Helmina Kastanya
Kantor Bahasa Maluku
Syair Jalan Kereta Api ditulis oleh Tan Teng Kie pada tahun 1890. Syair ini menceritakan tentang pembangunan jalan kereta api dari Batavia ke Karawang yang dilakukan pada akhir abd ke-19. Tan Teng Kie yang bekerja sebagai seorang pedagang menuliskan syair ini dengan menggunakan bahasa Melayu dan bahasa Belanda. Menurut saya, tulisan Tan teng Kei ini ditujukan untuk dapat dibaca dan dipahami oleh orang pribumi maupun orang Belanda sehingga menggunakan bahasa Melayu. Tan Teng Kei berprofesi sebagai seorang pedagang dan bukan seorang penulis sehingga melalui syair ini terlihat bahwa syair ini semacam gambaran atau deskripsi tentang pembangunan jalan kereta api yang dituliskannya dengan lugas dan apa adanya dengan tidak menggunakan gaya bahasa atau pilihan kata yang puitis. Apa yang dituliskannya seperti deskripsi keadaan apa adanya berdasarkan apa yang dilihatnya. Namun, berdasarkan teks syair ini dapat disimpulkan juga bahwa Syair Jalan Kereta Api merupakan bentuk ekspresi protes yang dilakukan oleh Tan Teng Kei mewakili kaum pribumi terhadap pemerintahan kolonial. Tan Teng Kie menggambarkan tentang proses kerja yang dilakukan oleh para kuli yang berasal dari orang-orang pribumi. Tan Teng Kei menyinggung tentang waktu kerja para kuli yang lama, tentang upah yang sangat kecil, tentang kecelakaan-kecelakaan kerja yang terjadi. Semuanya itu tergambar dalam isi syair ini seperti bagian kutipan berikut:
Kuli bekerja sampai pagi Tanah karang teruruk lagi Kuli mengguruk sampai tinggi Tiyada peduli banyak rugi Kuli kerja’in rawa itu Uruk tanah pasir dan batu Ada yang mati kulinya Satu Kelanggar salat si setan hantu Buka Jalan teruruk sawa Melanggar juga rawa-rawa Ongkos keluwar tiyada keciwa Pekerja’annya susah dengan rewa
Selain menggunakan bahasa yang lugas, Tan Teng Kei juga menuliskan syair ini dengan menggunakan bahasa jenaka seperti yang dilakukannya untuk menggambarkan kapal Rusia yang terlihat mendekati pelabuhan. Kutipan tersebut seperti berikut:
Orang menonton rame sekali Tua Muda, ada yang tuli, Perempuan laki, Jawa, Bali, Ampir karcis ta’ dapat beli
Pada bagian akhir tulisan ini Tan Teng Kei menggunakan bahasa Belanda namun langsung diterjemahkan olehnya dengan tujuan agar dapat dimengerti oleh pribumi seperti pada kutipan berikut:
Di klender leven eeensgezind De Halteehef, man, vrouw en kind, Door ieder, die hen kent, bemind Ze leven zeg ik van den wind Ertinya- chefnya terlalu bisa Dengan istrinya suda biyasa Makan ta’makan atau puasa Kerjanya tetap senantiasa