Bahasa Teon di Ambang Kepunahan

Faradika Darman

Pengkaji di Kantor Bahasa Maluku

Indonesia adalah negara dengan berbagai keragaman suku dan bahasa. Hingga saat ini, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa telah mengidentifikasi 718 bahasa daerah yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Dalam bahasa daerah tersebut terdapat beragam dialek. Hal itulah yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki bahasa daerah terbanyak di dunia. Oleh karena itu, keragaman tersebut patut disyukuri dan dijaga kelestariannya.

Kantor Bahasa Provinsi Maluku telah memetakan atau mengidentifikasi 64 bahasa daerah dengan jumlah titik pengamatan sebanyak 130 titik di Provinsi Maluku hingga tahun 2020. Bahasa-bahasa tersebut sebagian besar adalah bahasa minoritas dengan jumlah penutur aktif hanya sebagian kecil dari total jumlah penduduk.

Salah satu bahasa daerah yang ditengarai terancam punah adalah bahasa Teon di Kabupaten Maluku Tengah. Masyarakat penutur bahasa Teon adalah masyarakat yang dulunya menempati Pulau Teon di bagian tenggara Maluku. Pada 1976, sejarah mencatat pemindahan masyarakat Teon, Nila, dan Serua dari kampung aslinya di Kepulauan TNS ke Kabupaten Maluku Tengah. Kejadian itu disebabkan adanya ancaman bencana alam yang terjadi di ketiga pulau kecil tersebut. Sayangnya, kejadian itu tidak hanya memindahkan tempat tinggal tetapi juga berpengaruh pada kebudayaan dan tradisi masyarakat. Salah satunya berdampak pada pelestarian bahasa daerah.

Saat ini, bahasa Teon dituturkan di tiga desa di Kabupaten Maluku Tengah, Kecamatan Teon Nila Serua, yakni Desa Watludan, Desa Yafila, dan Desa Mesa. Titik pengamatan atau pengambilan data bahasa Teon dihimpun dari masyaraat di Desa Watludan. Menurut pengakuan penduduk setempat, wilayah tutur bahasa Teon berbatasan dengan Desa Isu yang merupakan penutur bahasa Wetang di sebelah barat. Di sebelah timur, wilayah tutur bahasa Teon berbatasan dengan Desa Trana yang merupakan wilayah tutur bahasa Serua dan di sebelah utara berbatasan dengan Desa Leslulu yang juga merupakan wilayah tutur bahasa Serua. Selanjutnya, di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Makariki. Berdasarkan hasil penghitungan dialektometri, isolek Teon merupakan sebuah bahasa karena persentase perbedaannya dengan bahasa lain di Maluku berkisar 83%—89%, misalnya dengan bahasa Nila 83%, Serua 85%, dan Damar Timur 89% (Tim Pemetaan Bahasa, (2019:215). Sementara itu, Summer Institute of Linguistic (SIL) menguraikan bahwa bahasa Teon merupakan bahasa yang dituturkan oleh masyarakat transmigrasi di Pulau Seram Tengah Bagian Selatan, Kabupaten Maluku Tengah. Pada 1990, SIL mengidentifikasi jumlah penutur sebanyak 1.200 (SIL, 2006:23).

Di wilayah tutur Desa Watludan, penutur aktif bahasa Teon hanya  berkisar antara usia 50 tahun ke atas dan jumlahnya sekitar 50 jiwa dari total penduduk sekitar 2000 jiwa.  Para penutur aktif ini hanya menggunakan bahasa daerah dalam lingkup komunikasi yang sangat kecil dan terbatas, misalnya dalam ranah adat. Bahkan, dalam komunikasi sehari-hari sudah terjadi banyak campur kode antara bahasa Teon dengan bahasa Indonesia atau Melayu Ambon. Kondisi itu tentu sangat disayangkan. Jika terus menerus dibiarkan, satu atau beberpa tahun ke depan, bahasa Teon hanya akan tercatat namanya dalam sejarah dan tidak akan ditemukan lagi.

Keterancampunahan bahasa Teon tidak hanya terjadi di Desa Watludan, tetapi di dua desa lainnya yang merupakan wilayah tutur bahasa Teon, yakni Desa Yafila dan Mesa. Berdasarkan informasi yang dihimpun dari masyarakat, penutur aktif di kedua desa tersebut sudah berusia 50—60 tahun dengan jumlah yang sangat sedikit. Selain itu, para penutur aktif dalam kelompok yang sangat kecil itu pun tidak intens menggunakan bahasa Teon dalam komunikasi sehari-hari karena sebagian besar masyarakat berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia dan Melayu Ambon.

Hal itu terbukti saat pengambilan data bahasa Teon (2019), pengetahuan dan pemahaman penutur sangat menurun. Pengetahuan bahasa pada tataran kosakata ditemukan banyak yang tidak memiliki realisasi. Faktor utama penyebab makin menurunnya kemampuan berbahasa daerah penutur bahasa Teon adalah karena bahasa tersebut sudah tidak menjadi alat komunikasi walaupun di antara para penutur aktif. Selain itu, kesadaran para orang tua yang tidak lagi mewariskan bahasa daerah kepada generasi muda menjadikan status bahasa Teon memang sedang berada pada kondisi kritis. Penutur aktif yang memberikan informasi kebahasaan pada pengambilan data Kantor Bahasa Provinsi Maluku tahun 2019 tidak dapat dilibatkan lagi pada tahun 2021 karena telah lanjut usia dan mengalami pikun. Hal itu adalah fakta bahwa betapa cepatnya bahasa daerah mengalami kepunahan jika tidak digunakan lagi.

Sesuai pengamatan di lapangan, dapat disimpulkan bahwa saat ini status atau daya hidup bahasa Teon kritis dan menuju pada kematian bahasa. Atas kondisi itu, pada tahun 2021, Kantor Bahasa Provinsi Maluku, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdikbud, akan melakukan kajian vitalitas untuk mengkaji secara ilmiah tentang persentase daya hidup bahasa Teon. Kajian tersebut akan mengetahui status bahasa Teon dalam setiap ranah penggunaannya dan faktor yang memengaruhi makin menurunnya daya hidup bahasa tersebut.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

3 × two =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top