasa daerah yang terus-menerus tetap berkomunikasi dengan bahasa daerahnya, dan dukungan sumber daya manusia yang mumpuni di bidang kebahasaan. Wujud lain yang bisa dilakukan pula berupa adanya peraturan daerah (perda) bahasa daerah, penyusunan tata bahasa daerah, penyusunan kamus, penyusunan bahan ajar (buku) bahasa daerah untuk muatan lokal, pengaksaraan bahasa daerah, penyusunan cerita-cerita rakyat di Maluku, ensiklopedia bahasa daerah, glosarium, penelitian bahasa daerah, penerjemahan, pembukaan jurusan bahasa daerah di perguruan tinggi, atau bentuk lain yang sejenis. Untuk bahasa daerah yang sudah punah, jika masih mungkin dilaksanakan penyelamatan bahasa daerah, pendokumentasian harus segera dilakukan.

Akhirnya, kita sangat berharap dan optimis bahwa bahasa-bahasa daerah di Maluku di kemudian hari tak akan tergerus dan lekang oleh waktu dan zaman. Dengan sokongan dari semua pihak, bahasa-bahasa daerah di Maluku masih terus terjaga dan lestari. Semoga.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

twelve − 1 =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top