Sahril, S.S., M.Pd.
Kepala Kantor Bahasa Provinsi Maluku
Di Indonesia saat ini tercatat ada 718 bahasa daerah. Empat provinsi dengan jumlah bahasa daerahnya cukup banyak, yaitu Papua (326), Papua Barat (102), NTT (72), dan Maluku (62). Ironisnya keempat daerah ini belum memiliki regulasi tentang pelindungan bahasa daerahnya. Memang secara nasional, sampai saat ini baru sekitar 12 provinsi yang memiliki regulasi tentang pelindungan bahasa daerah. Daerah tersebut adalah Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur (hanya di Kabupaten Berau), Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Gorontalo, dan NTB.
Sementara menurut Ethnologue (2015) di seluruh dunia ada sebanyak 7.102 bahasa. Hal ini berarti sekitar sepuluh persen dari jumlah bahasa yang ada di dunia terdapat di Indonesia. Di sisi lain, ini tentu menjadi kebanggaan karena memperlihatkan kekayaan bahasa juga keanekaragaman budaya yang dimiliki. Namun, di sisi lain hal tersebut menjadi tantangan, mungkin juga beban, bagi kita untuk terus menjaga eksistensi bahasa-bahasa daerah kita.
Banyak ahli bahasa memprediksi bahwa sekitar setengah dari bahasa-bahasa yang ada di dunia ini akan punah. Di Indonesia sendiri, menurut Moseley (2010) dalam buku Atlas of the World’s Languages in Danger, setidaknya terdapat 146 bahasa yang sudah terancam punah dan 12 bahasa daerah telah punah. Bahasa-bahasa tersebut pada umumnya berada di Indonesia bagian timur. Menurut data, bahasa daerah yang teridentifikasi telah punah, yaitu: bahasa Hukumina, Kayeli, Liliali, Moksela, Naka’ela, Nila, Palumata, Piru, dan Te’un di Maluku, Mapia dan Tandia di Papua, serta Tobada’ di Sulawesi.
Lewis et al., (2015) mengatakan bahwa ada dua dimensi dalam pencirian bahasa yang terancam. Pertama, dari segi jumlah penutur yang menggunakan bahasanya serta jumlah dan sifat penggunaan atau fungsi penggunaan bahasa. Suatu bahasa dikatakan terancam apabila masyarakat yang mengakui bahasanya semakin sedikit dan, hal ini dikarenakan bahasa tersebut tidak pernah digunakan ataupun diajarkan kepada anak-anak mereka lagi. Kedua, suatu bahasa dikategorikan terancam punah apabila bahasa itu kehilangan fungsi sosial atau komunikatifnya, yakni semakin sedikit digunakan dalam kegiatan sehari-hari. Semakin sedikit ranah penggunaan bahasa pada masyarakat cenderung memengaruhi persepsi pengguna bahasa untuk kesesuaian bahasa dalam fungsi yang lebih luas.
Maluku menurut data dari Badan Pengembangan dan Pelindungan Bahasa memiliki 62 bahasa daerah. Dari 62 bahasa tersebut, berdasarkan data dari Kantor Bahasa Provinsi Maluku justru sudah ada yang punah, yaitu: Bahasa Loon di Maluku Tengah, Bahasa Palumata, Hukumina, Moksela, Maserete, dan Kaiely di Buru, Piru di SBB, Hoti di SBT. Dari jumlah penutur untuk keseluruhan bahasa daerah di Maluku hanya dituturkan sekitar 8,99% saja, sementara lainnya adalah bahasa Indonesia dialek Ambon.
Hal itu tentu merupakan suatu kemunduran, perwujudan sebagai tanggapan aktif masyarakat terhadap tantangan yang ditimbulkan akibat perubahan lingkungan dalam arti yang lebih luas maupun akibat pergantian generasi. Secara kategori, ada kekuatan yang memicu terjadinya kemunduran. Pertama, faktor kekuatan dari dalam masyarakat itu sendiri (internal factor), seperti adanya pergantian generasi dan juga berbagai penemuan serta rekayasa setempat. Kedua, faktor kekuatan dari luar masyarakat (external factor), misal pengaruh adanya kontak antarbudaya (culture contact) secara langsung maupun persebaran (unsur) kebudayaan serta perubahan lingkungan hidup yang pada gilirannya dapat mempercepat perkembangan sosial untuk penggunaan bahasa.
Bahasa daerah adalah lambang nilai sosial budaya yang mencerminkan dan terikat pada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat penuturnya. Bahasa daerah merupakan kekayaan budaya yang dapat dimanfaatkan dalam pengembangan dan pembinaan bahasa Indonesia.
Pemerintah Daerah harus memfasilitasi eksistensi bahasa daerah yang dimiliki suku bangsa yang ada di Indonesia, khususnya di Maluku. Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan adanya regulasi tentang pelindungan dan pelestarian bahasa dan sastra daerah di daerah yang bersangkutan. Regulasi daerah ini diharapkan dapat mengatasi perubahan-perubahan yang terjadi sebagai akibat eforia globalisasi dan otonomi daerah yang secara langsung mengakibatkan terjadinya perubahan dalam pemakaian bahasa pada masyarakat.
Sebagaimana yang disampaikan Kepala Kantor Bahasa Provinsi Banten (www.bantennews.co.id), dari sisi regulasi, selain ada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, juga tersedia Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa, serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia; dan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2010 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Pidato Resmi Presiden dan/atau Wakil Presiden, serta Pejabat Negara Lainnya. Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia. Kemudian ada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007 tentang Pedoman bagi Kepala Daerah dalam Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Negara dan Bahasa Daerah dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Regulasi untuk peraturan daerah bahasa ini bisa mengacu pada pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia menyatakan bahwa Pemerintah Daerah melaksanakan pemberian dukungan terhadap upaya pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan sastra daerah berupa penjabaran kebijakan nasional ke dalam kebijakan daerah.
Bahasa daerah menjadi penting karena memiliki peran sebagai sarana pembentukan kepribadian suku bangsa. Hal ini bermakna bahwa bangsa Indonesia pribadinya dibentuk daerah dan juga sumber rasa nasional itu justru muncul melalui bahasa daerah yang diturunkan dari generasi sebelumnya. Dengan demikian, bisa dipahami akan pentingnya bahasa daerah dalam pembentukan karakter bangsa. Hal ini sudah terbukti dari tokoh-tokoh pemersatu bangsa Indonesia.
Masalah kebahasaan dan kesastraan daerah menjadi tantangan tersendiri di daerah, mengingat kesiapan sumber daya manusia (SDM) di daerah-daerah tertentu belum siap. Sementara UPT vertikal kebahasaan dan kesastraan seperti Kantor Bahasa tidak memiliki kewenangan dalam menangani bahasa daerah. Kantor Bahasa hanya mampu melakukan kerja sama dengan perguruan tinggi di daerah, pemerintah provinsi (dinas pendidikan), pemerintah kabupaten/kota yang bersedia melaksanakan kegiatan kebahasaan dan kesastraan. Kondisi tarik-menarik kepentingan angara pemerintah pusat melalui Badan Bahasa, perguruan tinggi di daerah, dan daerah kabupaten/kota yang terkadang tidak selalu sejalan, sehingga menimbulkan adanya kegiatan kebahasaan dan kesastraan yang tumpang-tindih, seperti seminar, penyuluhan, pelatihan, dan lomba-lomba kebahasaan dan kesastraan yang diselenggarakan. Kondisi inilah yang dihadapi UPT Kantor Bahasa yang tampaknya belum mengimplementasikan sepenuhnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dalam peraturan daerah untuk menangani masalah kebahasaan dan kesastraan secara khusus.
Sekali lagi berdasarkan fenomena dan kenyataan yang terjadi di Maluku, kiranya sudah selayaknya Provinsi Maluku memiliki Peraturan Daerah (Perda) tentang Pelindungan Bahasa Daerah. Perda ini mungkin lebih tepat menjadi hak inisiatif dari Komisi IV DPRD Maluku. Kantor Bahasa Provinsi Maluku, selaku lembaga UPT vertikal yang bertanggung jawab mengurusi bahasa Indonesia di wilayah Maluku siap membantu dalam hal penyusunan Perda dimaksud, setidaknya dari penyusunan naskah akademik.
Di mana nantinya Perda ini, harus memenuhi asas-asas hukum tentang bahasa daerah, harus juga menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara, yang meliputi: asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas.
Sebelum tulisan ini ditutup, perlu diingat bahwa dari 12 daerah yang memiliki regulasi pelindungan bahasa daerah, justru jumlah bahasa daerahnya tidak terlalu banyak. Malah daerah yang banyak jumlah bahasa daerahnya, semisal Maluku justru belum memiliki regulasi untuk melindungi khazanah kekayaan daerahnya, yaitu bahasa daerah. Ingat keberadaan bahasa daerah Maluku justru ahlinya adalah orang asing, misal: untuk bahasa daerah Buru ahlinya adalah Prof. Charles E Grimes dari Australian National University. Untuk bahasa-bahasa di Pulau Seram, Ambon, dan Pulau Lease ahlinya adalah Prof. James T. Collins dari Belanda. Untuk bahasa Kei ahlinya adalah Prof. TimoKaartinen dari University of Helsinki, Finlandia. Semoga, regulasi pelindungan bahasa menjadi perioritas pemerintah daerah Maluku.